Cari Blog Ini

Jumat, 30 September 2016

Matematika Politik Pilkada DKI

JAKARTA - (1/10/2016) Pilkada rasa Pilpres, begitu ungkapan SBY untuk menggambarkan betapa pentingnya Pilkada Jakarta. Tidak berlebihan memang, jika dikatakan bahwa gelaran pemilihan gubernur DKI Jakarta sama hebohnya dengan gelaran pemilihan presiden Republik Indoensia. Posisi gubernur DKI Jakarta memang sangat strategis dan bergengsi. Jakarta adalah ibu kota negara, dan penentuan siapa yang berhak menduduki kursi nomor satu di ibu kota juga tidak mudah, kandidat cagub harus meraih minimal 50% plus satu perolehan suara.

Gelaran pilkada DKI tidak hanya menyedot perhatian masyarakat Jakarta saja, tetapi masyarakat di luar Jakarta ikut heboh berdebat soal pilkada DKI, bahkan tidak jarang antar pendukung bakal calon saling adu mulut untuk membela jagoannya. Dunia sosmed juga tidak kalah serunya, saling sanjung, saling mengunggulkan calonnya hingga black campigne untuk menjatuhkan jagoan lawan menjadi tontonan sehari-hari. 

Berita seputar pilgub DKI dipastikan menjadi tranding topic untuk beberapa bulan kedepan. Pilgub DKI memang menghadirkan banyak kejutan. Menjungkirbalikkan logika dan akal sehat. Sebelumnya akal sehat kita mempertanyakan komitmen PDIP sebagai partainya wong cilik ketika secara resmi mengusung Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur DKI. Nalar kita kembali terpelanting ketika secara mengejutkan, poros Cikeas mengusung putra sulung SBY, Mayor (Inf). Agus Harimurti Yudhoyono yang notabene perwira TNI aktif sebagai cagub DKI. Dan yang terakhir, nurani kita kembali terusik ketika tokoh yang pernah menghujat dan menjadi pendukung lawan pada gelaran pilpres, diusung oleh koalisi besutan Prabowo Subianto, yaitu Anies Baswedan.

Pro kontra pasti terjadi. Bahkan seorang Ruhut "Poltak" Sitompul, loyalis fanatik SBY sampai secara terang-terangan mempertanyakan keputusan sang mantan presiden dua periode. "SBY telah tega mengorbankan karir militer putra sulungnya demi memuaskan syahwat kekuasaan para pembisik dan penjilatnya", begitu kira-kira komentar Ruhut.

Beberapa kalangan muslim dan komunitas masyarakat Betawi pun merasa geram dengan keputusan SBY yang mengajukan calon sendiri dengan meninggalkan koalisi anti-Ahok. Bahkan bacagub yang gagal diusung, Prof. Yusril Ihza Mahendra sampai mengeluarkan statemen bahwa ini adalah stretagi SBY dan koalisinya untuk memenangkan Ahok. Mereka sengaja mengusung cagub yang lemah untuk memuluskan langkah Ahok kembali memimpin Jakarta, lanjut Yusril.

Dalam situasi seperti ini, saya berusaha melihat dengan kaca mata positif dan optimis. Saya tidak anti Ahok, saya juga tidak suka menjadikan isu SARA sebagai materi kampanye. Namun nurani saya mengatakan, lebih suka jika DKI Jakarta, ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dipimpin oleh orang yang seagama dengan saya, yaitu Islam. Memang muslim saja belum cukup, sang gubernur nantinya harus santun dalam berucap dan menguasai tata pemerintahan serta yang paling penting adalah amanah.

Secara bertahap, insting politik saya berusaha membaca motif dan strategi koalisi non-petahana yang mengusung dua pasangan cagub-cawagub DKI. Mengapa Poros Cikeas (Demokrat-PAN-PKB-PPP) dan Poros Hambalang (Gerindra-PKS) tidak bersatu dengan mengusung satu pasangan cagub-cawagub DKI ?

Nalar politik saya menjelaskan bahwa ini adalah strategi cerdas dan cerdik dari koalisi non-petahana. Provinsi DKI Jakarta berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Jika provinsi lain menggunakan UU No. 8 tahun 2015 sebagai dasar pemilihan gubernur, bupati dan walikota, maka DKI Jakarta menjadika UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai dasar penyelenggaraan pilkada. Pada pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 menyebutkan, bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (limapuluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Hal ini berbeda dengan provinsi lain, dimana berdasar ketentuan UU 8/2015 pasal 109 ayat (1) menyebutkan, bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Ini artinya, sangat mungkin pilkada DKI Jakarta berlangsung dalam 2 (dua) putaran. Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) UU 29/2007, sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperolah suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

Disinilah Matematika Politik para petinggi koalisi non-petahana _Koalisi Kekeuargaan_ nampak kecerdikannya. Logikanya, jika pilkada DKI hanya diikuti oleh dua pasangan calon, maka bisa dipastikan pilkada berlangsung dalam satu putaran dengan probabilitas kemenangan 50-50 untuk setiap pasangan calon. Ini akan berbeda jika pilkada diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon, maka sangat mungkin pilkada akan berlangsung dalam 2 (dua) putaran, karena probabilitas kemenangan 30% untuk setiap pasangan calon pada putaran pertama.

