Cari Blog Ini

Selasa, 28 Februari 2017

Siapa Pria Tua yang Cium Kening Raja Salman ?

Jakarta -(1/3/2017) Sebuah foto tersebar di media sosial membuat penasaran banyak orang. Tentang sosok pria tua yang mencium kening Raja Salman dan mendekap kepala Raja Arab itu.

Adalah Sheikh Hussain Yee Abdullah, seorang khatib di Malaysia. Ia merupakan orang Cina yang memeluk agama Islam pada usia 18 tahun. Sebelumnya, Sheikh Hussain Yee adalah pemeluk agama Buddha.

Pada tahun1984-1985, Sheikh Hussain Yee juga menjabat sebagai Direktur Da'wah untuk Islamic Center di Hong Kong.

Dilansir Al Arabiya, Sheikh Hussain Yee mempunyai sejarah yang panjang dengan Arab Saudi. Ia telah banyak melakukan studi dan penelitian tentang Arab Saudi serta Islam di Universitas Madinah.

Pada lawatan ke beberapa negara di Asia, Raja Salman menyempatkan diri bertemu Sheikh Hussain Yee yang juga merupakan pendiri organisasi Al-Khaadem di Malaysia.

Pada kesempatan itu, Sheikh Hussein Ye mencium kening Raja Salman.

Saat ini. Sheikh Hussain Yee juga menjabat sebagai penasehat dan Kepala Mubaligh di PERKIM Kuala Lumpur. Sebuah lembaga di Malaysia yang fokus mengurusi para muallaf. (War/Liputan6.com)

Jumat, 24 Februari 2017

Divestasi Saham PT Freeport; Waspadai Insider Trading 'Papa Minta Saham China`

Jakarta - (24/2/2017) Babak baru perseteruan Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia memang harus segera `diselesaikan`. Kepentingan politik yang terus bermain sejak PT FI beroperasi di Tahun 1967 serta `Sejarah Hitam Freeport` dalam jejak panjang kepentingan politik di Indonesia harus dituntaskan apalagi pendapatan Negara dari royalti 1% untuk emas dan 1-3% untuk tembaga sangat kecil dan tidak dibanding dgn keuntungan PT. FI yang bisa tembus diatas 20 trilyun/tahun

Sekretaris Jenderal ProDEM, Satyo P mengatakan, pada awalnya PT Freeport Indonesia mengajukan permohonan dan bersedia mengakhiri model Kontrak Karya (KK) yang sudah berumur 50 tahun dengan mengubahnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Menurut dia, ketidakjelasan masa depan Freeport dan kemungkinan buntunya negosiasi dengan Pemerintah PT FI `Mengancam` akan melakukan gugatan perselisihan di Arbitrase Internasional dan melakukan PHK masal terhadap 32.200 karyawan PT FI dan Perusahaan subkontraktor yang bekerja di perusahaan tersebut.

"Kesungguhan pemerintah dengan merubah rejim kontrak karya menjadi IUPK terhadap PT FI patut didukung, semangatnya seperti Menasionalisasi Freeport dgn Divestasi 51% saham, akan tetapi apa benar demikian? Divestasi itu apakah steril dari aktor-aktor "papa minta saham"? Atau Bagaimana setelah ini hadir PT FI dengan cita rasa China?," ungkapnya.

Modus yang berbahaya adalah "Debt to Equity Swap", bila 51% saham itu dibeli oleh BUMN namun BUMN tersebut meminjam uangnya dari China maka bila BUMN itu gagal bayar kemudian sahamnya diambil alih sehingga akhirnya Freeport jadi milik China bukan milik Indonesia.

Jika menjadi kenyataan pada suatu hari nanti perusahaan raksasa pertambangan emas tsb berganti cita rasa maka kita semua paham dengan karakter investor China yang akan juga membawa pekerja dari negara asalnya untuk mengisi seluruh level diperusahaan tersebut.

Bila dugaan tersebut benar-benar terjadi, maka kesimpulannya adalah IUPK dan Divestasi 51% saham adalah `Omong kosong`, tidak ada Nasionalisasi, tidak ada Kedaulatan dan kemandirian bagi bangsa Indonesia dan khususnya untuk masyarakat di Papua karena hanya akal-akalan Menko Maritim, Menko Perekonomian, Meneg BUMN, Ketua DPR RI dan Menteri ESDM. (Posmetro).

Senin, 13 Februari 2017

DALANG G30S /PKI TERNYATA...!!!



Siapa Dalang Peristiwa G30S/PKI

Topik tulisan ini adalah apakah benar Soekarno dalang G30S/PKI dan bukan sekedar bertanggung jawab dalam kedudukannya sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI? Dalam hal ini, bukti-bukti yang ditemukan setelah peristiwa G30S/PKI pada dasarnya memang membuktikan bahwa Soekarno mendalangi G30S/PKI, dan bukti-bukti tersebut antara lain:

Pertama, berdasarkan kesaksian salah satu korban G30S/PKI, yaitu Jenderal AH Nasution dalam buku berjudul: “Peristiwa 1 Oktober 1965, Kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution,” terbitan Narasi, halaman 29, ditemukan fakta bahwa Panglima Angkatan Udara Omar Dhani telah memberikan laporan kepada Soekarno pada tanggal 28 dan 29 September 1965 bahwa ada gerakan dari unsur-unsur perwira muda angkatan darat untuk menindak Dewan Jenderal. Namun Soekarno tidak melakukan apa-apa. Pengetahuan Omar Dhani mengenai akan berlangsungnya gerakan G30S/PKI ini diperkuat dengan wawancara Omar Dhani dengan tim penyusun buku putih TNI AU atau AURI berjudul Menyingkap Kabut Halim 1965, bahwa Omar Dhani sesungguhnya telah menerima informasi dari Letkol Udara Heroe Atmodjo akan ada gerakan menculik Dewan Jenderal dan membawa mereka menemui Soekarno (halaman 225-227). Hal ini juga diperkuat oleh buku pledoi Omar Dhani, berjudul Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku, halaman 58:

“Secara serius dilaporkan bahwa akan ada gerakan di lingkungan Angkatan Darat. Gerakan itu akan menjemput para jenderal Angkatan Darat, termasuk anggota Dewan Jenderal, untuk dihadapkan langsung kepada Bung Karno…Gerakan ini akan dilakukan oleh para perwira muda yang mendapat dukungan dari bawahan serta para pegawai sipil…”

Informasi ada gerakan G30S/PKI yang diperoleh dari Heru Atmodjo, salah satu anggota gerakan‎ sengaja tidak dilaporkan Omar Dhani kepada Ahmad Yani, selaku panglima angkatan darat dan target G30S/PKI. Hal ini diakui Omar Dhani sendiri: "...oleh karena Heroe unsur pimpinan intel AURI, sebagai Panglima AURI sudah pasti saya harus percaya penuh kepadanya. Info tersebut tidak saya sampaikan kepada angkatan lain sebab ini merupakan urusan internal Angkatan Darat."

