Cari Blog Ini

Rabu, 14 Desember 2016

JAYA SUPRANA : INDONESIA BUKAN NEGERI RASIS

Indonesia Tanah Air Beta
Oleh : Jaya Suprana (Budayawan)

Opini masyarakat mancanegara terbentuk oleh pemberitaan pers mancanegara maka mereka meyakini bahwa kasus dugaan penistaan agama di belahan akhir 2016 sebagai bukti bahwa bangsa Indonesia adalah rasis dan penindas kaum minoritas.

Demi meluruskan anggapan keliru terhadap bangsa saya, maka saya menulis naskah berdasar fakta yang saya alami dan amati dalam kehidupan pribadi saya.

Jika Anda kebetulan setuju dengan anggapan bahwa bangsa Indonesia rasis dan penindas kaum minoritas,maka sebaiknya jangan baca naskah ini karena pasti akan tidak berkenan bagi Anda.

Saya dilahirkan di Pulau Bali yang berada di dalam wilayah negara Republik Indonesia. Semula saya tidak sadar bahwa secara etnis-biologis ternyata saya tergolong keturunan Cina dengan nenek moyang saya (yang tidak saya kenal) dilahirkan di negara Cina.

Pertama saya sadar bahwa saya keturunan Cina pada masa pasca G-30-S di mana sekolah saya dibakar dan warga keturunan Cina termasuk ayah kandung saya ikut dibantai.

Lalu saya mengalami huru-hara rasialis di kota Semarang pada awal dekade 1980-an abad XX di mana kantor di mana saya bekerja dilempari batu, mobil saya dibakar dan rumah saya nyaris dijarah kaum kriminal.

Kemudian saya dihajar kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Banyak pihak menganggap bahwa huru-hara rasialis di Indonesia sebagai manifestasi antietnis Cina. Namun saya tidak setuju berdasar fakta pada justru tiga kali huru-hara yang saya alami selalu saya diselamatkan bukan oleh warga keturunan Cina yang masing-masing tentu saja lebih berusaha menyelamatkan diri sendiri.

Saya selalu diselamatkan oleh teman-teman yang kebetulan warga bukan keturunan Cina yang lazim disebut sebagai pribumi. Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil almarhum kakek saya diberi kesempatan mendirikan Jamu Jago sebagai perusahaan obat tradisional bukan Cina namun Indonesia yang Insya Allah, pada tahun 2018 akan mendirgahayu usianya yang ke-100.

Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil Kwik Kian Gie, Marie Pangestu, Ignatius Jonan, Enggariasto Lukita, Thomas Lembong bisa menjadi menteri.

Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Liem Swie King, Susi Susanti, Alan Budikusuma dan lain-lain bisa mengembangkan bakat masing-asing sehingga bisa menjadi juara-juara dunia.

Jika bangsa Indonesia rasis, mustahil sukma saya tergerak menciptakan komposisi-komposisi musik bersuasana kebudayaan Indonesia di panggung gedung kesenian terkemuka Esplanade Singapura, Sydney Opera House, dan Carnegie Hall.

Jika bangsa Indonesia rasis maka mustahil saya bisa bersahabat dengan teman-teman saya yang bukan keturunan Cina seperti Gus Dur, Cak Nur, Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Sukarnoputeri, Joko Widodo, Jusuf Kalla, Boediono, Prabowo Subianto, Hashim Joyohadikusumo, Moeldoko, Gatot Nurmantyo, Agus Wijoyo, Hidayat Nur Wahid, Gus Mus, Din Syamsuddin, Emil Salim, Salim Said, Harjono Kartohadiprojo.

Selanjutnya HS Dillon, Kobalen, Frans Magnis Suseno, Idwan Suhardi, Mahfud MD, Ninok Leksono, Laode Kamaruddin, Purnomo Yusgiantoro, Siti Musdah Mulia, Wardah Hafids, Sandyawan Sumardi, Ilarius Wibisono, Habib Rieziq, Daeng Mansur, Aa Gym, Titiek Puspa, Suka Harjana, Iravati Sudiarso.

Selain itu, para jamu gendong , pengojek, seniman wayang orang Bharata, Swiwedari, Swargaloka, para pemusik angklung, sasando, kolintang Minahasa, warga Luar Batang, Kalijodo, Kampung Pulo, Bukit Duri, dan lain-lain warga Indonesia bukan keturunan Cina, tanpa pernah timbul masalah berbau rasis.