Lebih jelasnya begini, jika hanya Ahok dan satu cagub yang berkompetisi di pilkada DKI, maka peluang Ahok untuk menang sangat besar. Namun jika Ahok melawan 2 (dua) pasangan calon, maka potensi suara Ahok terpecah sangat besar, sehingga pada putaran pertama perolehan suara Ahok tidak mencapai 50% lebih. Nah, pada putaran kedua nanti pertarungan yang sesungguhnya digelar, dimana pasangan calon yang gugur akan mengabungkan suaranya untuk melawan Ahok. Secara kalkulasi matematika, gabungan perolehan suara pasangan calon koalisi non-petahana akan bisa mengungguli Ahok.

Alasan rasional inilah yang membuat saya percaya dan yakin bahwa pada tahun 2017 nanti Jakarta akan memiliki gubernur baru yang bukan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Dengan catatan, semua rencana dan skenario pera petinggi partai koalisi non-petahana atau Koalisi Kekeluargaan berjalan mulus.

Salam #DamaiIndoesiaKoe (Arif Yuswandono).

Tujuh provinsi yang akan menggelar Pilkada 2017 adalah Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sementara 94 kabupaten/kota yang ikut Pilkada 2017 tersebar di 28 provinsi.
Kendati pilkada digelar serentak, aturan yang digunakan tidaklah seragam. Aturan umum ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf
Tujuh provinsi yang akan menggelar Pilkada 2017 adalah Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sementara 94 kabupaten/kota yang ikut Pilkada 2017 tersebar di 28 provinsi.
Kendati pilkada digelar serentak, aturan yang digunakan tidaklah seragam. Aturan umum ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf
Tujuh provinsi yang akan menggelar Pilkada 2017 adalah Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sementara 94 kabupaten/kota yang ikut Pilkada 2017 tersebar di 28 provinsi.
Kendati pilkada digelar serentak, aturan yang digunakan tidaklah seragam. Aturan umum ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf

Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf

Rabu, 28 September 2016

Negeri Para Pecundang

Negeri Para Pecundang

JAKARTA- (29/9/2016) Namanya Mario Teguh, terkenal dengan salam supernya. Siapa yang tidak mengenalnya, kata-katanya magic dan menghipnotis, acara Mario Golden Ways nya menjadi salah satu tontonan favorit masyarakat Indonesia.

Mungkin dia sedang kebagian jatah, membuktikan kata-katanya, bagaimana rasanya jatuh dan dicaci-maki, bagaimana rasanya dibenci dan di-bully. Jika dia bisa bangkit dan lepas dari situasi ini, maka saya termasuk yang mengucapkan selamat, "Anda memang super". Tapi jika sang super Mario hilang dan tenggelam, maka ungkapan, "Hidup tidak semudah kata-kata Mario Teguh" jadi benar secara absolut.

Tapi yang menarik adalah munculnya fenomena para Netizen yang beramai2 menyampaikan kesaksian sisi buruk Mario Teguh. Ada cerita soal kebijakan Mario Teguh yg mematok tarif ratusan juta rupiah utk acara off air, fasilitas kamar suite presiden, jemputan harus Alphard, sang istri harus ditanggung hoby shopingnya dan sebagainya.

Ada juga cerita dr pihak keluarga soal sifat Mario Teguh yang arogan, ngeyel dan tidak mau menerima masukan. Dan masih banyak lagi netizen maupun portal berita serta website yang mengungkap sisi negatif Mario Teguh.

Sebelumnya jg ada fenomena sang penasihat spiritual, Gatot Brajamusti, yang biasa dipanggil Aa Gatot. Setelah tertangkap basah sedang berpesta barang haram jenis sabu-sabu di sebuah hotel di Mataram, Aa Gatot menjadi bulan-bulanan media. Sisi kelamnya menjadi sajian rutin setiap harinya. Dari mulai perilaku sex yang menyimpang, cara-cara penyembuhan yg janggal, aksi tipu-tipu nya dan berita kamar raja jin yg diduga jd tempat mesumnya.

Kemudian yang terbaru adalah fenomena sang manusia uang dari Probolinggo, Kanjeng Dimas Taat Pribadi. Seorang pemimpin "pesantren" yang menjadi pesakitan karena diduga mendalangi pembunuhan dua orang santri. Berita sisi buruk dan kesesatan Kanjeng Dimas juga rame diunggah di media online.

Mereka _Mario Teguh, Gatot Brajamusti, Kanjeng Dimas_ mungkin salah atau bahkan sesat. Tetapi yang tidak lebih baik adalah orang-orang yang baru sekarang mengungkapkan kesalahan dan kesesatan tersebut, giliran sudah jatuh dan terhina, ramai2 muncul kesaksian ini itu soal keburukan dan sisi negatifnya.

