Cari Blog Ini

Minggu, 09 Oktober 2016

Ketulusan yang Mempersatukan

Saudaraku, syahdan, empat orang sahabat menemukan sekeping mata uang. Orang pertama, seorang Persia, berkata, ”Dengan uang ini aku akan membeli anggur.” Orang kedua, seorang Arab, menyatakan keberatannya, ”Tidak, kita harus membeli inab.” Orang ketiga, seorang Turki, mengatakan, ”Aku menginginkan uzum.” Sedangkan yang terakhir, seorang Yunani, mengatakan bahwa ia tidak tertarik pada pilihan ketiga orang sebelumnya. ”Aku, katanya, ”ingin stafili.”
Ketika pertengkaran sedang memuncak, lewatlah seorang arif bijaksana yang segera berseru untuk mendamaikan. ”Aku bisa memenuhi keinginan kalian semuanya dengan uang yang kalian temukan itu. Syaratnya, kalian harus percaya dengan sepenuh hati. Sekeping uang ini akan menjadi empat, dan kalian berempat akan rukun kembali.”
Orang bijak itu lantas pergi dan membeli buah anggur. Begitu kembali, keempat orang sahabat itu sama-sama girang. Ternyata, semua mereka, dengan bahasanya masing-masing, telah menyatakan kebutuhannya akan hal yang sama, yaitu anggur.
Maulana Jalal ad-Din Rumi menceritakan kisah di atas dalam Matsnawi-nya sebagai tamsil tentang orang-orang yang terperangkap dalam kerangkeng kata-kata harfiyah dan penampakkan lahiriyah, tanpa mengerti kedalaman arti dan substansinya.
Bandingkan sindiran ini dengan muatan pesan pada anekdotnya yang lain. Alkisah, seorang penyair Arab membacakan puisi di hadapan sang raja yang tak berbahasa Arab. Pada bagian yang menimbulkan kekaguman, raja menganggukkan kepalanya; pada bagian yang membangkitkan ketakjuban, ia memandang secara terpukau dan pada bagian yang membangkitkan kerendahan hati, raja mengelus dadanya.
Komunitas istana kebingungan dan berkata, ”Raja kita tidak pernah tahu bahasa Arab sepatah kata pun. Bagaimana mungkin dia menunjukkan isyarat yang tepat, kecuali benar-benar memahami bahasa Arab dan menyembunyikannya dari kita selama ini? Apabila kita pernah berkata tak sopan dalam bahasa Arab, celakalah kita!”
Untuk menyelidikinya, para pembesar istana meminta seorang budak kesayangan raja untuk mencari tahu. Suatu kali, saat jeda di tengah keasyikan berburu, si budak bertanya tentang hal itu. Raja tertawa dan berkata, ”Demi Tuhan, aku sama sekali tidak tahu bahasa Arab. Aku menganggukkan kepala dan menyaratakan kesepakatan, benar-benar disebabkan maksud yang terkandung dalam puisi itu, bukan karena kata-kata yang diucapkannya.
Kisah tersebut memberi iktibar bahwa ”hal yang utama” yang harus ditangkap untuk menerobos hambatan harfiah adalah maksud. Puisi hanyalah ”cabang” dari ”yang utama”. Apabila tidak ada maksud, dia tidak akan pernah menggubah puisi. Jika seseorang telah mengutamakan maksud dan makna terdalam, tak ada lagi ke-dua-an yang tersisa. Ke-dua-an terletak di dalam cabang, sedangkan akarnya yang paling utama tetap satu. Seperti kata Empu Tantular, bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa, berbeda-bedana mun satu, tiada kebenaran bermuka dua.
Masalahnya, kehidupan modern dengan segala ornamen dan gemerlap penampakannya seringkali menyilapkan manusia dari maksud perjalanan, terperangkap dalam kerlap-kerlip lampu dan peta jalan. Adapun ilmu pengetahuan, yang mestinya memandu manusia menyingkap kulit zahiri guna menemukam biji hikmah di jantung batini, kian hari kian terjerat oleh pukau lahiriyah.
Untuk merengkuh kembali inti hikmah yang hilang, kita harus menyelam di level kesadaran yang lebih dalam, agar bisa mikraj dari kesadaran personal menuju transpersonal.
Dalam level kesadaran transpersonal, kehidupan dialami sebagai pola interkoneksi yang tak terputus dari segala kehidupan. Kesadaran seseorang dan keterlibatannya langsung dengan kehidupan berkembang dari pernik-pernik eksistensi sehari-hari menuju eksistensi kosmik yang lebih luas.
Dalam keluasan kesadaran kosmik, manusia bisa melihat betapa kesalingtergantungan tidak bisa dipisahkan dari kesatuan. Satu dalam semua, semua dalam satu. Kesatuan tak dapat eksis tanpa perbedaan. Dengan begitu, manusia bisa membuka diri penuh cinta dengan yang lain; mensyukuri perbedaan untuk saling mengarifkan.
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