Toleran beradab

Berdasar pengalaman dan pengamatan selama 68 tahun hidup di Indonesia, maka saya meyakini bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, santun, toleran, beradab, halus budi-pekerti yang selalu siap menjalin keBhinneka-Tunggal-Ikaan dengan semangat saling mengerti, saling menghormati dan saling menghargai.

Maka saya pribadi berani mengambil kesimpulan bahwa pada hakikatnya di Indonesia tidak ada masalah rasialisme. Yang ada adalah masalah kecemburuan sosial akibat kesenjangan sosial terlalu lebar antara yang kaya dengan yang miskin.

Selama kesenjangan sosial masih hadir secara terlalu menganga di Indonesia maka sentimen SARA selalu siap terpicu untuk membara bahkan meledak menjadi kekerasan.

Sebagai warga Indonesia yang dilahirkan di Indonesia, maka saya wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat bukan Tanah Leluhur saya nun jauh di Cina namun Tanah Air saya yaitu Indonesia demi mengejawatahkan makna peribahasa Di Mana Bumi Dipijak, Di Sana Langit Dijunjung.

Mohon dimaafkan apabila keyakinan berdasar pengalaman hidup saya pribadi terkesan naif serta terlalu sederhana akibat sanubari saya memang naif dan sederhana.

Sanubari saya selalu menghayati syair lagu Indonesia Pusaka mahakarya Ismail Marzuki : "INDONESIA TANAH AIR BETA, PUSAKA ABADI NAN JAYA. INDONESIA SEJAK DAHULU KALA. SELALU DIPUJA-PUJA BANGSA. DI SANA TEMPAT LAHIR BETA. DIBUAI DIBESARKAN BUNDA. TEMPAT BERLINDUNG DI HARI TUA. TEMPAT AKHIR MENUTUP MATA"

Sumber : Kantor Berita ANTARA (14-12-2016)

Sabtu, 03 Desember 2016

AKSI BELA ISLAM III / 212 BIKIN MALU...!!!

Aksi 212 itu bikin malu yang ngelarang bus ngangkut jama’ah peserta Aksi 212, para umat memilih latertanif lain. Memangnya tanpa bus gak ada kendaraan lain, gak ada kendaraan kan masih ada kaki. Yang merangkak aja ada yang datang.

Aksi 212 itu bikin malu ulama yang fatwanya tidak laku, karena umat  lebih yakin kullu ardhin masjid. Lagian akan bertambah malu kalau ikuti ulama yang membela orang kafir penista Al Qur’an.

Aksi 212 itu bikin malu orang-orang yang nyumpahi supaya Aksi 212 diguyur hujan, para jama’ah malah bersyukur mendapat berkah berlipat, yakin do’a lebih mustajab di hari jum’at plus mustajab di waktu hujan, malah hujan jadi sarana wudhuk praktis, Kebayangkan 7 juta orang antri untuk wudhuk. Hujan memang berkah Allah.

Aksi 212 itu bikin malu orang yang bilang jumlah jama’ah hanya 200.000 atau 50.000. Apalagi yang bilang Cuma 1000 makin malu, karena yang bilang seribu itu harus tahan diludahi1 7 juta peserta jama’ah aksi 212.

Aksi 212 bikin malu orang yang nunggu Monas rusak dan kotor, karena Aksi 212 tak meninggalkan sehelai sampah pun, apalagi rusak. Rumput Monas aja gak terinjak.

Aksi 212 itu bikin malu Penyebar fitnah kalau Aksi 212 jam’ahnya dibayar, malah ibu-ibu sepanjang jalan menyediakan makanan gratis, banyak pedagang asongan gratisin dagangan. Ada selebritis dan sosialita kaya raya ikutan, masak mereka mau hujan-hujanan  hanya untuk 500 ribuan.

Aksi 212 itu bikin malu yang parno sama kerusuhan yang ditimbulkan Aksi 212, yang ada malah orang jadi nangis tersedu-sedu ingat dosa n kesalahan efek zikir dan tausiah para ulama.

Aksi 212 itu bikin malu yang bilang Aksi 212 bermuatan politik, karena Aksi 212 diikuti oleh semua orang dari seluruh Indonesia, si penista agama itu kan ikut pilkada DKI, ngapai juga oang dari seluruh pelosok nusantara n lain-lain ikut-ikutan, itu karena mereka 1 agama, 1 iman.