Selama ini kemana saja wahai para penghujat, dan orang2 yang kadang sok tahu menceritakan kejelekan orang lain? Yang celaka adalah mereka yang ikut2an menyebar berita tersebut, dishare via medsos maupun Grup WhatsApp atau BBM. Ini adalah perilaku pengecut yang mengeroyok musuh yang sudah tidak berdaya.

Karuan saja skr Anda berani bicara kejelekan Mario Teguh, Gatot Brajamusti atau Kanjeng Dimas. Karena mereka sudah lemah dan tidak berdaya. Coba, dulu di saat mereka kuat dan diatas. Anda mungkin termasuk pemuja dan penggemarnya.

Sama seperti yang terjadi dengan nasib Presiden kedua Indonesia, HM Soeharto, giliran beliau jatuh dan tidak berdaya, masyarakat beramai-ramai menghujat dan menjelek-jelekkan. Tanpa sadar bahwa mereka pernah hidup, menikmati dan mengambil untung pada masa pemerintahan Orde Baru.

Karakter seperti ini mirip dengan perilaku burung bangkai _Gagak, Condor, Hering dan sebangsanya _, yang mencabik2 binatang ketika dlm keadaan lemah, sakit atau bahkan sudah menjadi bangkai. Menjijikkan dan memalukan manusia yang bermental sepeti burung bangkai. Mental pengecut dan pecundang.

Termasuk mental pecundang adalah ikut2an memuji-muji dan menyanjung-nyanjung tokoh atau pejabat yang sedang kuat dan diatas. Tanpa tahu yang sesungguhnya dan kenal secara nyata, mereka ikut2an menuliskan barisan kalimat indah untuk memuji sang tokoh atau pejabat. Mirip anjing penjilat yang mengais-ngais kaki tuannya.

Kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini berisi orang2 yang bermental pengecut, pecundang dan penjilat. Berani menghina dan mencaci-maki disaat seseorang jatuh tak berdaya. Tetapi berebut memuji dan memuja disaat ada tokoh atau pejabat sedang dalam kondisi kuat dan berkuasa.

Inilah kondisi bangsa kita saat ini. Dipenuhi para pecundang yang mengabaikan akal dan nurani. Inilah negeri kita saat, yang berisi para pengecut dan penjilat. Selama bangsa ini tetap memelihara mental pecundang jangan harap menjadi bangsa yang kuat dan bermartabat.

Sudah saatnya bangsa ini bangkit dan memperbaiki diri. Jangan gemar menghina dan mencaci-maki. Jangan berlebihan memuji dan menyanjung. Dunia ini berputar, yang diatas suatu saat akan dibawah, yg berkuasa suatu saat akan jatuh, yang dicinta suatu saat akan dibenci, kawan bisa jadi lawan, musuh bisa jadi teman.

_Ojo sulap, Ojo kagetan, Ojo gumunan, Ojo latah_ (jangan mudah silau, jangan mudah kaget, jangan mudah keheranan dan jangan ikut-ikutan latah).

Salam #DamaiIndonesiaKoe
(Arif Yuswandono)


Senin, 26 September 2016

Politik Jungkir Balik

POLITIK AKAL SEHAT


Politik akal sehat tampaknya sedang memasuki ruang gawat darurat di negeri ini. Ibukota sebagai ibu teladan telah menjelma menjadi ibu kesesatan.

Pada   mulanya,   nalar   lurus   mempertanyakan   keputusan   PDI-Perjuangan   memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Rekam jejak Ahok dinilai tidak sejalan dengan garis ideologis Marhaenisme-pembela wong cilik.

Tak   lama   kemudian,   nalar   terpelanting   lebih   jauh   mendapati   keputusan   poros “Cikeas” dan “Kertanegara” dalam menetapkan pasangan yang diusungnya. Seorang Jenderal purnawirawan dengan  getir   menyatakan,  “Penunjukan   Agus  Yudhoyono merupakan preseden buruk  bagi TNI; menjadi contoh negatif  yang bisa merusak atmosfir pembinaan  di lingkungan TNI.  Seorang prajurit ditempa  untuk menjadi tentara sejati,  bukan menjadi politisi.”

Pesan berantai yang tersebar melalui media sosial juga secara satir mempertanyakan integritas dan marwah politik kubu yang lain. Seseorang yang pernah menghujat tokoh sentral kubu ini sebagai pelanggar HAM dan proksi mafia, kini dengan senang hati menerima pinangannya. Adapun sang tokoh yang  pernah disnista pun seperti mati akal untuk bisa berdiri tegak dengan otonomi ideologinya.

Alhasil, tiga pasangan tampil sebagai hasil pilihan akal sesat. Kepentingan jangka pendek mengorbankan kesehatan nalar publik. Urusan negara dipandang sebagai pertaruhan   harkat   keluarga.   Popularitas   menepikan   integritas.   Modal   uang menjatuhkan modal moral.