TULUS vs MODUS

Saudaraku, marilah memungut hikmah dari kisah Malik bin Dinar, seorang sufi Persia, yang menempuh jalan pertobatan nan menggugah.

Bertampang keren dengan harta berlimpah, Malik masih jua punya angan untuk diangkat jadi takmir (pengurus) masjid agung yang baru dibangun Mu’awiyah di Damascus.

Maka ia pun rajin mendatangi masjid itu. Di salah satu pojoknya, ia bentangkan sajadah dan selama setahun terus-menerus beribadah seraya berharap agar setiap orang yang melihatnya shalat tersentuh.

"Alangkah munafiknya engkau ini," bisik hatinya. Setelah setahun berlalu, bila malam datang, ia keluar dari masjid itu dan pergi bersenang-senang. Pada suatu malam, di tengah-tengah keasyikannya bermain musik, tiba-tiba dari kecapi yang dimainkannya seperti terdengar suara: "Malik, mengapalah engkau belum juga bertobat?" Hatinya bergetar, kecapi dilemparkan dan ia bergegas ke masjid.

"Selama setahun penuh aku berpura-pura menyembah Allah," kata fajar budinya. "Bukankah lebih baik jika kusembah Allah dengan sepenuh hati? Alangkah hinanya beribadah sekadar untuk kedudukan. Bila orang hendak mengangkatku sebagai takmir masjid, aku tak mau menerimanya." Untuk pertama kalinya malam itu ia shalat dengan khusyuk dan ikhlas.

Keesokan harinya, orang-orang yang berkumpul di masjid seperti baru tersadar. "Hai, lihatlah dinding masjid telah retak-retak. Kita harus mengangkat seorang pengawas untuk memperbaikinya." Mereka bersepakat, Malik-lah orang yang tepat. Menungguinya hingga usai shalat, mereka lantas berkata: "Kami memohon kepadamu, sudilah menerima pengangkatan kami."

"Ya Allah," seru Malik, "setahun penuh aku menyembah-Mu secara munafik dan tak seorang pun yang memandangku. Kini, setelah kuserahkan jiwaku pada-Mu dan bertekad tak akan menerima jabatan itu, Engkau menyuruh dua puluh orang menghadapku untuk mengalungkan tugas itu ke leherku. Demi kebesaran-Mu, aku tak menginginkan pengangkatan atas diriku."

Kisah ini membersitkan iktibar bahwa ketulusan beribadah kepada Allah memancarkan kepercayaan dalam relasi kemanusiaan. Masalahnya, entah berapa banyak di antara kita yang beribadah sekadar demi dirinya sendiri: bershalat demi tradisi, bangun rumah ibadah demi tutupi korupsi, berhaji demi gengsi, berkhotbah demi mencaci, berzakat demi pamer diri.

Beragama secara posesif, demi modus "memiliki" (to have) bukan modus "menjadi" (to be), hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya, tanpa kesanggupan menggali kedalaman Yang Suci. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering dan keras; tak memiliki sensitivitas-kontemplatif, conscious-intimacy, daya-daya kuratif serta hubungan-hubungan transformatif dengan yang suci dan yang profan.

Tanpa penghayatan spiritual yang dalam, orang akan kehilangan apa yang disebut penyair John Keats sebagai negative capability; kesanggupan berdamai dengan ketidakpastian, misteri dan keraguan dalam hidup. Tanpa menghikmati misteri, manusia memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas keragaman dan kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.