(Julius Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang halaman 96).‎

Kedua, setelah peristiwa G30S/PKI, Soekarno terus menerus menolak menindak orang-orang yang nyata-nyata terlibat dalam G30S/PKI seperti Brigjend Soepardjo, DN Aidit, Omar Dhani dan lain-lain dengan alasan terbunuhnya enam jenderal, Ade Irma Suryani yang masih kecil dan korban lain adalah  sekedar “Een rimpel in de oceaan van de revolusi," atau ‎sekedar persoalan kecil seperti buih ombak di lautan luas. Sebaliknya Soekarno justru bertahan di Halim, yang menjadi markas G30S/PKI dan mengumpulkan pemimpin ABRI ke Halim. Bukan itu saja, tapi Soekarno ternyata memiliki informasi dengan jelas mengenai apa yang terjadi ketika para jenderal dibawa ke Lubang Buaya, seperti diutarakan oleh Brigjend Sucipto:

“Berkatalah Soekarno antara lain kepada Pak Cipto: ‘Cip, kekejaman-kekejaman PKI yang termuat dalam surat-surat kabar itu semuanya tidak benar. Tahukah kamu bahwa penembakan terhadap Jenderal Suprapto, cs adalah atas putusan dari semacam pengadilan rakyat di Lubang Buaya dan dilaksanakan dengan baik dan sopan. Para Jenderal sebelum ditembak matanya ditutup dahulu dengan kain, dan sebelum menembak para penembaknya minta maaf lebih dahulu karena terpaksa melakukan itu demi revolusi…

Mendengar cerita Bung Karno itu, dan mungkin karena terdorong emosinya, maka bagaikan seorang hakim bertanya kepada seorang tertuduh, segera Pak Cip menanya kepada Presiden, dari siapa beliau mendengar atau mengetahui, hal ini. Presiden mencoba mengelakan pertanyaan Mayjend Sucipto itu dengan mengatakan agar Pak Cip jangan begitu emosional…”

(Peristiwa 1 Oktober 1965, Kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution,” terbitan Narasi, halaman 67 – 69.)

Bukti lain bahwa anggota G30S/PKI melaporkan semua hal mengenai gerakan kepada Soekarno juga didapat dari pernyataan Kolonel Abdul Latief, pemimpin pasukan yang membunuh anak bungsu Jenderal AH Nasution:

"Saya selalu mentaati dan melaporkan segala sesuatu mengenai peristiwa tanggal 1 Oktober 1965 kepada Presiden."

(Julius Pour, G30S, Fakta atau Rekayasa, penerbit Gramedia, halaman 261).‎

Pada faktanya, Soekarno sama sekali tidak sedih dengan peristiwa G30S/PKI dan hal ini semakin ditunjukan ketika dia tidak menghadiri permakaman korban G30S/PKI dan tingkahnya dalam tayangan TVRI pada hari meninggalnya Ade Irma Suryani tanggal 6 Oktober 1965 di mana Soekarno malah bergurau dengan wartawan, merokok, bersikap tenang dan tertawa terbahak-bahak seolah tidak terjadi apa-apa di Indonesia melukai hati rakyat (‎Surat Ratna Dewi Soekarno tanggal 6 Oktober 1965).

Ketiga, dari bahan-bahan pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat ditemukan kesaksian ajudan Soekarno bernama, Brigjend Sugandhi mengenai pembicaraannya dengan Sudisman, DN Aidit dan Soekarno pada tanggal 27 Oktober 1965 dan 30 September 1965. Pembicaraan tersebut mengenai temuan Sugandhi mengenai gerakan di beberapa kampung yang membuat sumur dan bagaimana Sudisman mengajak Sugandhi bergabung dengan PKI. Selanjutnya DN Aidit berusaha menenangkan Sugandhi dengan mengatakan bahwa PKI tidak bermaksud coup melainkan sekedar memperbaiki kerusakan yang disebabkan Dewan Jenderal dan mengenai gerakan ini sudah diketahui semuanya oleh Soekarno. Ketika Sugandhi memberitahu Soekarno tentang PKI mau coup, Soekarno malah menjawab:

“Kamu (Sugandhi) jangan PKI-phobi (dengan nada marah)..kamu tahu Dewan Jenderal? Kamu hati-hati kalau ngomong…Wis, kowe ora campur, diam saja kamu. Kowe wis dicecoki Nasution ya?”

(Dokumen No. 5, Pernyataan Brigadir Jenderal H. Sugandhi dari Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi, Penerbit Buku Obor)

Pada dasarnya pihak angkatan darat dari awal sudah menyimpulkan bahwa tidak mungkin Soekarno tidak tahu rencana gerakan G30S/PKI. Ini seperti isakan tangis Mayjend Mursid ketika bertemu dan memeluk AH Nasution tanggal 3 Oktober 1965 dan mengatakan: "Bapak [Soekarno] mesti tahu..."

(‎AH Nasution, Jenderal Tanpa Pasukan, hal173).

Keempat, setelah D.N. Aidit dalam pelarian dan menjadi buronan, Soekarno justru berkomunikasi secara rahasia dengan D.N. Aidit melalui surat. Dengan melacak jalur surat tersebutlah akhirnya Angkatan Darat berhasil menemukan lokasi persembunyian D.N. Aidit. Salah satu surat DN Aidit kepada Soekarno tertanggal 6 Oktober 1965 mengkoroborasi pernyataan Brigjend Soegandhi bahwa Soekarno sudah tahu dan merestui G30S/PKI sekaligus membuktikan D.N. Aidit dan PKI adalah pemain pasif dalam G30S/PKI:

“Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang yang berpakaian Tjakrabirawa…Di situ saya diberi tahu bahwa akan diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal. Tanggal 1 Oktober saya diberitahu bahwa tindakan terhadap Dewan Jenderal itu sudah berhasil. Saya bertanya, “Apakah sudah dilaporkan kepada PYM [Paduka Yang Mulia Soekarno]. Dijawab sudah dan beliau merestui.”

“Tanggal 1 Oktober saya diberitahu: Pak Aidit sekarang juga harus ke Jateng dengan plane yang sudah disediakan oleh Pangau [Panglima Angkatan Udara Omar Dhani]. Harap usahakan supaya Yogyakarta dapat dijadikan tempat pengungsian Presiden…”

(Dokumen No. 1, Surat Aidit kepada Presiden Soekarno tanggal 6 Oktober 1965, Victor M. Fic, ibid).

Pernyataan DN Aidit di atas diperkuat oleh pengakuan Mayor Bowo, dan Jenderal Mursyid.

Mayor Bowo adalah bekas ajudan Jaksa Agung Sutardio dan salah satu perwira binaan Biro Chusus PKI, yang turut hadir dalam pertemuan rahasia antara Soekarno dan orang-orang kepercayaannya di Istana Tampaksiring Bali tanggal 25 September 1965 di mana Soekarno menyatakan dia akan memiliki gawean besar. Menurut rencana dia akan memanggil Letjend Ahmad Yani di hadapan para Waperdam dan panglima angkatan lain pada tanggal 28 September 1965 di Istana Negara dengan tujuan menuntut pertanggung jawaban atas Dokumen Gilchrist, dan Dewan Jenderal. Selanjutnya Ahmad Yani akan dituduh sbg penghianat bangsa, diculik dan diajukan ke Mahkamah Militer bertempat di Kompleks PU Halim (Soegiarso Soerojo, ibid, halaman 360 - 361).

Sedangkan Mayjend Mursyid adalah salah satu deputi Ahmad Yani, yang pada tanggal 23 S‎eptember 1965 menemui Soekarno dan mengatakan bahwa benar ada sejumlah jenderal yang menentang kebijakan Soekarno: "Perintah Bung Karno kepada saya untuk mengecek kebenaran pati-pati AD yang tidak loyal pada Bapak telah saya kerjakan. Ternyata memang benar bahwa jenderal-jenderal yang Bapak sebutkan itu tidak menyetujui politik Bapak dan tidak setia pada Bapak." (Antonie Dake, ibid, halaman 274).

Kelima, Dalam instruksi D.N. Aidit kepada seluruh CBD PKI tanggal 10 November 1965 terungkap bahwa terdapat perjanjian rahasia antara Soekarno dan Republik Rakyat China yang mengawali keterlibatan PKI dalam G30S/PKI. Perjanjian rahasia ini juga melibatkan Soebandrio dan pasca kegagalan G30S/PKI, ternyata Soekarno telah menghianati PKI. Akibat penghianatan tersebut, DN Aidit menyampaikan bahwa bila Soekarno dan Soebandrio terus menghianati PKI maka PKI akan mengumumkan perjanjian rahasia yang dibuat dengan Soekarno dan hal ini berarti lonceng kematian dan kehancuran bagi Soekarno dan Soebandrio.‎

(Instruksi-instruksi Tetap Central Comite Partai Komunis Indonesia tanggal 10 Nopember 1965, Victor M. Fic, ibid).