Kebebesan   demokratis   sebagai   buah   reformasi   belum   kunjung   menghadirkan kehidupan politik yang lebih sehat dan bermakna. Kebebasan sebagai negative right (bebas dari) mengalami  musim semi. Bangsa ini telah bebas dari berbagai bentuk represi,   sensor,   bahkan   pembatasan.   Namun,   kebebasan   sebagai  Positive   right (bebas untuk) mengalami  musim  paceklik. Kita tidak  memiliki kapasitas dalam menggunakan   kebebasan   itu   untuk   memperbaiki   kehidupan   negeri   dengan memberdayakan daulat rakyat.

Berbagai bentuk pilihan dan kebijakan publik tidak menggunakan asas-asas nalar publik  yang  sehat. Kebijakan  dan pilihan politik  dengan nalar  publik  yang sehat setidaknya   harus   memenuhi   empat   prinsip   utama   suatu   politik   yang   responsif: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan dan kebebasan. Dengan keempat prinsip ini,   politik   yang   responsif   harus   mempertimbangkan   rasionalitas   publik   tanpa kesemena-menaan   mengambil   kebijakan/keputusan;   adaptabilitas   kebijakan   dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban;   serta   persetujuan   rakyat   terhadap   pemerintah.   Ketika   arena   politik   lebih mewadahi   konflik kepentingan   ketimbang   konflik   visi-ideologi,   watak   politik menjadi narsistik, mengecilkan harapan banyak orang.

Tuntutan politik responsif menghendaki agar demokrasi yang dikembangkan tidak berhenti sebagai demokrasi minimalis yang bersifat elitis, namun menjelma menjadi demokrasi deliberatif (permusyawaratan) yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan.

Demokrasi   elitis   sebagaimana   dikonseptualisasikan   oleh   Joseph   Schumpeter mendefiniskan demokrasi sebatas metode prosedural, melupakan substansi   yang berkaitan   dengan   tujuan   kesejahteraan   atau   perbaikan   nasib   rakyat. Demokrasi hanyalah   seperangkat   prosedur   dengan   mana   keputusan   diambil   dan   kebijakan dihasilkan.

Kedua,   konsep   politik   dianalogikan   dengan   konsep   ekonomi   pasar. Kompetisi   politik   berhubungan   erat   dengan   kompetisi   ekonomi.   Oleh   sebab   itu, demokrasi   elitis   ini   benar-benar   menempatkan   demokrasi   sebagai   suatu   arena kompetisi   bagi   elit-elit  terbatas   dan   teratas.   Demokrasi   adalah   persaingan antarelite.   Politisi   adalah   pengusaha,   wakil   rakyat   adalah   saudagar,   voter   adalah konsumen.   Ketiga,   demokrasi   elitis   ini   membedakan   dirinya   dari   sistem totalitarianisme sejauh bahwa pemimpin dari demokrasi elitis diajukan sementara sistem kediktatoran berdasarkan pada pemaksaan. Keempat, rakyat umum memiliki peranan   minimal   dalam   demokrasi   ala   Schumpeter   ini.   Rakyat   hanya   datang   kepemilu   untuk   memilih   wakilnya   namun   mereka   tidak   dapat   “menentukan”   dan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan.

Demokrasi deliberatif mengatasi kekurangan demokrasi  elitis  dengan memandang kebebasan   individu   dan   kesetaraan   politik   merupakan   hal   penting   sejauh  dapat mendorong   kemampuan   manusia   untuk   membentuk   tatanan   kolektif   yang berkeadilan melalui deliberasi rasional (Hurley, 1989.

Dalam   demokrasi   deliberatif,   suatu   keputusan   politik   dikatakan   benar   jika memenuhi   setidaknya   empat   prasyarat.   Pertama,   harus   didasarkan   pada   asas rasionalitas   dan   keadilan   bukan   hanya   berdasarkan   subjektivitas   kepentingan. Kedua,   didedikasikan   bagi   kepentingan   banyak   orang,   bukan   demi   kepentingan perseorangan   atau   golongan.   Ketiga,   berorientasi   jauh   ke   depan,   bukan   demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi   negatif).   Keempat,   bersifat   imparsial,   dengan   melibatkan   dan mempertimbangkan   pendapat   semua   pihak   (minoritas   terkecil   sekalipun)   secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elit penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.

Orientasi etis “hikmat-kebijaksanaan” mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam yang mengatasi ruang dan waktu tentang wacana yang dipersoalkan. Melalui hikmat itulah mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami dan mengetahui apa  yang  dipikirkan rakyat  untuk kemudian  diambil keputusan yang bijaksana yang membawa republik ini pada keadaan yang lebih baik. Orientasi etis “hikmat-kebijaksanaan”   juga   mensyaratkan   kearifan   untuk   dapat   menerima
perbedaan secara positif  dengan memuliakan apa yang disebut sebagai ”kebajikan keberadaban” (the virtue of civility); yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam   perbedaan   dan   kesediaan   untuk   berbagi   substansi   bersama,   melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

(Kompas, Selasa, 27 September 2016 oleh Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Minggu, 25 September 2016

ABIMANYU ; Kstaria yang Dikorbankan

ABIMANYU ; Satria yang Dikorbankan

JAKARTA- (26/9/2016) Dalam pewayangan Jawa, Abimanyu dikenal pula dengan nama Angkawijaya, Jaya Murcita, Jaka Pengalasan, Partasuta, Kirityatmaja, Sumbadraatmaja, Wanudara dan Wirabatana.