Tanpa kedalaman spiritual dengan ketulusan bakti pada Yang Suci, peribadatan tak akan membawa dampak konstruktif, melainkan destruktif bagi kemanusiaan. Orang yang pura-pura mengabdi pada Ilahi akan berpura-pura mengabdi kepada kemanusiaan. Orang seperti itu tak pantas dipilih jadi pemimpin dan tak dapat dipercaya memikul amanah.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

HIGH RISK AHOK

JAKARTA- (10/10/2016) Terlalu riskan bila Ahok dipilih kembali. Ahok terlalu gaduh. Dia dihujani batu. Dukungan sejuta KTP ternyata fiktif dan tidak membuktikan apa pun. Survei-survei sarat rekayasa. Manipulatif. Bila para taipan dan pencari nasi bungkus memaksakan diri, Jakarta bisa dilanda instabilitas di berbagai sektor. Paling cocok, Ahok diposisikan sebagai Kepala PU atau penjaga kebersihan kota.

Resistensi warga sulit padam. Arogansi dan kasar rupanya adalah karakter Ahok. Inherent dan ingrained dalam struktur genetiknya. Belum pernah ada seorang gubernur, kecuali Ahok, yang punya musuh satu republik.

Setiap hari ada saja yang diserang Ahok. Ya politisi, parpol sebesar PDI-P diultimatum, warga miskin dicaci-maki. Historian dikatain goblok. TNI dibuat tersinggung di masalah sampah Bantar Gebang. Pengusaha hotel dipermalukan di depan publik. Ahok diam saja sewaktu mantan bosnya, Bang Yos dibully Ahoker. Lembaga negara dicemooh dengan istilah ngaco. Ahok terlalu sering mengabaikan aturan; serapan anggaran rendah. Cuma Ahok yang sanggup usir wartawan dan membiarkan Ahmadiyah beribadah di Bukit Duri. Sampai penggusuran Pasar Ikan, LBH Jakarta merilis laporan Ahok menggusur 8.145 KK dan memberangus 6.283 unit usaha di 113 titik penggusuran.

Kesuksesan kerja Ahok hanya ada di dunia fantasi. Faktanya, Pertumbuhan Ekonomi turun 0,16%. Inflasi naik 0,95%. Gini Rasio meningkat 7,20%. Penduduk Miskin bertambah 3,72%. Akuntabilitas Kinerja Provinsi hanya 58,57  (hanya urutan 18 dari 34 Provinsi). Realisasi Pendapatan Daerah cuma 66,8% (urutan buncit dari semua provinsi). Penyerapan Anggaran hanya 59,32 % (terburuk se-Indonesia). Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM): hanya 0,31 (nomor 1 dari bawah dari 34 provinsi se-Indonesia).

Hebatnya, Ahok bisa lolos dari berbagai skandal korupsi; Pengadaan Bus Trans Jakarta, Pengadaan UPS, Pembelian Tanah Sumber Waras, Tukar Guling Lahan Taman BMW, Sindikasi Reklamasi Pulau dan pembelian lahan Cengkareng Barat.

Kedatangan Ahok ditolak di berbagai tempat; Koja, Kalideres, Kapuk Muara dan Penjaringan. Ketua RT/RW se-Jakarta menyatakan “Bukan Teman Ahok”. Saya sulit membayangkan efektifitas kerja seorang kepala daerah bila kedatangannya ditolak warga. Bahkan untuk acara sederhana seperti peresmian taman, Ahok harus lari tunggang langgang. Polres mesti kerahkan 500 personil, belum lagi pengerahan prajurit TNI dan Satpol PP. Plus bonus korban timpukan batu dan dua pelajar PSKD ditangkap. Ahok sungguh high cost.

Economically, Ahok juga high cost. Relawan Andreas bilang Podomoro alirkan dana 30 milyar kepada Teman Ahok  untuk ngepul sejuta KTP. Belum lagi donasi teri dari ‘warga kena tipu’ yang sumbang jam dinding, printer, cetak kaos, ball poin dan sebagainya. Teman Ahok bikin booth di banyak mall. Saya kira itu ada biayanya. Pasti ada budget bayar tim Cyrus Network, beli slot acara di MetroTV, bayar media, bayar upah buzzer dan pembully. At the end, Ahok memilih jalur partai politik. Jadi, seluruh “perjuangan” relawan-bayaran dan donatur menguap begitu saja.

Politically, Ahok ngga kalah high-costly. Dia hendak mendelegitimasi partai politik. Tanpa partai politik, tidak ada demokrasi. Semua politisi, kecuali Ahok dan teman-temannya, adalah politisi busuk, pencari panggung dan koruptor. Pengumpulan KTP dan booth-booth (yang kerap dicaci maki pengunjung mall) merupakan bentuk dari kampanye terselubung dan “ilegal”. In another parlance, Ahok mencuri start.