Keenam, Bambang Widjanarko, ajudan Soekarno pada saat G30S/PKI terjadi memberikan kesaksian di Teperpu bahwa setelah Soekarno sampai di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965, dia menepuk-nepuk bahu Brigjend Soepardjo dan mengatakan: “Je hebt goed gedaan, Kenapa Nasution kok lolos?” (Anda telah melakukan dengan baik. Kenapa Nasution kok lolos?)

(Lihat lampiran berupa Berkas Acara Pemeriksaan atas nama Bambang Widjanarko di Antonie C.A. Dake, Sukarno File, Kronologi Suatu Keruntuhan)

Selain itu, menurut keterangan Bambang Supeno, Komandan Batalyon 530/Para, pasukan G30S/PKI,  bahwa pada kesempatan lain setelah Soepardjo membuat laporan, Soekarno meluapkan kemarahan dan menampar Soepardjo seraya mengucapkan umpatan serta rasa kesalnya, "jenderal tai...mengapa kita bisa kalah?"

(Julius Pour, ibid, halaman 177).‎

Bambang Widjanarko juga bersaksi bahwa pada tanggal 23 September 1965, Soekarno memanggil Jenderal Saboer, Sunarjo dan Soedirgo untuk memberi perintah menindak jenderal-jenderal yang tidak loyal.

(Julius Pour, 103).‎
‎‎
Ketujuh, Di Mubes Teknik bertempat di Istora Senayan tanggal 30 September 1965, Bambang Widjanarko bersaksi menyerahkan kepada Soekarno sepucuk surat dari Letkol Untung yang dititipkan melalui Sogol Djauhari Abdul Muchid. Setelah itu Soekarno membaca surat tersebut di beranda luar, mengangguk-anggukan kepala dan masuk kembali ke tempat duduk. Peristiwa ini terjadi hanya satu jam sebelum Letkol Untung dan pasukan G30S/PKI melancarkan operasi mereka.

Keterangan Bambang Widjonarko bahwa Soekarno m‎enerima surat dari Letkol Untung dibenarkan oleh Mangil Martowidjojo, Komandan DKP Tjakrabirawa, pengawal pribadi Soekarno:

"...begitu menerima surat dari Sogol‎, Bapak memberi isyarat ingin ke belakang. Beliau segera saya antar, diiringi Pak Saelan dan Bambang Widjanarko. Di depan toilet suratnya dibuka. Sesudah selesai dibaca, langsung disimpan dalam saku baju pakaian seragam Panglima Tertinggi yang malam itu beliau pakai. Saat itu Untung memang hadir di Senayan. Bersama anak buahnya, mereka bertugas mengawal Presiden. Saya tidak pernah lupa, Kolonel Saelan malam itu marah kepada Untung karena salah satu pintu Istora tidak dijaga dengan tertib..."‎

Setelah itu Soekarno berpidato dan mengutip bagian dari Bagavad Gita pada bagian dialog Krishna kepada Arjuna supaya tidak ragu-ragu menjalankan tugas negara dan membunuh siapapun yang menjadi lawannya di medan perang sekalipun orang itu adalah saudaranya sendiri. Kutipan pidato dimaksud diambil dari buku Revolusi Belum Selesai, Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 – Pelengkap Nawaksara, halaman 44:

“Kresna memberi ingat kepadanya. Arjuna, engkau ini ksatria. Apa tugas ksatria? Tugas ksatria adalah berjuang. Tugas ksatria adalah bertempur kalau perlu. Tugas ksatria adalah menyelamatkan, mempertahankan tanah airnya. Ini adalah tugas ksatria. Ya benar, di sana itu engkau punya saudara sendiri, engkau punya tante sendiri, engkau punya guru sendiri ada di sana, tetapi jangan lupa tugasmu sebagai ksatria. Mereka hendak menggempur negara Pandawa, gempur mereka kembali. Itu adalah tugas ksatria. Kerjakan engkau punya kewajiban sebagai ksatria. Karmane, fadikaraste, mapalesyu, kadatyana. Kerjakan engkau punya kewajiban, tanpa menghitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!”‎

Kedelapan: beberapa saksi yang diperiksa menyatakan bahwa pada tanggal 4 Agustus 1965, Letkol Untung dipanggil Soekarno ke tempat tidurnya dan disaksikan oleh Brigjend Sabur. Pada kesempatan itu, Soekarno menanyakan kepada Letkol Untung kesiapannya mengambil tindakan kepada Djenderal-djenderal  yang tidak loyal. Letkol Untung menyanggupi. (Antonie Dake, ibid, halaman 413). Hal ini juga diungkap Bono alias Walujo, orang ketiga dalam Biro Chusus PKI‎. Bahwa setelah menghadap Soekarno itu, Untung segera bertemu Bono, yang mana kemudian Bono melaporkan kepada Sjam, dan Sjam kepada DN Aidit (Soegiarso Soerojo, Siapa Menabuh Angin Akan Menuai Badai, halaman 355).

Jenderal tidak loyal dimaksud adalah jenderal angkatan darat yang dituding sebagai Dewan Jenderal yang menurut rumor yang disebar oleh Soebandrio dan BPI, mau melakukan kudeta terhadap Soekarno:

"Soebandrio sangat aktif menyebarkan isyu Dewan Jenderal -- sebuah isyu yang menurut pengakuan di kemudian hari, ia peroleh dari Kepala Staf BPI Brigjen Pol Sutarto...Isyu tersebut sejalan dengan penyebarluasan apa yang ia sebut sebagai Dokumen Gilchrist, di dalam mana disebuttkan adanya our local army friends...Tapi Ladislav Bittman, bekas Kepala Departemen Dinas Intelijen Cekoslovakia, menulis dalam The Deception Game bahwa pemerintahan Praha menjalin hubungan yang kuat dengan Soebandrio."

(B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, Memori Jenderal Yoga, penerbit PT Bina Rena Pariwara, halaman 192.)‎

Kesembilan, Hasil temuan intelijen Amerika, CIA, dalam sebuah dokumen rahasia yang sudah dilepas ke publik karena mendapat status declassified menyimpulkan bahwa dari hasil temuan intelijen ditemukan dalang besar G30S/PKI adalah Soekarno.

https://www.cia.gov/library/center-f...2a02p_0001.htm

Kesepuluh, penulis Dokumen Gilchrist yang dijadikan alasan pembenar bagi Soekarno mempercayai rumor Dewan Jenderal ketimbang ucapan Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani di Istana Tampak Siring, Bali, adalah penulis pidato resmi kepresidenan, yaitu Carmel Budiardjo.‎

http://www.kaskus.co.id/thread/549ca...asia-g30s-pki/‎

Carmel Budiardjo bernama asli Carmel Brickman, wanita Inggris, isteri Soewondo Budiardjo. Sebagai sesama aktivis mahasiswa komunis, keduanya bertemu di Praha, Cekoslovakia, kemudian menikah di sana tahun 1950. Dua tahun setelah pernikahan, pasangan Indonesia-Inggris tersebut pindah ke Indonesia, menetap di Jakarta.