Aksi 212 itu bikin malu yang bilang aksi 212 sia-sia gak akan ada efek apapun, yang ada semua mata jadi saksi betapa ghirah islamiyah itu tertanam di dalam dada-dada para umat yang mencintai agamanya, bergetar hati para munafikun dan kafirun. Itu yang di Monas aja, belum dihitung yang mendukung di daerah yang melakukan hal yang sama, yang mendukung dengan do’a dan hartanya di sepanjang jalan menuju monas, logistic melimpah, akan bertambah dengan ghirah yang ada di dalam dada orang beriman yang tidak ikut, apalagi di medsos.

Aksi 212 itu bikin malu para pengamat, karena terlalu banyak membalikkan logika, prediksi, teori, agitasi, provokasi, dan apalah namanya. Karena Allah meridhoi. Kata Rasulullah la tajtami’ ummati ‘ala al dhalalah. Yadullah fauq al jam’ah.

Sumber : Status FB Joko Susilo

SAYA CUMA BUIH DALAM AKSI SUPER DAMAI 212

*AKSI BELA ISLAM III
*

🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴

*Catatan Dr. Iswandi Syahputra.*
(Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

*Bagus dan Mengharukan*
🙏😭😭😭🙏


*Ada istilah baru “nyinyiers”*


Demi Allah....
Baru kali ini saya melihat aksi demo hingga menangis. Saya tidak kuat menahan rasa haru, bahagia, bangga, gembira, dan sedikit amarah semua berbaur menjadi satu.

Awalnya saya ke Jakarta untuk wawancara narasumber riset saya. Tapi sebuah penerbit juga mengusulkan saya menulis buku tentang aksi 411 dan 212, lebih kurang membahas 'Media Soslial dan Aksi Damai 4/212'. Karena kebetulan itu, saya bergerak hadir ke Monas pusat lokasi aksi 212.

Sambil menangis tersedu melihat aksi 212 saya telpon isteri untuk mengabarkan situasinya. Luar biasa, persatuan, kesatuan, kekompakan, persaudaraan, silaturrahmi umat Islam demikian nyata.

Pukul 07.00 WIB saya bergerak dari Cikini menuju Monas, ojeg yang saya tumpangi harus muter mencari jalan tikus. Semua jalan dan lorong mengarak ke Monas macet total. Perjalanan saya terhenti di Kwitang, dari Kwitang saya jalan kaki menuju Monas, hingga ke perempatan Sarinah.

Saat sampai di Tugu Tani, dada saya mulai bergetar tak karuan. Seperti orang takjub tidak terkira. Umat Islam yang hadir saling mengingatkan untuk hati-hati, jangan injak taman, buang sampah pada tempatnya, segala jenis makanan sepanjang jalan gratis. Tidak ada caci maki seperti yang terjadi di sosial media. Saat itu sudah mulai perasaan berkecamuk, tapi masih bisa saya tahan.

Tepat di depan Kedubes AS, dada saya meledak menangis haru saat seorang kakek renta menawarkan saya buah Salak, gratis. Saya tanya, "Ini salak dari mana Kek?" "Saya beli sendiri dari tabungan", jawabnya. Saya haya bisa terdiam dan terpaku menatapnya.

Di sebelahnya, ada juga seorang Ibu tua juga menawarkan makanan gratis yang dibungkus. Sepertinya mie atau nasi uduk. Bayangkan, Ibu itu pasti bangun lebih pagi untuk memasak makanan itu. Saya tanya, "Ini makanan Ibu masak sendiri?" "Iya", jawabnya. "Saya biasa jualan sarapan di Matraman, hari ini libur. Masakan saya gratis untuk peserta aksi". Masya Allah... Saya langsung lemes, mes, messss... Saya senakin lemes sebab obrolan kami disertai suara sayup orang berorasi dan gema suara takbir.

Dan., sepanjang jalan yang saya lalui, saya menemukan semua keajaiban Aksi Super Damai 212. Pijat gratis, obat gratis, klinik gratis, makan dan minum gratis. Perasaan lain yang bikin saya merinding, tidak ada jarak dan batas antara umat Islam yang selama ini kena stigma sosial buatan mereka para nyinyiers dan haters sebagai 'Islam Jenggot', 'Islam Celana Komprang', 'Islam Kening Hitam', 'Islam Cadar', 'Islam Berjubah' dan stigma negatif lainnya. Semuanya bersatu dalam: Satu Islam, Satu Indonesia, dan Satu Manusia!