Manuver “kutu loncat” Ahok bukan ciri pejuang politik. Di situ, Ahok jadi figur tanpa loyalitas. Statemen blak-blakan seperti “Tuhan aja gua lawan” cuma bikin Ahok tampak gak mutu. Dia tegas bilang ibunya pun bakal dia usir kalo bikin susah. Bahkan Malin Kundang tidak berpikir mengusir mamanya sendiri.

Socially, Ahok menjadi akar ketegangan rasial dan primordialisme. Sentimen anti Tionghoa naik. Ahok memicu over-confident golongan minoritas (etnis dan agama) untuk ngebully dan mencaci maki opponent. Berbeda dengan kader partai, Ahoker bersifat liar tak terkendali. Tak seperti kader partai, para free men Ahoker ini tidak pernah mengikuti rangkaian LDK, kurpol atau diklat terstruktur dan sistematis. Gerakan dan opini mereka sepenuhnya didasari sentimen like & dislike.

Seluruh faktor di atas menjadikan Ahok berpotensi menciptakan konflik horisontal dan vertikal. Kondisi semacam ini sangat tidak kondusif bagi bisnis. Secara praktis, Ahok bikin Jakarta lebih macet dan rentan banjir. Kegiatan ekonomi mikro jadi terganggu. Produktifitas salesmen menurun. Entah berapa banyak agenda meeting harus direscheduling akibat pembangunan enam jalan tol dan betonisasi bantaran sungai. Para taipan hendaknya berpikir ulang untuk membacking Ahok. He’s too costly. (Disarikan dari Akun FB Bayhaki Ahmad).

Senin, 03 Oktober 2016

JAKARTA BUTUH PEMIMPIN YANG BERADAB (Refleksi Hari Santri Nasional _HSN_ 22 Oktober)

JAKARTA BUTUH PEMIMPIN YANG BERADAB
(Refleksi Hari Santri Nasional _HSN_ 22 Oktober)
JAKARTA- (4/10/2016) Dalam tradisi besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif: keberadaban (civility), kemuliaan (nobility), dan keteraturan (order). Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama “polisi” (police), yang masih satu rumpun dengan kata "poli" (polite), yang berarti tertib sosial- santun berkeadaban.
Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. "Menjadi manusia beradab," ujar Fernand Braudel, "berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih tertib-taat hukum (civil) dan ramah (sociable)." Max Weber mendefinisikan kota sebagai “suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional.”
Mendekati konstruksi ideal tentang kota, Jakarta pada mulanya dibangun dengan bayangan seperti itu. Modal awalnya adalah tempat yang lapang dan molek. “Segala hal di Batavia," puji WA van Rees (1881), "lapang, terbuka, dan elegan." Tiga abad sebelumnya, Tomé Pires melukiskan tempat ini sebagai, "sebuah pelabuhan yang indah, salah satu yang terbaik di Jawa".
Jakarta dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942), Jakarta Tokubetsu Shi (1942-1945) dan Djakarta (1945-1972). Di dunia internasional Jakarta juga mempunyai julukan seperti J-Town, atau lebih populer lagi The Big Durian karena dianggap kota yang sebanding New York City (Big Apple) di Indonesia.
Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan peristiwa pembebasan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.
Menurut data pemerintah DKI saat ini, komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %). Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, di mana umat Islam berjumlah 84,4%, diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%).
Sejarah mencatat, Jakarta dan hampir semua wilayah Nusantara dibebaskan oleh para ulama dan santri dari cengkeraman penjajah. Bila sejarah pergerakan kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih khusus peran KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang ketika itu, dengan membonceng sekutu, hendak kembali bercokol.
Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, resolusi atau fatwa itu telah mendorong puluhan ribu Muslim, utamanya di Surabaya, untuk bertempur melawan Belanda dengan gagah berani. Peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya, itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Namun, dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis. Sungguh aneh, peristiwa 10 November selalu disebut-sebut, tetapi Resolusi Jihad yang membuat peristiwa 10 November bisa terjadi malah disembunyikan.
Buku Resolusi Jihad Paling Syar’iy, yang ditulis oleh Gugun el Guyanie (Pustaka Pesantren, 2010) adalah salah satu buku yang di salah satu sub judulnya ditulis, “Biarkan Kebenaran yang Hampir Setengah Abad Dikaburkan Catatan Sejarah itu Terbongkar”. Di dalamnya tergambar semangat untuk mengungkap kebenaran sejarah, khususnya di seputar Resolusi Jihad, yang menurut sejarahwan Belanda Martin van Bruinessen, peristiwa penting ini memang tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarahwan.
Jadi, yang berjuang membebaskan Jakarta dari cengkeraman penjajah dan mempertahankannya adalah para ulama, kyai dan santri. Dengan semangat jihad, diiringi doa dan pekik takbir "Allahu Akbar", Jakarta menjadi kota yang merdeka dan berdaulat dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga sudah selayaknya dalam gelaran pilkada DKI Jakarta tahun 2017, para ulama, kyai dan santri serta seluruh umat muslim bersatu bahu membahu untuk merebut kepemimpinan Jakarta dari tangan penjajah dan penindas. Jakarta harus dipimpin oleh orang yang mengerti agama, yang amanah, yang santun dan beradab, yang memiliki etika dan berbudaya.
Mari Bung, Rebut Kembali Jakarta, ibu kota negara tercinta.
Allahu Akbar...!!!
Allahu Akbar...!!!
Allahu Akbar...!!!