Soewondo Budiardjo sebagai pengurus HSI (Himpunan Sardjana Indonesia), organisasi sarjana yang dikendalikan PKI, awal tahun 1968 ditahan dengan tuduhan dengan tuduhan terlibat Peristiwa 30 September. Carmel, yang pada masa itu bertugas di Deparlu sebagai penerjemah Soebandrio, beberapa waktu kemudian ikut ditahan, sebagaimana suaminya....Sesudah dibebaskan, Carmel menetap di London, dikenal menerbitkan buletin Tapol yang mengkritisi pemerintahan Presiden Soeharto. Soewondo Budiardjo sendiri pernah ditangkap Jenderal DI Panjaitan karena menyelundupkan senjata chung dari RRC di dalam bahan bangunan untuk pendirian gedung CONEFO.

(Julius Pour, Ibid, halaman 393).‎

Masih banyak bukti lain, misalnya, yang menyebar isu Dewan Jenderal ke publik untuk pertama kali adalah BPI pimpinan Soebandrio, seorang Soekarnis tulen. Demikian pula adalah Soebandrio yang mengaku memperoleh salinan Dokumen Gilchrist dan menyebarnya ke anggota delegasi Konferensi Asia Afrika di Aljazair dan kemudian dimuat oleh surat kabar Mesir. ,amun demikian untuk tulisan ini sepuluh saja sudah cukup.

Adapun mengenai motivasi Soekarno membunuh jenderalnya sendiri adalah karena pada dasarnya dia menganggap para jenderal angkatan darat itu tidak loyal. Indikasi tersebut didapat Soekarno dari doktrin baru angkatan darat yang dipelopori oleh Ahmad Yani dan Nasution mengenai “bahaya dari utara,” atau negara RRC yang menjadi bahaya utama Indonesia dan bukan Amerika Serikat membuat Soekarno murka karena doktrin tersebut berlawanan dengan garis politik Soekarno khususnya mengenai NEFOS, OLDEFOS dan NEKOLIM. Kemarahan Soekarno diungkap di depan umum dalam acara di Istana Tampak Siring, Bali, tanggal 6 Juni 1945, dengan mengatakan ada jenderal-jenderal pethak yang telah menentang dirinya.‎ Kemarahan itu kembali ditunjukan pada pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1965 yang ditulis oleh Njoto dan Carmel Budiardjo, antara lain:

"Meski kamu jenderal pada masa perjuangan masa kemerdekaan, tetapi kalau hari ini kamu mengacau Nasakom, anti persatuan nasional, anti Nasakom, ...pasti aku tendang keluar.."‎

Keraguan Soekarno terhadap loyalitas Ahmad Yani sudah mulai dirasakan Yani sejak pertengahan tahun 1963 ketika Yani menyampaikan hal tersebut kepada AH Nasution.

(‎Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai. Perjalanan Hidup AH Nasution, halaman 141).

Ketakutan Soekarno mungkin semakin menjadi setelah Presiden Aljazair, Ben Bella digulingkan Kolonel Boumedienne, Panglima Angkatan Darat atas dukungan dari CIA, Dinas Rahasia Amerika Serikat pada 20 Juni1965.‎ (Anonymous).

Partai Komunis Indonesia dari Masa ke Masa



"INILAH SEJARAH YANG TIDAK BOLEH DI LUPAKAN OLEH KITA SEMUA."    

Tgl 31 Oktober;1948 : Muso di Eksekusi di Desa Niten Kecamatan Sumorejo Kabupaten Ponorogo. Sedang MH.Lukman dan Nyoto pergi ke Pengasingan di Republik Rakyat China (RRC).

Akhir November 1948 : Seluruh Pimpinan PKI Muso berhasil di Bunuh atau di Tangkap, dan Seluruh Daerah yg semula di Kuasai PKI berhasil direbut, antara lain : Ponorogo, Magetan, Pacitan, Purwodadi, Cepu, Blora, Pati, Kudus, dan lain'y.

Tgl 19 Desember 1948 : Agresi Militer Belanda kedua ke Yogyakarta.

Tahun 1949 : PKI tetap Tidak Dilarang, sehingga tahun 1949 dilakukan Rekontruksi PKI dan tetap tumbuh berkembang hingga tahun 1965.

Awal Januari 1950 : Pemerintah RI dgn disaksikan puluhan ribu masyarakat yg datang dari berbagai daerah seperti Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo dan Trenggalek, melakukan Pembongkaran 7 (Tujuh) Sumur Neraka PKI dan mengidentifikasi Para Korban. Di Sumur Neraka Soco I ditemukan 108 Kerangka Mayat yg 68 dikenali dan 40 tidak dikenali, sedang di Sumur Neraka Soco II ditemukan 21 Kerangka Mayat yg semua'y berhasil diidentifikasi. Para Korban berasal dari berbagai Kalangan Ulama dan Umara serta Tokoh Masyarakat.

Tahun 1950 : PKI memulai kembali kegiatan penerbitan Harian Rakyat dan Bintang Merah.

Tgl 6 Agustus 1951 :
Gerombolan Eteh dari PKI menyerbu Asrama Brimob di Tanjung Priok dan merampas semua Senjata Api yg ada.

Tahun 1951 : Dipa Nusantara Aidit memimpin PKI sebagai Partai Nasionalis yg sepenuh'y mendukung Presiden Soekarno sehingga disukai Soekarno, lalu Lukman dan Nyoto pun kembali dari pengasingan untuk membantu DN Aidit membangun kembali PKI.

Tahun 1955 : PKI ikut Pemilu Pertama di Indonesia dan berhasil masuk empat Besar setelah MASYUMI, PNI dan NU.

Tgl 8-11 September 1957 : Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia di Palembang–Sumatera Selatan Mengharamkan Ideologi Komunis dan mendesak Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Pelarangan PKI dan semua Mantel organisasi'y, tapi ditolak oleh Soekarno.

Tahun 1958 : Kedekatan Soekarno dgn PKI mendorong Kelompok Anti PKI di Sumatera dan Sulawesi melakukan koreksi hingga melakukan Pemberontakan terhadap Soekarno. Saat itu MASYUMI dituduh terlibat, karena Masyumi merupakan MUSUH BESAR PKI.

Tgl 15 Februari 1958 :
Para pemberontak di Sumatera dan Sulawesi Mendeklarasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), namun Pemberontak kan ini berhasil dikalahkan dan dipadamkan.

Tanggal 11 Juli 1958 : DN Aidit dan Rewang mewakili PKI ikut Kongres Partai Persatuan Sosialis Jerman di Berlin.

Bulan Agustus 1959 : TNI berusaha menggagalkan Kongres PKI, namun Kongres tersebut tetap berjalan karena ditangani sendiri oleh Presiden Soekarno.

Tahun 1960 : Soekarno meluncurkan Slogan NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) yg didukung penuh oleh PNI, NU dan PKI. Dgn demikian PKI kembali terlembagakan sebagai bagian dari Pemerintahan RI.

Tgl 17 Agustus 1960 : Atas Desakan dan Tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.200 Th.1960 tertanggal 17 Agustus 1960 tentang "PEMBUBARAN MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia)" dgn dalih tuduhan keterlibatan Masyumi dalam Pemberotakan PRRI, padahal hanya karena ANTI NASAKOM.

Medio Tahun 1960 : Departemen Luar Negeri AS melaporkan bahwa PKI semakin kuat dgn keanggotaan mencapai 2 Juta orang.

Bulan Maret 1962 : PKI resmi masuk dalam Pemerintahan Soekarno, DN Aidit dan Nyoto diangkat oleh Soekarno sebagai Menteri Penasehat.

Bulan April 1962 : Kongres PKI.

Tahun 1963 : PKI Memprovokasi Presiden Soekarno untuk Konfrontasi dgn Malaysia, dan mengusulkan dibentuk'y Angkatan Kelima yg terdiri dari BURUH dan TANI untuk dipersenjatai dengan dalih ”Mempersenjatai Rakyat untuk Bela Negara” melawan Malaysia.