Sepanjang perjalanan, saya mendengar antara peserta bicara menggunakan bahasa daerah Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Aceh, Minang bahkan ada juga yang berbahasa Tionghoa. Mungkin mereka saudara kita dari kalangan non muslim.
Melihat itu semua, “saya menyerah’, lagi-lagi saya menyerah!

Saya tidak kuasa menahan gejolak rasa yang bergemuruh dalam dada. Saya putuskan menepi, mencari kafe sekitar lokasi. Kebetelun saya punya sahabat baik yang pengelola "Sere Manis Resto dan Cafe". Lokasinya strategis, pas di pojok Jl. Sabang dan Jl. Kebon Sirih. Tidak jauh dari bunderan BI dan Monas. Saya putuskan menyendiri masuk cafe itu untuk memesan secangkir kopi dan menyaksikan semua peristiwa dari layar TV dan Gadget yang terkadang diacak timbul tenggelam kekuatan sinyalnya.

Tapi di Resto/Cafe 'Sere Manis' itu juga saya temui umat Islam berkumpul membludak. Rupanya mereka antri mau mengambil wudhu yang disiapkan pengelola restoran. Tidak cuma itu, saya menemukan ketakjuban lain. Di dalam resto/cafe saya bertemu teman baru, seorang Scooter yang tinggal di daerah Cinere. Dia dan teman-temannya memilih berjalan kaki dari Cinere ke Monas (sekitar 40 KM) untuk merasakan kebahagiaan para santri yang berjalan dari Ciamis ke Jakarta.

Masya Allah.... Saya semakin sangat kecil rasanya dibanding mereka semua. Ini kisah dan kesaksian saya tentang Aksi Super Damai 212. Mungkin ada ratusan atau ribuan orang seperti saya yang tidak terhitung atau tidak masuk dalam gambar aksi yang beredar luas. Kami orang yang lemah, tidak sekuat saudara kami yang berjalan kaki di Ciamis atau Cinere.

Maka, janganlah lagi menghina aksi ini. Apalagi jika hinaan itu keluar dari kepala seorang muslim terdidik. Tidak menjadi mulia dan terhormat Anda menghina aksi ini. Terbuat dari apa otak dan hati Anda hingga sangat ringan menghina aksi ini? Atau, apakah karena Anda mendapat beasiswa atau dana riset dari pihak tertentu kemudian dengan mudah menghina aksi ini?

Jika tidak setuju, cukuplah diam, kritik yang baik, atau curhatlah ke isteri Anda berdua. Jangan menyebar kebencian di ruang publik. Walau menyebar kebencian, saya tau kalian tidak mungkin dilaporkan umat Islam. Sebab umat Islam tau persis kemana hukum berpihak saat ini.

Terlepas ada kebencian dari para ‘nyinyiers’, saya bahagia bisa tidak sengaja ikut aksi damai 212 ini. Setidaknya saya bisa menularkan kisah dan semangat ini pada anak cucu saya sambil berkata: "Nak, saat kau bertanya ada dimana posisi Bapak saat aksi damai 2 Desember 2016? Bapak cuma buih dalam gelombang lautan umat Islam saat itu.

Walau cuma buih, Bapak jelas ada pada posisi membela keimanan, keyakinan dan kesucian agama Islam. Jangan ragu dan takut untuk berpihak pada kebenaran yang kau yakini benar. Beriman itu harus dengan ilmu. Orang berilmu itu harus lebih berani. Dan mereka yang hadir atau mendukung aksi 212 adalah mereka yang beriman, berilmu dan berani. Maka jadilah kau mukmin yang berilmu dan pemberani anakku".

 *DR Iswandi Syahputra.*

[Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta]

Jumat, 02 Desember 2016

AKSI BELA ISLAM III, KODE 212 ADALAH NORAK...???

Saya anggap dunia adalah soal cara hidup
dan cari kehidupan. Bagaimana menikmati dan lebih baik dari manusia lain, bagaimana bisa punya status baik, dihargai dengan apa yg dipunya dan sedikit jalan-jalan menikmati dunia.

Saya anggap orang yang maju dalam agama itu adalah yang berfikiran luas dan penuh toleransi, saya anggap tak perlulah terlalu fanatis akan sesuatu, tak perlu reaktif akan sesuatu, keep calm, be cool. Janganlah sesekali dan ikut-ikutan jadi orang norak. Ikut kelompok cingkrang-cingkrang dan entah apalah itu namanya.