Jakarta Butuh Pemimpin yang Beradab

Saudaraku, dalam tradisi besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif:   keberadaban   (civility),   kemuliaan   (nobility),   dan keteraturan (order). Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama “polisi” (police), yang masih satu rumpun dengan kata "poli" (polite), yang berarti tertib sosial- santun berkeadaban.

Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. "Menjadi manusia beradab," ujar   Fernand   Braudel,   "berarti   memuliakan   tingkah   laku,   menjadi   lebih tertib-taat   hukum   (civil)  dan   ramah   (sociable)."   Max   Weber mendefinisikan   kota   sebagai   “suatu   tempat   yang   direncanakan   bagi   kelompok berbudaya dan rasional.”

Mendekati konstruksi ideal tentang kota, Jakarta pada mulanya dibangun dengan bayangan seperti itu. Modal awalnya adalah tempat yang lapang dan molek. “Segala hal di Batavia," puji WA van Rees (1881), "lapang, terbuka, dan elegan." Tiga abad sebelumnya,   Tomé Pires melukiskan  tempat ini  sebagai, "sebuah pelabuhan yang indah, salah satu yang terbaik di Jawa".

Pada   1808,   Herman   Willem   Daendels   ditunjuk  Pemerintahan Napoleon menjadi Gubernur   Jenderal   dengan   misi,   "menjaga   Batavia   dari   serangan   Inggris".   Ia tinggalkan Batavia tua di dataran rendah pelabuhan, lantas merancang kota Batavia baru di dataran lebih tinggi bagian selatan.   Rancangan kota ini dikerjakan secara sungguh-sungguh,   sehingga   dinamai   Weltevreden   (Menteng),   artinya   ’sungguh memuaskan’, ‘tertata baik’.

Dengan penataan yang baik dan memuaskan, Batavia sebagai the Queen of the East menjadi Mooi Indie berjiwa kosmopolitan. Meski harus diakui, di sana ada masalah yang  imbasnya masih kita warisi. Masalah utamanya diisyaratkan Clifford Geertz dalam  The   Social   History   of   an   Indonesian   Town  (1965).   Dalam   desain   kota kolonial,   ada   kesenjangan   antara   sektor   komersial   padat   modal   di   tangan   orang asing dan sektor subsisten padat karya di tangan penduduk lokal.

Di sini, terjadi segregasi secara radikal di antara sektor ekonomi, sosial, dan budaya modern dan tradisional. Implikasinya, gejala urbanisasi di Indonesia bukan proses konversi dari desa ke kota melalui perubahan secara gradual dari nilai dan institusi yang ada.

Sifat   kosmopolitanisme   yang   muncul   bukan   hasil   pencanggihan  tradisi parokial dari elemen-elemen utama dalam masyarakat setempat, tetapi merupakan intrusi aneka kelompok  asing yang  berwatak kosmopolitan  ke dalam  kepompong lokal. Dengan kata lain, gejala urbanisasi itu datang sebagai tekanan dari luar bukan berkembang secara organik dari dalam.