Tgl 10 Juli 1963 : Atas Desakan dan Tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.139 th.1963 tertanggal 10 Juli 1963 tentang PEMBUBARAN GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), lagi-lagi hanya karena ANTI NASAKOM.

Tahun 1963 : Atas Desakan dan Tekanan PKI terjadi Penangkapan Tokoh-Tokoh Masyumi dan GPII serta Ulama Anti PKI, antara lain : KH.Buya Hamka, KH.Yunan Helmi Nasution, KH.Isa Anshari, KH.Mukhtar Ghazali, KH.EZ.Muttaqien, KH.Soleh Iskandar, KH.Ghazali Sahlan dan KH.Dalari Umar.

Bulan Desember 1964 :
Chaerul Saleh Pimpinan Partai MURBA (Musyawarah Rakyat Banyak) yg didirikan oleh mantan Pimpinan PKI, Tan Malaka, menyatakan bahwa PKI sedang menyiapkan KUDETA.

Tgl 6 Januari 1965 : Atas Desakan dan Tekanan PKI terbit Surat Keputusan Presiden RI No.1/KOTI/1965 tertanggal 6 Januari 1965 tentang PEMBEKUAN PARTAI MURBA, dengan dalih telah Memfitnah PKI.

Tgl 13 Januari 1965 : Dua Sayap PKI yaitu PR (Pemuda Rakyat) dan BTI (Barisan Tani Indonesia) Menyerang dan Menyiksa Peserta Training PII (Pelajar Islam Indonesia) di Desa Kanigoro Kecamatan Kras Kabupaten Kediri, sekaligus melecehkan Pelajar Wanita'y, dan jg merampas sejumlah Mushaf Al-Qur’an dan merobek serta menginjak-injak'y.

Awal Tahun 1965 : PKI dgn 3 Juta Anggota menjadi Partai Komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. PKI memiliki banyak Ormas, antara lain : SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, BTI (Barisan Tani Indonesia), LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakjat) dan HSI (Himpunan Sardjana Indonesia).

Tgl 14 Mei 1965 : Tiga Sayap Organisasi PKI yaitu PR, BTI dan GERWANI merebut Perkebunan Negara di Bandar Betsi, Pematang Siantar, Sumatera Utara, dgn Menangkap dan Menyiksa serta Membunuh Pelda Soedjono penjaga PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) Karet IX Bandar Betsi.

Bulan Juli 1965 : PKI menggelar Pelatihan Militer untuk 2000 anggota'y di Pangkalan Udara Halim dgn dalih ”Mempersenjatai Rakyat untuk Bela Negara”.

Tgl 21 September 1965 : Atas desakan dan tekanan PKI terbit Keputusan Presiden RI No.291 th.1965 tertanggal 21 September 1965 tentang PEMBUBARAN PARTAI MURBA, karena sangat memusuhi PKI.

Tgl 30 September 1965 Pagi : Ormas PKI Pemuda Rakjat dan Gerwani menggelar Demo Besar di Jakarta.

Tgl 30 September 1965 Malam : Terjadi Gerakan G30S/PKI atau disebut jg GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh) : PKI Menculik dan Membunuh 6 (enam) Jenderal Senior TNI AD di Jakarta dan membuang mayat'y ke dalam sumur di LUBANG BUAYA Halim, mereka adalah : Jenderal Ahmad Yani, Letjen R.Suprapto, Letjen MT.Haryono, Letjen S.Parman, Mayjen Panjaitan dan Mayjen Sutoyo Siswomiharjo. PKI jg menculik dan membunuh Kapten Pierre Tendean karena dikira Jenderal Abdul Haris Nasution. PKI pun membunuh AIP KS Tubun seorang Ajun Inspektur Polisi yg sedang bertugas menjaga Rumah Kediaman Wakil PM Dr.J.Leimena yg bersebelahan dgn Rumah Jenderal AH.Nasution. PKI jg menembak Putri Bungsu Jenderal AH.Nasution yg baru berusia 5 (lima) tahun, Ade Irma Suryani Nasution, yg berusaha menjadi Perisai Ayahanda'y dari tembakan PKI, kemudian ia terluka tembak dan akhir'y wafat pd tanggal 6 Oktober 1965.

G30S/PKI dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang membentuk tiga kelompok gugus tugas penculikan, yaitu : Pasukan Pasopati dipimpin Lettu Dul Arief, dan Pasukan Pringgondani dipimpin Mayor Udara Sujono, serta Pasukan Bima Sakti dipimpin Kapten Suradi. Selain Letkol Untung dan kawan-kawan, PKI didukung oleh sejumlah Perwira ABRI (TNI/Polri) dari berbagai Angkatan, antara lain : Angkatan Darat : Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro, Brigjen TNI Soepardjo dan Kolonel Infantri A. Latief. Angkatan Laut : Mayor KKO Pramuko Sudarno, Letkol Laut Ranu Sunardi dan Komodor Laut Soenardi. Angkatan Udara : Men/Pangau Laksda Udara Omar Dhani, Letkol Udara Heru Atmodjo dan Mayor Udara Sujono. Kepolisian : Brigjen Pol. Soetarto, Kombes Pol. Imam Supoyo dan AKBP Anwas Tanuamidjaja.

Tgl 1 Oktober 1965 : PKI di Yogyakarta jg Membunuh Brigjen Katamso Darmokusumo dan Kolonel Sugiono. Lalu di Jakarta PKI mengumumkan terbentuk'y DEWAN REVOLUSI baru yg telah mengambil Alih Kekuasaan.

Tgl 2 Oktober 1965 : Letjen TNI Soeharto mengambil alih Kepemimpinan TNI dan menyatakan Kudeta PKI gagal dan mengirim TNI AD menyerbu dan merebut Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dari PKI.

Tgl 6 Oktober 1965 : Soekarno menggelar Pertemuan Kabinet dan Menteri PKI ikut hadir serta berusaha Melegalkan G30S, tapi ditolak, bahkan Terbit Resolusi Kecaman terhadap G30S, lalu usai rapat Nyoto pun langsung ditangkap.

Tgl 13 Oktober 1965 : Ormas Anshar NU gelar Aksi unjuk rasa Anti PKI di Seluruh Jawa.

Tgl 18 Oktober 1965 : PKI menyamar sebagai Anshar Desa Karangasem (kini Desa Yosomulyo) Kecamatan Gambiran, lalu mengundang Anshar Kecamatan Muncar untuk Pengajian. Saat Pemuda Anshar Muncar datang, mereka disambut oleh Gerwani yg menyamar sebagai Fatayat NU, lalu mereka diracuni, setelah Keracunan mereka di Bantai oleh PKI dan Jenazah'y dibuang ke Lubang Buaya di Dusun Cemetuk Desa/Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi. Sebanyak 62 (enam puluh dua) orang Pemuda Anshar yg dibantai, dan ad beberapa pemuda yg selamat dan melarikan diri, sehingga menjadi Saksi Mata peristiwa. Peristiwa Tragis itu disebut Tragedi Cemetuk, dan kini oleh masyarakat secara swadaya dibangun Monumen Pancasila Jaya.

Tgl 19 Oktober 1965 : Anshar NU dan PKI mulai bentrok di berbagai daerah di Jawa.

Tgl 11 November 1965 : PNI dan PKI bentrok di Bali.

Tgl 22 November 1965 : DN Aidit ditangkap dan diadili serta di Hukum Mati.

Bulan Desember 1965 : Aceh dinyatakan telah bersih dari PKI.

Tgl 11 Maret 1966 : Terbit Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno yg memberi wewenang penuh kepada Letjen TNI Soeharto untuk mengambil langkah Pengamanan Negara RI.

Tgl 12 Maret 1965 : Soeharto melarang secara resmi PKI. Bulan April 1965 : Soeharto melarang Serikat Buruh Pro PKI yaitu SOBSI.