Saya tak ikut aksi bela agama ini itu kalian jangan usil, jangan dengan kalian ikut saya tidak, artinya kalian masuk syurga saya tidak ! Saya ini beragama lho, saya ikut berpuasa, saya bersedekah dan beramal. Saya bantu orang-orang, bantu saudara-saudara saya juga, jgn kalian tanya soal peran saya ke lingkungan, kalian lihat orang-orang respek pada saya, temanpun aku banyak, tiap kotak sumbangan aku isi.

Saya masih heran, apa sih salah seorang Ahok? Dia sudah bantu banyak orang, dia memang rada kasar tapi hatinya baik kok, saya hargai apa yang sudah dia buat bagi Jakarta. Saya anggap aksi ini itu hanya soal politis karena kebetulan ada pilkada, saya tak mau terbawa arus seperti teman-teman kantor yang tiba-tiba juga mau ikut aksi, saya anggap itu berlebihan dan terlalu cari sensasi, paling juga mau selfie-selfie.

Sampai satu saat....

Sore ini dalam gerimis saat saya ada di jalan, dalam mobil menuju tempat meeting, dalam alunan musik barat saya berpapasan dengan rombongan pejalan kaki, saya melambat, mereka berjalan tertib, barisannya panjang sekali, pakai baju putih2, rompi hitam dan hanya beralas sendal, muka mereka letih, tapi nyata kelihatan tidak ada paksaan sama sekali di wajah-wajah itu. Mereka tetap berjalan teratur, memberi jalan ke kendaraan yang mau melintas, tidak ada yang teriak, berlaku arogan dan aneh-aneh atau bawa aura mirip rombongan pengantar jenazah yang ugal-ugalan.

Ini aneh, biasanya kalau sudah bertemu orang ramai-ramai di jalan aromanya kita sudah paranoid, suasana panas dan penuh tanda tanya negatif. Sore ini, di jalan aku merasa ada kedamaian yang kulihat dan kurasa melihat wajah-wajah dan baju putih mereka yg basah terkena gerimis.

Papasan berlalu, aku setel radio lain, ada berita rombongan peserta aksi jalan kaki dari Ciamis dan kota-kota lain sudah memasuki kota, ada nama jalan yang mereka lalui. Aku sambungkan semua informasi, ternyata yang aku berpapasan tadi adalah rombongan itu. Aku tertegun...

Lama aku diam, otakku serasa terkunci, analisaku soal bagaimana orang beragama sibuk sekali mencari alasan, tak kutemukan apa pun yg sesuai dengan pemikiranku, apa yg membuat mereka rela melakukan itu semua ? Apa kira-kira? Aku makin sibuk berfikir. Apa menurutku mereka itu berlebihan? Rasanya tidak, aku melihat sendiri muka-muka ikhlas itu. Apa mereka ada tujuan politik? Aku rasa tidak, kebanyakan orang sekarang mencapai tujuan bukan dengan cara-cara itu.

Apakah orang dengan tujuan politik yang gerakkan mereka itu? Aku hitung-hitung, dari informasi akan ada jutaan peserta aksi, berapa biaya yg harus dikeluarkan untuk itu kalau ini tujuan kelompok tertentu. Angkanya fantastis, rasanya mustahil ada yang mau ongkosi karena nilainya sangatlah besar.

Aku berfikir di dalam mobil, masih dalam gerimis kembali berpapasan dengan kelompok lain, berbaju putih juga, basah kuyup juga. Terlihat di pinggir jalan anak-anak sekolah membagikan minuman air mineral ukuran gelas, sedikit kue-kue warung ke mereka, sepertinya itu dari uang jajan mereka yg tak seberapa.

Aku terdiam makin dalam. Ya Allah. Kenapa aku begitu buruk berfikir selama ini ? Kenapa hanya hal jelek yang mau aku lihat tentang agamaku. Kenapa dengan cara pandangku soal agamaku ?

Aku mampir ke masjid, mau sholat ashar. Aku lihat sendal-sendal jepit lusuh banyak sekali berbaris, aku ambil wudhu.

Kembali, di teras, kali ini aku bertemu rombongan tadi, mungkin yang tercece,, muka mereka lelah sekali, mereka duduk, ada yg minum, ada yg rebahan, dan lebih banyak yang lagi baca Al Qur'an...  Hmmm

Aku sholat sendiri, tak lama punggungku dicolek dari belakang, tanda minta aku jadi imam, aku cium aroma tubuh dan baju basah dari belakang. Aku takbir sujud, ada lagi yang mencolek.