Akibatnya,   kolonialisme   berlalu   dengan   meninggalkan   jejak   fisik,   tetapi   tak mewariskan rasionalitas dan mentalitas kemodernannya. Di sana ada ruang hampa, karena tampilan luar modernitas kita tiru tanpa penguasaan sistem penalarannya. Dibawah   gedung-gedung   pencakar   langit   dan   apartemen   mewah,   mentalitas   udik bertahan, menjadikan kota bak hutan beton tanpa jiwa.

Dalam kota hampa seperti itu, pemerintah menyeret warganya untuk melakukan pemujaan terhadap budaya kedangkalan. Rasionalitas birokrasi diruntuhkan lemahnya sistem pelatihan dan perekrutan pegawai yang buruk.

Situasi ini diperparah oleh berimpitnya penguasaan birokrasi dengan kepentingan penguasa alat-alat   produksi   (kapitalis),   yang   menghancurkan   perencanaan   dan   rancang-bangun   perkotaan.   Yang   terwarisi   dari   kolonial   hanya   keburuknya,   berupa kecenderungan diskriminatif dalam skala yang lebih parah. Meritokrasi   dihancurkan   oleh   penurunan   standar   ekselensi   dan   kolusi.  

Di   sini, destruksi   tidak   disebabkan   keberlebihan   rasionalitas   pencerahan   dalam pembangunan, seperti dikeluhkan di Barat. Alih-alih, karena kurangnya asupan dan pertimbangan   rasionalitas   yang   membuat   mediokritas   melanda   semua   lini kehidupan.

Banjir, kemacetan,  polusi lingkungan, kriminalitas dan keburukan pelayanan publik Jakarta  merupakan arus   balik manajemen  perkotaan yang  memuja   kedangkalan.Tanpa keberadaban dan penalaran,  Jakarta segera berubah dari Queen of the East dalam imaji Belanda menjadi kota "heterogenik" dalam gambaran Lewis Mumford, yang penuh ambiguitas, kekerasan, disintegrasi, anarki, dan tragedi.

Perkembangan ini sangat merisaukan mengingat kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara.   Sebagai   pusat   pemerintahan,   pusat   perekonomian   dan   pusat   rujukan, Jakarta   bisa   diibaratkan   sebagai   pusat   syaraf   kehidupan   nasional.   Stroke   yang menyerang Jakarta akan membawa kelumpuhan ke seluruh jaringan kehidupan.

Siapa   pun   yang   berani   menjadi   calon   Gubernur   Jakarta   harus memiliki   prasyarat   mental   yang   sepadan   dengan   masalah   yang   harus   diatasi. Pemimpin dengan jejak rekam yang buruk, tak siap berkeringat dan hanya mencari untung   untuk   diri   sendiri,   bagaimana   mungkin   bisa   mengatasi   masalah   dan melayani warganya.

Pilkada Jakarta bukanlah pertarungan mempertaruhkan gengsi primordialisme (etnis dan agama), tetapi pertarungan mempertaruhkan kewarasan dan kebaikan hidup bersama.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Minggu, 02 Oktober 2016

Kho Seng Seng: Ahok Petaka, Persatuan yang Sudah Terjalin Rusak karena Ambisius dan Arogansi Ahok

JAKARTA- (2/10/2016) Rumah Amanah Rakyat yang didirikan para tokoh nasional seperti Taufiqurrahman Ruki mantan ketua KPK , Prijanto mantan gubernur DKI , Lili Wahid mantan anggota DPR RI yang juga adik kandung almarhum Gusdur, kedatangan seorang lelaki asli tionghoa.

Lelaki berperawakan kecil itu bernama kho Seng seng. Ia menyeruak diantara kerumunan warga DKI yang datang ke posko Rumah Amanah Rakyat (RAR), Jl. Cuk Nyak Dien No.5.

Seng seng datang tak sendiri. Dia datang bersama beberapa kawan dan dua orang keluarganaya yang semuanya etnis tionghwa asli.

“Saya Kho Seng Seng dari Jembatan Besi, kami ingin bertemu Pak Prijanto (mantan Wagub DKI) dan Taufik Ruqi (mantan pimpinan KPK),” ujarnya memperkenalkan diri sambil memperlihatkan judul berita di surat kabar yang memuat berita Rumah Amanah Rakyat.