Ia merupakan putra Arjuna , salah satu dari lima ksatria Pandawa dengan Dewi
Subadra , putri Prabu Basudewa, Raja Mandura dengan Dewi Dewaki. Ia mempunyai 13 orang saudara lain ibu, yaitu: Sumitra, Bratalaras, Bambang Irawan, Kumaladewa, Kumalasakti, Wisanggeni, Wilungangga, Endang Pregiwa, Endang Pregiwati, Prabakusuma, Wijanarka, Anantadewa dan Bambang Sumbada.

Abimanyu merupakan makhluk kekasih dewata . Sejak dalam kandungan ia telah mendapat "Wahyu Hidayat", yang mampu membuatnya mengerti dalam segala hal. Dikisahkan bahwa karena pertapaannya yang khusyuk, Abimanyu mendapatkan Wahyu Makutha Raja, yaitu wahyu yang menyatakan bahwa keturunannyalah yang akan menjadi penerus tahta Para Raja Hastina.

Dalam pewayangan, Abimanyu adalah tokoh yang mempunyai sifat dan watak yang halus, baik tingkah lakunya, ucapannya terang, hatinya keras, besar tanggung jawabnya dan pemberani. Pendidikan militernya diajarkan langsung oleh ayahnya, Arjuna.

Sedangkan ilmu kebatinannya ia dapatkan dari kakeknya, Bagawan Abiyasa . Abimanyu tinggal di kesatrian Palangkawati, setelah mengalahkan Prabu Jayamurcita.

Abimanyu turut serta membela ayahnya dalam perang di Kurukshetra, yang menjadi klimaks wiracarita
Mahabharata. Pada pertempuran di hari ketiga belas, pihak Korawa menantang Pandawa untuk mematahkan formasi tempur melingkar yang dikenal sebagai Cakrabyuha.

Para Pandawa menerima tantangan tersebut karena Kresna dan Arjuna tahu bagaimana cara mematahkan berbagai formasi tempur. Pada hari itu, Kresna dan Arjuna sibuk bertarung dengan Raja Susarma dari Trigarta dan laskar Samsaptaka yang dikenal tahan banting.

Karena Pandawa telanjur menerima tantangan tersebut, mereka tidak memiliki pilihan selain menaruh harapan kepada Abimanyu yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara mematahkan formasi Cakrabyuha, namun tidak tahu bagaimana cara keluar dari dalamnya.

Untuk meyakinkan bahwa Abimanyu tidak akan terperangkap dalam formasi tersebut, Pandawa bersaudara memutuskan bahwa mereka dan sekutu mereka akan mengawal Abimanyu dan membantu sang pemuda keluar dari Cakrabyuha.

Para Pandawa selain Arjuna, yg notabene Paman Abimanyu tahu betul bahwa sang kemenakan belum menguasai taktik keluar dari formasi Cakrabyuha, sehingga tidak mungkin selamat.

Namun sang Paman, Yudhistira meyakinkan kepada Abimanyu. “Anakku, Mahaguru Drona hari ini akan menyerang kita secara besar-besaran. Ayahmu telah berangkat ke medan pertempuran di selatan. Kalau dia tak ada, kita bisa dikalahkan musuh dan itu akan menjadi malapetaka besar bagi kita. Tidak seorang pun di antara kita yang akan mampu menembus formasi Drona, kecuali ayahmu dan mungkin engkau. Paman berharap, engkau bersedia melakukan tugas ini,” kata Yudhistira kepada Abhimanyu.

“Ya, Paman, aku bersedia melakukannya. Ayah pernah mengajarkan cara menembus formasi seperti itu, tetapi aku belum pernah mempelajari cara keluarnya,” jawab kesatria muda itu.

“Anakku yang gagah berani, tembuslah formasi yang kokoh itu dan buatlah jalan masuk agar kami dapat mengikutimu dari belakang.

Selanjutnya, kami semua akan membantumu,” tambah Yudhistira .
Pendapat Dharmaputra didukung Bhimasena, yang harus segera menyusul kemenakannya jika Abhimanyu telah berhasil masuk ke dalam formasi kembang teratai itu. Di belakang Bhimasena akan menyusul Dristadyumna, Satyaki, Raja Panchala, Raja Kekaya, dan pasukan Kerajaan Matsyadesa.

Ingat akan ajaran ayahnya dan Krishna serta meresapkan dorongan semangat dari paman-pamannya, Abhimanyu berkata, “Baiklah, aku akan memenuhi harapan ayahku dan pamanku. Kupertaruhkan keberanian dan nyawaku demi kemenangan Pandawa.”