Tgl 13 Februari 1966 : Bung Karno masih tetap membela PKI, bahkan secara terbuka di dalam pidato'y di muka Front Nasional di Senayan mengatakan : ”Di Indonesia ini tdk ada partai yg Pengorbanan'y terhadap Nusa dan Bangsa sebesar PKI…”

Tgl 5 Juli 1966 : Terbit TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 yang ditanda-tangani Ketua MPRS–RI Jenderal TNI AH.Nasution tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme.

Bulan Desember 1966 : Sudisman mencoba menggantikan Aidit dan Nyoto untuk membangun kembali PKI, tapi ditangkap dan dijatuhi Hukuman Mati pd tahun 1967.

Tahun 1967 : Sejumlah kader PKI seperti Rewang, Oloan Hutapea dan Ruslan Widjajasastra, bersembunyi di wilayah terpencil di Blitar Selatan bersama Kaum Tani PKI.

Bulan Maret 1968 : Kaum Tani PKI di Blitar Selatan menyerang para Pemimpin dan Kader NU, sehingga 60 (enam puluh) Orang NU tewas dibunuh.

Pertengahan 1968 : TNI menyerang Blitar Selatan dan menghancurkan persembunyian terakhir PKI. Dari tahun 1968 s/d 1998 Sepanjang Orde Baru secara resmi PKI dan seluruh mantel organisasi'y dilarang di Seluruh Indonesia dgn dasar TAP MPRS No.XXV Tahun 1966. Dari tahun 1998 s/d 2015 Pasca Reformasi 1998 Pimpinan dan Anggota PKI yg dibebaskan dari Penjara, beserta keluarga dan simpatisan'y yg masih mengusung IDEOLOGI KOMUNIS, justru menjadi pihak paling diuntungkan, sehingga kini mereka meraja-lela melakukan aneka gerakan pemutar balikkan Fakta Sejarah dan memposisikan PKI sebagai PAHLAWAN Pejuang Kemerdekaan RI. Sejarah Kekejaman PKI yg sangat panjang, dan jgn biarkan mereka menambah lg daftar kekejaman'y di negeri tercinta ini..

Semoga Allah SWT  senantiasa melindungi kita semua.
Agus Mohammad Jumali (Kepala SMP Negeri 2 Buayan, Kebumen).

“Pemerintah Jokowi Bohong Besar, “Berita Membela Gunung dan Bukit” Pembangunan Jalan Trans Papua”


Salah satu surat Kabar terbesar di Indonesia Kompas pada 10/2/2017, memberitakan berita besar tentang keberhasilan insfrastruktur Jalan dan Jembatan dengan judul “Jalan Trans Papua, Menembus Gunung dan Membela Bukit” cukup mengangetkan kami karena selain judulnya sangat bombastis juga seakan2 semuanya adalah benar.
Untuk memberi gambaran yg jelas saya ingin sampaikan bahwa selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo saya tidak pernah mengetahui Rancang Bangun Insfrastruktur Jalan dan Jembatan di Papua 2015-2019.
Coba tunjukkan Mana dan berapa kilo meter Ruas Jalan Perioritas dan Mana Ruas Jalan Strategis untuk Konektivitas antar kota/kabupaten, provinsi dan jalan nasional selama 2015-2019? Kami persilakan antar ke Komnas HAM RI, kami menunggu dalam minggu ini untuk menujukkan validitas dan keakuratan data dan anggaran.
Sejauh yang kami amati tidak ada ruas jalan baru yang dibangun kecuali hanya 1 yaitu Jalan Wamena-Nduga yang dibangun oleh Tentara. Hampir semua jalan Trans Papua rusak Parah di Jaman Pemerintahan Jokowi, Jalan Merauke -Boven Digul sebelum Jokowi memimpin hanya ditempu sehari jalan darat sekarang berhari2 atau bahkan hampir seminggu ( lihat gambar dari surat kabar terkemuka di Papua, cenderawasih Post minggu lalu). Dalam catatan kami Pemerintah hanya baru membangun 231,27 kilometer, itupun hanya terlihat Wamena-Nduga.
Karena Grand Design pembangunan insfrastruktur Papua belum pernah diumumkan, bahkan rakyat bertanya kepada saya beberapa isu negatif yang ditujukan pada proyek insfrastruktur di Papua yang katanya mencapai anggaran Trilyunan Rupiah antara lain:
  1. Tolong sampaikan ke Jokowi, Mana Grand Design ruas Jalan Baru di Papua 2015-2019.
  2. Mengapa kontraktor utama yang bekerja di ruas jalan ini belum pernah ada putra papua asli, semua kontraktor utama semua pendatang yang mengelola ratusa miliaran rupiah dan semua uang lari keluar papua, bukankah kami juga warga negara yg bisa bekerja dengan nilai proyek yg besar? Kami orang asli Papua untuk menjadi sub kontraktor saja susah.
  3. Markus Omaleng, pengusaha pertama suku Amungme di Timika bangkrut dan jatuh miskin karena kementerian PUPR tidak pernah membayar dan menghargai hasil keringatnya yang membuka jalan baru sebentar 10 km jalan Trans Papua dari Timika-Enarotali. Komnas HAM 3 kali kirim surat ke Menteri PUPR Basuki Hadimulyo namun tidak pernah gubris.
  4. Masyarakat juga bertanya kepada Presiden Jokowi, mengapa kepala balai pembangunan jalan dan jembatan Papua tidak pernah dipimpin oleh putra asli Papua? selalu dipimpin oleh orang non Papua bahkan hanya diisi oleh 2 suku saja, yaitu suku dari Sumatera utara yang Kristen dan Sulawesi selatan yang Kristen yang biasanya di Indonesia disindir suku yang suka kolusi dan nepotismenya tinggi ?
  5. Tolong tanyakan kepada Bapak Presiden Jokowi Dan Menteri PUPR berapa nilai sogokan untuk menjadi Kepala Balai Papua sehingga putra papua siap-siap untuk Sogok kalau isu itu benar. Dan lain sebagainya.
  6. Mengapa proyek insfrastruktur di Papua selalu bermasalah hukum “korupsi” baik oleh para politisi di Senayan, para pejabat di kementerian teknis seperti dana Instratruktur daerah, (PPID) Papua ” kardus durian” yang ditangkap KPK, hingga hari ini kita menyaksikan KPK membongkar dugaan korupsi jalan Trans Papua di Dinas PU Provinsi Papua.
Presiden Jokowi tidak pernah mengeluarkan instruksi Presiden sebagai landasan pembangunan insfrastruktur di Papua, Berbeda dan kontras dengan Pemerintah sebelumnya yang ada Grand Design infrastruktur Jalan di Papua secara serius dilakukan oleh Pemeintah melalui instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2007 tentang percepatan Pembangunan Infrastruktur Papua.
Bahkan dalam RPJM 2010-2014 Pemerintah secara jelas membangun Grand Design dalam rangka mengatasi permasalahan infrastruktur jalan dan jembatan di wilayah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, maka Pemerintah Pusat membangun 11 ruas jalan strategis dan prioritas Provinsi Papua 2010-2014. Yaitu 7 ruas jalan strategis dan 4 ruas jalan prioritas. Untuk membangun 11 ruas jalan strategis dan prioritas dengan dana sebesar Rp. 9,78 Triliun.
pembangunan 7 ruas jalan strategis itu adalah Nabire, Waghete dan Enarotali (262 km), Jayapura, Wamena dan Mulia (733 km), Timika, Mapuru Jaya dan Pomako (39,6 km), Serui, Menawi dan Saubeba (499km), Jayapura ke Sarmi (364 km), Jayapura, Holtekam batas PNG (53 km), Merauke Waropko (557 km), dengan total 2.056 km.
Sementara itu 4 ruas jalan prioritas Provinsi Papua sepanjang 361 km, yakni Depapre-Bongrang, Wamena-Timika-Enarotali, dan Ring Road Jayapura.
Provinsi Papua Barat, masing-masing 4 ruas jalan. Sorong-Makbon-Mega sepanjang (88 km), Sorong-klamono-Ayamaru-Kebar-Manokwari (606,17), Manokwari-Maruni -Bintuni (217,15), Fak-Fak-Hurimbe, Bomberai (139,24). Salah satu moda transportasi yang sangat vital di Papua adalah moda transportasi udara.
Pada saat ini di Papua terdapat 300 buah lapangan terbang perintis dan hanya dilayani oleh 5 buah pesawat Merpati buatan 1975 sampai terhenti 2013 sehinga saat ini tidak lebih dari 5 buah perusahaan swasta yang melayani mobilitas barang dan jasa.
Sebagai komisioner Komnas HAM, mau tanya mana pengembangan insfrastruktur strategis dan prioritas Jokowi 2015-2019 di Papua, mungkin juga di Indonesia? Kami dan Rakyat Indonesia mempunyai hak untuk mengetahui (Right to know) dijamin UU Nasional. Jangan hanya mengeluarkan sepenggal catatan untuk sekedar pencitraan bahwa Pemerintah metamorfosis Papua dengan konektivitas infrastruktur darat, laut dan udara seperti di Pulau Jawa dan Sumatera. Hingga saat ini 99% Pulau Papua masih daerah tertutup dan daerah terabaikan (blank spot).
(Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM RI).