Di hadapan Prijanto, Taufikurahman Ruki, Lily Wahid (tokoh NU), Habil Marati, Sofyano Zakaria dan hadirin, Kho Seng Seng berbicara dengan agak cadel namun jelas terpahami.

“Kita-kita yang minoritas sebenarnya sejak dulu gak pernah jadi masalah dipimpin oleh mayoritas pribumi dan muslim, kita selama ini hidup baik-baik saja baik dalam bertetangga maupun berdagang dan usaha,” ucapnya dengan perlahan dan terkesan teramat santun.

Seng seng melanjutkan, “Saya dan keluarga serta kawan-kawan tidak merasa terhina jika kami dibilang China. Saya juga tidak perlu ganti nama saya dengan nama Indonesia seperti yang banyak dilakukan suku saya. Pak Kwik Kian Gie tetap gunakan nama Chinanya tapi siapa yang ragukan nasionalisme Indonesianya.”

“Kami lahir dan besar di negeri ini dan kami tidak merasa bahwa kami dianak tirikan oleh pemimpin dinegeri dan juga oleh gubernur gubernur muslim yang selama ini mimpin jakarta.”

“Kalau memang kita minoritas China di negeri ini mengalami diskriminasi, tidak mungkin banyak dari etnis China berhasil dan sukses dalam usaha maupun dagang. Dan juga anak-anak kami pun bisa sekolah hingga tinggi di negeri ini.”

“Jadi kami tidak pernah alami diskriminasi seperti apa yang belakangan ini banyak dikampanyekan pendukung gubernur sekarang ini. Kampanye itu jadi begitu aneh? Ada apa sebenarnya dengan kota jakarta ini…? Kami sedih karena hubungan bertetangga yang telah terjalin puluhan tahun terusik karena ulah satu orang yang kami juga tidak kenal,” lanjut Seng Seng.

“Jadi kami tidak ragu lebih mendukung pemimpin pribumi dan muslim, karena itu pengalaman hidup kami yang baik selama kami hidup di Jakarta ini. Daripada mendukung pemimpin yang justru bisa menjadi masalah bagi hidup kami dan ini membuat kami jadi tidak nyaman di Negeri ini maka kami memilih dipimpin gubernur non etnis cina. Ini hak kami.”

Panjang lebar Kho Seng Seng bercerita kepada pengurus Rumah Amanah Rakyat tentang sejarah nenek moyangnya yang merantau hingga tiba ke dirinya di generasi ke lima.

Kho Seng Seng dengan nada sedih menambahkan , sikap kasar dan ambisi Gubernur saat ini, telah menimbulkan rasa tidak nyaman. “Kami etnis China yang bukan orang kaya, bisa menanggung akibat jika persatuan dan persahabatan yang sudah terjalin selama ini, rusak karena ambisi dan sikap arogan itu. Banyak orang China yang hidupnya juga pas-pas an dan tidak masalah jika dipimpin oleh saudara kami non cina,” tutup Seng seng. 

Sumber : POS-METRO.COM [kabarsatu]


Sabtu, 01 Oktober 2016

Surat Terbuka Buat Ahok

Kepada,
Yang Terhormat Basuki Tjahaya Purnama
Di JAKARTA

Semoga kebaikan dan keselamatan tercurah atas orang-orang yang mengikuti petunjuk-NYA.

Pak Basuki...
Saya memanggil dengan panggilan pendek, Pak Basuki, karena itu nama Anda.
Saya menulis surat ini bukan karena saya cinta atau benci Anda. Juga bukan karena saya pendukung atau bukan pendukung Anda. Saya juga tidak ada masalah pribadi dengan Anda. Jadi, sebelumnya mohon maaf jika nanti ada kata-kata saya yang menyinggung dan kurang berkenan.

Saya menulis surat ini berkaitan dengan pilkada DKI Jakarta, dimana Anda menjadi salah satu kontestan, calon gubernur. Saya menulis surat ini karena saya ingin mengeluarkan uneg-uneg saya. Saya memang bukan penduduk Jakarta, saya juga tidak punya KTP Jakarta, artinya saya tidak memiliki hak pilih dalam geleran pesta demokrasi di Jakarta.

Tetapi saya bekerja di Jakarta, teman-teman saya banyak yang penduduk Jakarta, saudara-saudara saya juga banyak yang ber-KTP Jakarta. Jakarta adalah ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara yang saya cintai. Jakarta adalah simbol dan representasi negara saya, Indonesia. Jadi, tidak ada salahanya kan, saya ikut berbicara dan berkomentar soal pilkada DKI Jakarta ?