Kita semua tahu, akhirnya Abimanyu gugur dalam peperangan tersebut. Ia maju sendirian ke tengah barisan Korawa dan terperangkap dalam formasi mematikan yang disiapkan musuhnya.

Korawa menghujani senjata ke tubuh Abimanyu sampai Abimanyu terjerembab dan jatuh dari kudanya (dalam pewayangan digambarkan lukanya arang kranjang = banyak sekali). Abimanyu terlihat seperti landak karena berbagai senjata menancap di tubuhnya.

Sahabat Indonesia tercinta...

Di gelaran pemilihan pemimpin di Indonesia, baik pilpres maupun pilkda banyak Satria yg sengaja dikorbankan seperti Abimanyu. Demi memenuhi ambisi kekuasaan dan ketamakan dunia, para pendukung ini tega mendorong-dorong seseorang utk maju memperebutkan jabatan. Baik presiden, gubernur, bupati maupun walikota.

Para pembisik ini tau betul kekuatan dan kemampuan jagoannya, peluang menangnya sangat tipis. Tapi mereka memaksakan diri sambil berharap keajaiban. Pada akhirnya Sang Ksatria hanya menjadi tumbal yang gugur di medan pilkada atau pilpres.

Ketika hati sudah tertutup jiwa serakah maka apapun akan dikorbankan, bahkan orang yang disayang sekalipun.

Ya Tuhan, kami berlindung dari sifat yang demikian. Jauhkan kami dari sifat tamak dan serakah.

Salam #DamaiIndonesiaKoe (Arif Yuswandono).

Sepatumu Terlalu Besar, Nak...!!!

Sepatumu Terlalu Besar, Nak....!!!

JAKARTA- (25/9/2016) Namanya Muhammad Izzuddin Al Qassam, jagoan ku yg no 3. Umurnya belum genap 2 tahun tp pintar, lucu dan menggemaskan.

Suatu pagi dia jalan2 memakai sepatu bundanya. Lucu sekali. Al Qassam pun nampak senang, sambil jalan dibuat2 berwibawa, bolak balik kesana kemari.

Tiba-tiba, GUBRAAAKKK... jatuh dia, kesrimpet sepatunya sendiri. Menangis... "Sudah nak, diam jangan menangis, sepatu nya terlalu besar sayang. Ga pantes dan membuatmu jatuh".

Sahabat Indonesia tercinta...

Pangkat, jabatan dan kekayaan tidak ubahnya spt sepatu buat kita. Hanya alas kaki utk melindungi dan membantu kita berjalan menapaki tangga kehidupan. Tujuan akhirnya jelas, menghadap Sang Maha Kuasa utk melaporkan hasil pengabdian dan prestasi kita di dunia.

Saat ini banyak manusia yg tidak tau diri. Tidak berpikir bahwa sepatu yg terlalu besar itu bisa membuat dia jatuh. Betapa banyak orang yg berebut pangkat dan jabatan, menggunakan segala cara utk menumpuk kekayaan. Namun pada akhirnya, pangkat jabatan dan kekayaan yg mereka miliki justru membuat mereka jatuh dan terhina.

Jabatan itu amanah, amanah adl kepercayaan, kepercayaan itu beban dan tanggung jawab. Jabatan itu bukan kehormatan atau kemuliaan. Maka tidak heran ketika, Umar bin Abdul Aziz terpilih sbg Khalifah menggantikan khalifah sebelumnya, Sulaiman Bin Abdul Malik pada hari Jum’at tanggal 10 Shafar tahun 99 Hijriyah, kalimat pertama yg diucapkan adl Inna lillahi wa Inna ilaihi raji’uun, bukannya Alhamdulillah atau mengadakan pesta, sebagaimana kebanyakan pejabat di negeri ini.

Saat diumumkan di depan publik namanya disebut sebagai pengganti, seluruh hadirin pun serentak menyatakan persetujuannya. Tapi tidak dengan Umar. Sang Khalifah menangis terisak-isak. Ia memasukkan kepalanya ke dalam dua lututnya dan menangis sesunggukan.

“Demi Allah, ini sama sekali bukanlah atas permintaanku, baik secara rahasia ataupun terang-terangan,” ujar cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab ini.

Sahabat Indonesia tercinta...

Amanah tidak perlu diminta, tp akan datang sendiri jika seorang manusia sudah siap dan layak. Tuhan tahu kapasitas hamba yg pantas mengemban amanah.

Abu Dzar al Ghifari, suatu ketika bermaksud meminta jabatan kepada`Rasulullah Saw. "Wahai Rasulullah, tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)?", kata Abu Dzar kepada Beliau. Sembari menepuk bahu Abu Dzar, Rasulullah bersabda: "Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan melaksanakan tugas dengan benar." Demikianlah cerita Abu Dzar seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Sahihnya.