Nahh, kali ini hatiku yang dicolek, entah kenapa? Hatiku bergetar sekali, aku sujud cukup lama, mereka juga diam. Aku bangkit duduk, aku tak sadar ada air bening mengalir dari sudut mataku.

Ya Allah... Aku tak pantas jadi imam mereka. Aku belum sehebat, setulus dan seteguh mereka. Bagiku agama hanya hal-hal manis, tentang hidup indah, tentang toleransi, humanis, pluralis, penuh gaya, in style, bla bla bla.

Walau ada hinaan ke agamaku aku harus tetap elegan, berfikiran terbuka, Tuhan tidak perlu dibela, Al Qur'an tidak perlu dibela, Islam juga tidak perlu dibela.  Kenapa Kau pertemukan mereka dan aku hari ini ya Allah, kenapa aku Kau jadikan aku imam sholat mereka? Apa yang hendak Kau sampaikan secara pribadi ke aku ?

Hanya 3 rakaat aku imami mereka, hatiku luluh ya Allah. Mataku merah menahan haru. Mereka colek lagi punggungku, ada anak kecil usia belasan cium tanganku, mukanya kuyu tapi tetap senyum. Agak malu-malu aku peluk dia, dadaku bergetar tercium bau keringatnya, dan itu tak bau sama sekali. Ini bisa jadi dia anakku juga.

Apa yg telah kuajarkan anakku soal Islam? Apakah dia levelnya sekelas anak kecil ini ? Gerimis saja aku suruh anakku berteduh. Dia demam sedikit aku panik. Aku nangis dalam hati.

Di baju putihnya ada tulisan nama sekolah, SMP Ciamis. Ratusan kilometer dari sini. Kakinnya bengkak karena berjalan sejak dari rumah, dia cerita bapaknya tak bs ikut krn sakit dan hanya hidup dr membecak, bapaknya mau bawa becak ke jakarta bantu nanti kalau ada yang capek, tapi dia larang. Aku dipermalukan berulang-ulang di masjid ini.

Aku sudah tak kuat ya Allah. Mereka bangkit, ambil tas dan kresek putih dari sudut masjid, kembali berjalan, meninggalkan aku sendirian di masjid, rasanya melihat punggung-punggung putih itu hilang dari pagar masjid aku seperti sudah ditinggal mereka yg menuju syurga. Kali ini aku yg norak, aku sujud, lalu aku sholat sunat dua rakaat, air mataku keluar lagi. Kali ini cukup banyak, untung lagi sendirian.

Sudah jam 5an, lama aku di masjid, serasa terkunci tubuhku di sini. Meeting dengan klien sepertinya batal. Aku mikir lagi soal ke-Islamanku, soal komitmenku ke Allah, Allah yg telah ciptakan aku, yg memberi ibu bapakku rejeki, sampai aku dewasa dan bangga seperti hari ini. Dimana posisi pembelaanku ke agamaku hari ini? Ada dimana? Imanku sudah aku buat nyasar di mana?

Aku naik ke mobil, aku mikir lagi. Kali ini tanpa rasa curiga, kurasa ada sumbat besar yg telah lepas dalam benakku selama ini. Ada satu kata. Sederhana sekali tanpa bumbu-bumbu. Ikhlas dalam bela agama itu memamg nyata ada.

Aku mampir di minimarket, kali ini juga makin ikhlas, makin mantap. Aku beli beberapa dus air mineral, makanan kering, isi dompet aku habiskan penuh emosional. Ini kebangganku yang pertama dalam hidup saat beramal, aku bahagia sekali. Ya Allah ijinkan aku kembali ke jalanMu yang lurus, yang lapang, penuh kepasrahan dan kebersihan hati.

Ya Allah ijinkan aku besok ikut Shalat Jumat dan berdoa bersama saudara-saudaraku yang sebenarnya. Orang-orang yang sangat ikhlas membela-Mu. Besok, tak ada jarak mereka denganMu ya Allah. Aku juga mau begitu, ada di antara mereka, anak kecil yang basah kuyup hari ini. Tak ada penghargaan dari manusia yang kuharap, hanya ingin Kau terima sujudku. Mohon Kau terima dengan sangat. Bismilahirahmanirahiim.

#Jakarta, 1 Desember 2016
Diceriteratakan oleh Joni A Koto, Arsitek, Urban.