Pak Basuki yang terhormat...
Sekali lagi, saya tidak benci Anda, saya juga tidak memusuhi Anda. Saya tidak peduli dengan agama Anda, suku Anda, makanan dan minuman Anda. Itu urusan pribadi Anda bukan urusan saya. Yang saya pedulikan adalah Jakarta, ibu kota negara saya, tempat dimana saya bekerja dan saudara-saudara saya tinggal.

Saya menginginkan dan mengharapkan Jakarta yang aman, damai, bersih, bebas banjir dan bebas macet. Saya juga memimpikan Jakarta yang maju dan modern dimana penduduknya hidup rukun dan sejahtera. Semoga Anda punya keinginan yang sama. Mungkin ini juga keinginan seluruh penduduk Jakarta dan sebagian besar rakyat Indonesia. Sampai disini kita punya keinginan yang sama, Pak Basuki...

Pak Basuki yang terhormat...
Saya tidak suka bicara yang menyinggung SARA (suku, agama dan ras). Saya juga tidak suka membeda-bedakan orang berdasarkan suku, agama dan ras. Tetapi kenyataannya, saya dengan Anda memang berbeda. Saya Muslim, Anda bukan, saya tidak tahu agama Anda karena saya tidak pernah melihat KTP Anda. Saya suku Jawa, Anda bukan, saya sendiri juga tidak yakin dengan suku Anda.

Sekali lagi saya tidak suka biacara yang menyinggung SARA. Tetapi saya mau mengungkapkan perasaan dan hati nurani saya. Hati sanubari saya mengharapkan, Jakarta dipimpin oleh orang yang seagama dengan saya Islam. Apakah hati nurani saya salah ?
Saya ingin mengucapkan assalamu alaikum kepada gubernur Jakarta, sementara kalimat tersebut hanya dikhususkan untuk sesama muslim. Saya memimpikan shalat berjamaah bersama gubernur DKI Jakarta, shalat Jumat bersama, juga shalat ied bersama, mengumandangkan takbir bersama, bahkan seandainya mungkin, menunaikan ibaah haji bersama. Apa saya salah, Pak Basuki ?

Pak Basuki yang terhormat...
Saya pernah melihat Anda secara langsung, menonton di televisi, youtube dan berita-berita tentang Anda di berbagai media massa. Bahkan, saya banyak mendengar cerita tentang Anda, baik dari orang yang suka maupun yang benci. Saya akui, Anda memang hebat. Banyak prestasi yang telah Anda raih, banyak perubahan di Jakarta selama kepemimpinan Anda.

Tetapi, ada beberapa hal yang saya tidak suka dari diri Anda. Apakah saya salah, jika saya tidak menyukai beberapa sifat yang ada pada diri Anda ? Saya tidak suka dengan gaya bicara Anda yang terlalu percaya diri, terkesan congkak dan sombong. Saya juga tidak suka sikap Anda yang tidak konsisten dan begitu mudah berganti partai demi meraih kekuasaan. Apakah saya salah, Pak Basuki ?

Dengan semua sifat Anda, saya tidak menyalahkan dan membenci Anda. Mungkin memang itu tabiat Anda. Hanya saja, saya menginginkan pemimpin Jakarta yang santun dan rendah hati. Yang berbicara dengan lemah lembut dan bersikap low profile. Orang yang konsisten dan tidak plin plan. Saya mengharapkan pemimpin Jakarta yang amanah dan relegius. Apakah saya salah, Pak Basuki ?

Pak Basuki yang terhormat...
Kesimpulannya, ada kesamaan keinginan antara saya dengan Anda, tetapi ada juga keinginan saya yang tidak ada pada diri Anda. Saya akan bercerita keinginan saya dengan saudara dan teman-teman saya di Jakarta. Saya akan mengajak saudara dan teman-teman saya di Jakarta agar memilih pemimpin yang sesuai dengan harapan dan mimpi saya. Apakah saya salah, Pak Basuki ?

Jika saya salah, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya...

Jakarta, 1 Oktober 2016 bertepatan dengan Tahun Baru Islam 1 Muharam 1438 Hijriyah

Hormat Saya
Arief Luqman el Hakiem (Yuswandono)