Siapa yang tak kenal Abu Dzar Al Ghifari?. Beliau adalah sahabat dekat Rasulullah Saw, seorang lelaki dari Bani Ghifar yang sangat pemberani. Abu Dzar masuk Islam di saat kaum Qurays mendustakan Rasulullah dan bergegas bergabung dengan Rasulullah di Madinah saat ia mendengar Rasul telah berhijrah. Kedekatannya dengan Rasulullah tak dapat diragukan lagi. Ia senantiasa menempel kemanapun Rasulullah pergi. Tempat tinggalnya di Masjid Nabawi dan senantiasa menjadi pelayan Rasulullah.

Keberaniannya tak dapat disangsikan. Abu Dzar mengumumkan ke-Islamannya secara terang-terangan di dekat Ka’bah, padahal Rasulullah telah berpesan untuk menyembunyikannya. Alhasil Abu Dzar babak belur dikeroyok kaum Qurays. Namun Rasulullah SAW tau betul bahwa abu Dzar Al-Ghifari tdk punya kapasitas utk menjadi seorang pemimpin ato pejabat.

Sahabat Indonesia tercinta...

Jaman sudah jungkir balik. Orang berlomba memperebutkan amanah dan tanggung jawab. Mereka tdk melihat kapasitas diri dan kepantasan diri. Seperti anak kecil yg memaksakan diri memakai sepatu ibunya. Tidak elok dan berisiko mencelakakan diri sendiri.

Hanya karena ambisi kekuasaan dan keserakahan, seseorang mengajukan diri jadi pemimpin. Atau karena bisikan jahat para pengikut seseorang didorong-dorong utk mencalonkan diri jadi pejabat.

Jika sudah demikian yg terjadi maka tunggulah kehancurannya. Jika amanah dipegang oleh yg bukan ahlinya maka tinggal tunggu waktu saja. Jika kita beruntung, kita akan menyaksikan akhir dr sebuah ketamakan.

Orang yg hancur krn jabatan nya. Orang yang terhina karena kekayaan nya. Menurut eyang Kakung, "Ora Kuat Drajat". Jadi seseorang jatuh, terhina dan hancur justru karena jabatan yang diperebutkan nya.

Hati-hati dengan sepatu mu nak... Kalau terlalu besar akan memberatkan mu dalam melangkah dan membuat mu terjatuh.

Mari kita selalu berdoa menirukan munajat para penjelajah bahari di kesilaman. ”Ya Tuhan, selamatkan kami. Lautan di Tanah Air ini luas dan ombaknya ganas menerjang. Bahtera kami oleng, sedang nakhodanya mencari selamat sendiri!” Amin..

Salam #DamaiIndonesiaKoe (Arif Yuswandono).

Kamis, 15 September 2016

TIDAK PERLU MARAH JIKA DIFITNAH, TIDAK USAH MISUH MESKI DITUDUH

TIDAK PERLU MARAH JIKA DIFITNAH, TIDAK USAH MISUH MESKI DITUDUH

JAKARTA- (16/9/2016) Dalam sebuah acara di masjid Sunda Kelapa, Jakarta, seorang ustadz bercerita tentang Nabi Yusuf a.s....

Di tengah-tengah cerita, beliau bertanya kepada jama'ah, "Siapa nama perempuan yang menggoda Nabi Yusuf..?

"Zulaikha," jawab jama'ah kompak....

"Dari mana tahunya bahwa nama perempuan itu Zulaikha? Allah tidak menyebutnya dalam Qur'an."

Refleks jama'ah menjawab, "Dari hadits."

Hadits mendukung kisah yang ada dalam Qur'an dengan lebih detil...

"Mengapa Allah tidak menyebut nama Zulaikha dalam Qur'an?"

Semua jama'ah diam. Sang ustadz melanjutkan penjelasannya...

"Karena perempuan ini _MASIH MEMILIKI RASA MALU_. Apa buktinya bahwa ia masih memiliki rasa malu? Ia menutup tirai sebelum menggoda Yusuf. Ia malu dan tidak ingin ada orang lain yang tahu tentang perbuatannya. Dan Allah menutupi aib orang-orang yang masih memiliki rasa malu di hatinya, dengan tidak menyebut namanya dalam Qur'an."

Betapa Allah Maha Baik. Tak hanya sekali, namun berulang kali Allah menutup dosa-dosa kita. Hanya karena masih memiliki rasa malu, Allah tidak membuka identitas kita...

*Jika saat ini kita _tampak_ hebat dan baik dimata orang, itu hanya karena Allah SWT menutupi aib dan keburukan kita. Jika tidak, maka habislah kita. Terpuruk, seterpuruk-terpuruknya. Malu, semalu-malunya. Hina, sehina-hinanya. Seperti tak ada lagi tempat tersedia untuk menerima kita...*

Wahai manusia, khususnya para pemimpin negeri ini. Baik itu presiden, gubernur, menteri, bupati, walikota, kepala2 dinas hingga Lurah ato Kepala desa... Anda semua tdk usah gerah kalau difitnah, tdk perlu misuh-misuh juga Ika dituduh, ga usah kelabakan manakala belangnya ketahuan, tdk perlu repot membela diri dp saat kebusukan mu terbukti... Ingat dan sadarlah bahwa lebih banyak aib dan kebusukan kita yg tdk terungkap, masih banyak dosa dan nista kita yg tersembunyi.

Wahai orang2 yg terpilih jd pemimpin, ketahuilah bahwa kebanyakan kita saat ini begitu khusyuk dan soleh ketika di keramaian, namun nampak binal dan liar pd saat dlm keheningan dan hanya bersama Rabb-nya. Kita ini pandai berakting sbg abdi ketika ditonton dan disaksikan manusia, tp gagal menundukkan diri ketika berhadapan dg Tuhan Yg Maha Suci.

Sudahlah, hemat energi dan tenaga, fokuslah pd pelayanan dan pengabdian, tunjukkan saja kerja nyata dan prestasi. Karena waktu mu menjabat tidak lama lagi..

Salam Damai Indonesia Koe (Arif Yuswandono)

JANGAN JADI PEMIMPIN JIKA TIDAK SIAP DIHINA & DIFITNAH

JANGAN JADI PEMIMPIN JIKA TIDAK SIAP DIHINA & DIFITNAH

Jakarta- (15/9/2016) Suatu ketika Rasulullah SAW menjadi imam sholat. Para sahabat yang menjadi makmum di belakangnya mendengar bunyi gemercik menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh Rasulullah bergeser antara satu sama lain.

Sayidina Umar ibn Khattab RA, yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai sholat, ”Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, apakah Anda sakit?” Namun Rasulullah menjawab, ”Tidak. Alhamdulillah, aku sehat dan segar.” Mendengar jawaban ini Umar bin khatab melanjutkan pertanyaannya, ”Lalu mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” Melihat kecemasan di wajah para sahabatnya,Rasulullah pun mengangkat jubahnya.

Para sahabat amat terkejut. Terlihatlah perut Manusia yang dimuliakan Allah ini, Dan Ternyata perut Rasulullah yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali tubuh Rasulullah bergerak.

Umar memberanikan diri berkata, ”Ya Rasulullah! Adakah bila engkau menyatakan lapar dan tidak punya makanan, lalu kami hanya akan tinggal diam?” Rasulullah menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu ini. TETAPI APAKAH YANG AKAN AKU JAWAB DIHADAPAN ALLAH NANTI, APABILA AKU SEBAGAI PEMIMPIN, MENJADI BEBAN BAGI UMMATNYA..??” Para sahabat yang mendengar hanya tertegun menderaikan air mata. Rasulullah melanjutkan, ”Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad, sang cahaya-Mu yang selalu bersinar dan pemberian-Mu yang tak kunjung putus, dan kumpulkanlah aku dengan Rasulullah di setiap zaman, serta shalawat untuk keluarganya dan sahabatnya, wahai Sang Cahaya. (Kisah Para Sahabat).

Leiden is Lijden _Memimpin adl Menderita_ sebuah kredo dr tokoh besar pendiri bangsa, KH Agus Salim seperti air jernih yang mengalir dari hulu sungai ketulusan zamannya, terinspirasi dr keteladanan Baginda Rasul Muhammad SAW dlm memimpin para sahabat dan kaum muslimin pada masa kejayaan.

Segera terbayang juga penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”

Zaman sudah terjungkir. Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini, ”Memimpin adalah menikmati”. Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos).

Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan. (Yudi Latif, Makrifat Pagi).

Malu rasanya melihat perilaku pemimpin2 qt saat ini. Bukan kinerja dan pelayanan yg mjd prioritas, tp kemewahan dan pencitraan yg senantiasa mereka pertontonkan. Perilaku busuk dan kotor dg bongkar pasang koalisi mjd hal biasa utk melanggengkan kekuasaan. Tuntutan fasilitas mulai dr kendaraan, perumahan, tunjangan komunikasi dan uang saku mjd hal yg selalu mereka ributkan.

Sementara isak tangis masyarakat yg kelaparan, tergusur dan kehilangan pekerjaan hanya dianggap sbg dengungan nyamuk yg menjengkelkan. Menghamburkan uang rakyat atas nama kunjungan kerja dan studi banding tdk lebih hanya sekedar jalan2 tanpa hasil yg berarti.

Jk pemimpin qt saat ini jauh dr jalan penderitaan, maka jgn harap ada keberhasilan. Krn kemajuan dan kesuksesan hanya bisa didapatkan dg kerja keras dan keprihatinan. Menderita jg berarti menghadapi berbagai tekanan batin, berupa hinaan, caci maki, fitnah bahkan ancaman keselamatan.

Jgn jadi pemimpin kalo tdk siap difitnah dan dicaci maki. Tidur di rumah saja dalam pelukan istri jika tdk mau dihina dan direndahkan. Menjadi seorang pemimpin, baik itu presiden, gubernur, Bupati bahkan kepala desa sekalipun, harus tegar dan tabah menghadapi semua itu. Tidak perlu lebay dan sibuk membela diri, buktikan saja dg kerja nyata dan pengabdian. Biarlah Tuhan yg mengurus semuanya.

Salam Damai Indonesia Koe (Arif Yuswandono /Bharindo News).