Agus Santoso (teman kuliah Ahok) ; IPK Ahok cuma 2,8 tapi Hobinya Nyalahin Dosen



Sebuah pernyataan dari seorang netizen bernama Agus Santoso mendadak menjadi viral sekarang ini sangat mengejutkan. Agus menulis status di laman medsosnya ;
“Dulu aku punya teman kuliah Teknik Geologi Trisakti, IPK-nya 2,8 thok.. Pas kuliah kerjaannya nyalahin dosen melulu padahal oon setengah mampus… Terus… hubungannya apa sama gambar ini? Mikir aja sendiri,” demikian bunyi statusnya.
Tak lama usai Agus mengupload foto-foto hasil screen capture dari sejumlah media yang memberitakan tentang Ahok yang selalu menyalahkan orang lain. Para netizen pun ikut aktif berkomentar.
Berikut beberapa komentarnya.
Rachma Amelia Sunandar : kesempurnaan hanya punya dia ðŸ˜‚😂, kesalahan pasti pada rakyat nyaa
Henny Qurata : Ooooh….si a hog yg ipk 2,8 tp sok pintar ? Denny Siregar itu dulu suka pinjem catatanq saat kuliah.Krn dia sibuk siaran radio.
Herdika Sean Putra : Ntar gagal jadi gubernur pasti yg disalahin habib Riziek
Abah Aji Iwan : Pemimpin yg baik tdk pernah membersihkan dirinya…anak buahnya slalu dilindungi…klo dlm medan tempur, pemimpin begini disebut penghianat…krna aslinya orang ini penakut..!!!
Sampai informasi ini diturunkan, postingan Agus menjadi viral di media sosial dan sudah sekitar dibagikan lebih dari 2600 kali.
Ahok pun belum memberikan pernyataan sikap terkait postingan Agus.
Sedang Agus sendiri, berdasarkan pantauan di Facebook, sudah menghapus postingannya tersebut.
Benarkah mereka teman kuliah dahulunya?

Ahok Diberhentikan Sementara sebagai Gubernur DKI Setelah Selesai Cuti Kampanye

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menghadiri rapat pleno penetapan pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI pada Pilkada 2017, di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (24/10/2016). Ketua Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta Soemarno memastikan Pilkada DKI Jakarta 2017 diikuti tiga pasang calon gubernur dan calon wakil gubernur.

JATINANGOR KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemberhentian sementara terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dilakukan setelah masa cuti kampanye yang dijalaninya berakhir.

Hal ini disampaikan Tjahjo terkait status Ahok sebagai terdakwa dalam kasus dugaan peniodaan agama.
"Sekarang ini kan petahana (Ahok) lagi cuti. Berarti kan sedang tidak menjabat. Nah begitu (setelah masa) cutinya habis, baru akan diberhentikan," ujar Tjahjo, di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Jumat (16/12/2016).
Tjahjo menjelaskan, kepala daerah yang sedang menjalani persidangan atau proses hukum tetapi tidak ditahan akan diberhentikan sementara.
Tujuannya agar kepala daerah tersebut bisa fokus pada persoalan hukum yang sedang dijalaninya dan tidak mengambil kebijakan dalam pemerintahan.
"Kecuali  OTT (operasi tangkap tangan), itu bisa langsung diberhentikan," kata politikus PDI-P tersebut.
Adapun pemberhentian sementara itu berlaku hingga ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
"Bisa di tingkat pertama, bisa di (tingkat) banding, bisa di (tingkat) kasasi. Setelah diberhentikan sementara, nanti wakilnya yang menggantikan," kata Tjahjo.
Jika merujuk ke peraturan perundang-undangan, Pasal 84 UU No 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan, pada pokoknya adalah presiden atau menteri dapat memberhentikan sementara kepala daerah jika tersangkut permasalahan dan masuk ke proses persidangan selambat-lambatnya selama 30 hari terhitung sejak menerima salinan nomor perkara dari pengadilan negeri.
Apabila putusan pengadilan menyatakan bersalah, maka kepala daerah akan diberhentikan dari jabatannya.
Sementara, apabila dinyatakan tidak bersalah, maka presiden atau menteri harus merehabilitasi kepala daerah yang dimaksud.
Saat ini, Kemendagri belum menerima salinan nomor perkara kasus Ahok dari pengadilan.
Dengan demikian, status Ahok saat ini masih sebagai gubernur non-aktif karena ia merupakan petahana yang sedang menjalani masa cuti kampanye.
Sebelumnya, sidang perdana kasus dugaan penodaan agama digelar di Gedung eks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gadjah Mada, Jakarta, Selasa (13/12/2016).
Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.
Dalam dakwaannya, JPU menyebut perbuatan Ahok telah menghina para ulama dan agama. ( KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG )

Sabtu, 11 Februari 2017

TANGGUNG JAWAB KONSTITUSIONAL PEMBERHENTIAN GUBERNUR: SUATU CONDITIO SINE QUA NON Oleh: Dr. Hendra Nurtjahjo,SH. MHum


Pengantar
Persoalan pemberhentian Kepala daerah terkait dengan perspektif hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum pidana. Perangkat hukum yang diacu berdasarkan pada ketentuan konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini sebagai konsekuensi kedudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat bukan machtstaat). Pemberhentian Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok (untuk selanjutnya disingkat BTP) sebagai Kepala Daerah-- murni harus didasarkan pada perspektif hukum dan tidak dalam perspektif politik.
Inilah konsekuensi dari pilihan Negara Hukum yang kita anut. Adanya intervensi politik terhadap hukum akan mendegradasi kedudukan negara hukum (nomocracy) dan berpotensi menyebabkan kerusuhan sosial (mobocracy) yang akan menuai perpecahan bangsa dan negara.
Kontroversi pemberhentian Gubernur DKI Jakarta yang dijabat oleh BTP ini menimbulkan persoalan karena Presiden dan Menteri Dalam Negeri belum juga mengambil tindakan hukum atas keadaan yang terjadi.
Masa cuti kampanye yang memiliki konsekuensi status non aktif Kepala Daerah yang dijabat oleh BTP telah berakhir pada tanggal 11 Pebruari 2017, konsekuensinya BTP sudah dapat aktif kembali sebagai Gubernur pada tanggal 12 Pebruari 2017.
Namun demikian, disisi lain, BTP telah menyandang status sebagai terdakwa dalam kasus hukum pidana penodaan agama yang sedang berlangsung di Pengadilan Jakarta Utara.
Ada tiga ketentuan hukum terkait dalam kasus ini yaitu, Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait Pemilihan Kepala Daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, timbul pertanyaan hukum :
(1) Apakah Presiden dan Mendagri dapat memperpanjang masa cuti BTP sebagai Gubernur Non Aktif,
(2) Apakah Presiden dan Mendagri harus menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum atau usulan dari DPRD untuk menonaktifkan BTP dari jabatan Gubernur DKI Jakarta,
(3) Apakah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan boleh mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan alasan subyektif tertentu.
(4) Apakah langkah untuk tidak menonaktifkan Kepala Daerah tersebut merupakan tindakan maladministrasi dalam perspektif Ombudsman,
(5) Adakah implikasi hukum serius apabila Presiden tidak menonaktifkan Gubernur BTP dalam konteks politik hukum ?
Lima hal inilah yang akan dijawab dalam tulisan ini. Penjelasan dan penafsiran hukum atas ketentuan hukum positif yang berlaku menjadi pegangan dalam analisis hukum tentang pemberhentian Gubernur ini.
Tentu saja hal ini tidak dapat dilepaskan dari nuansa politik dan tafsir kepentingan kekuasaan yang ada dibalik kontestasi hukum positif yang ada. Hal inilah yang menuntut pentingnya analisi politik hukum dalam kasus ini.
Analisis Norma Hukum dan Konstitusionalitas Pasal
Pemberhentian Gubernur.
Setiap pejabat publik termasuk Kepala Pemerintahan dalam hal ini Presiden memikul tugas konstitusional untuk menjalankan hukum dan pemerintahan tanpa pengecualian.
Dalam konteks penegakan undang-undang pemilihan kepala daerah, dalam hal ini DPR, Presiden, dan Menteri Dalam Negeri merupakan pihak yang mengemban kewajiban konstitusional untuk menjalankan hukum dan undang-undang terkait kasus hukum jabatan Gubernur DKI Jakarta yang sedang menjalani kasus pidana dalam status sebagai terdakwa kasus penistaan agama.
Status terdakwa ini membawa konsekuensi hukum pemberhentian jabatan Gubernur DKI yang disandang oleh BTP yang harus ditegakkan oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
Tanggung jawab konstitusional pemberhentian gubernur ini merupakan suatu conditio sine qua non bagi Presiden, yaitu suatu kondisi yang mengharuskan Presiden untuk ‘mau tidak mau’ melakukan pemberhentian BTP dari jabatan Gubernur sebagai penegakan dari hukum yang berlaku.
Pasal 83 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014 menegaskan norma hukum bahwa “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pada pasal ini pula dalam ayat tiga menunjukkan adanya kewajiban hukum dari Presiden untuk memberhentikan Gubernur BTP sebagai Kepala Daerah DKI Jakarta. Pasal ini memiliki kekuatan konstitusional untuk dijalankan oleh seluruh lembaga dan aparat hukum terkait sepanjang undang-undang tersebut masih berlaku sebagai hukum positif dan tidak dicabut keberlakukannya oleh Mahkamah Konstitusi.
Artinya, pasal 83 memiliki konstitusionalitas yang harus dijalankan oleh pengemban amanah konstitusi yaitu Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Secara yuridis beban konstitusional ada di tangan Presiden, namun demikian secara politis ini berat bagi Jokowi karena BTP adalah rekan seafiliasi yang dicalonkan oleh partainya, yaitu PDIP.
Namun demikian, dalam konteks menjalankan tugas kenegaraan, Presiden sebagai negarawan harus dapat mengenyampingkan kepentingan politik guna menjalankan legal reasoning (argumentasi hukum) yang nyata ada. Hal ini berkaitan dengan sumpah jabatan Presiden yang harus senantiasa menjunjung tinggi hukum dengan tanpa kecuali.
Terkait dengan persoalan
 (1) Apakah Presiden dan Mendagri dapat memperpanjang masa cuti BTP sebagai Gubernur Non Aktif, hal ini tentunya tidak relevan untuk dikontradiksikan.
Pertama, ketentuan masa cuti kampanye telah berakhir sesuai dengan Peraturan KPU.
Kedua, tidak ada lagi istilah perpanjangan masa cuti karena kampanye talah berakhir dan status non aktif sudah expired.
Ketiga, status non aktif dalam alasan perpanjangan cuti tidak dapat dibenarkan secara hukum.
Keempat, status non aktif dapat diberlakukan kembali, namun harus dengan legal basic yang berbeda yaitu, pasal 83 (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemberhentian Kepala Daerah dengan status terdakwa.
Sehingga, hal ini harus dipahami, bila tuntutan masyarakat untuk non aktif bukan didasarkan atas UU Pilkada, melainkan berdasarkan UU Pemda, dua rezim hukum yang berbeda namun setara dalam keberlakukannya sebagai perangkat hukum.
Sehingga dapat dipastikan bahwa Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 adalah norma hukum yang masih berlaku konstitusionalitasnya dapat dijadikan sebagai dasar hukum pemberhentian Gubernur sebagai Kepala Daerah DKI Jakarta.
Persoalan ke (2) Apakah Presiden dan Mendagri harus menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum atau usulan dari DPRD untuk menonaktifkan BTP dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, Pasal 83 ayat 1 membebankan kewajiban untuk memberhentikan itu kepada Presiden, bukan kepada Menteri Dalam Negeri.
Hal ini adalah kewajiban konstitusional Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, dan Menteri Dalam Negeri dan Sekretariat Negara hanya menjalankan proses administratif pemberhentian tersebut (administrative law process).
Pemberhentian ini sudah ditegaskan oleh UU Pemda adalah sebagai pemberhentian sementara, bukan definitive (pemberhentian tetap).
Pemberhentian tetap oleh Presiden sesuai ayat 4 Pasal 83 hanya dapat dilakukan setelah adanya Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dari pengadilan. Pemberhentian sementara oleh Presiden ini tidak perlu menunggu usulan dari DPRD DKI Jakarta sebagaimana secara langsung dapat dipahami dari Pasal 83 ayat 1.
Namun demikian baik DPR maupun DPRD dapat mengingatkan secara moril (memberikan aba-aba atau warning) kepada Presiden bahwa kewajiban konstitusional ini harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
Pemberhentian ini juga tidak perlu menunggu pemberitahuan atau tuntutan dari Jaksa Agung atau Jaksa Penuntut Umum karena beberapa hal.
Pertama, pasal 83 tidak menyebut dan tidak mensyaratkan adanya ‘tuntutan jaksa penuntut umum’ melainkan ‘kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.’
Pasal pemberhentian tersebut tidak menunjukkan perlunya keterlibatan jaksa penuntut umum, melainkan besar ancaman yang tertera di dalam undang-undang terkait pasal yang didakwakan.
Hal ini adalah hal yang lazim dalam suatu kasus hukum lainnya, tidak ada yang pernah didasarkan atas berapa lama hukuman yang dituntut oleh jaksa.
Malahan hal ini menjadi janggal bila harus menunggu pembacaan tuntutan jaksa. Penafsiran hukum yang mengharuskan menunggu berapakah tuntutan hukum dari jaksa adalah penafsiran hukum yang mengada-ada dan menimbulkan pretensi hukum yang anomaly.
Apakah Jaksa akan menuntut dibawah 5 tahun atau diatas 5 tahun, itu adalah persoalan lain yang sama sekali tidak menjadi syarat dari Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014.
Kedua, hal ini juga tidak perlu dikaitkan dengan apakah ada penahanan atau operasi tangkap tangan yang berhasil dilakukan oleh aparat hukum.
Mengapa ? Karena hal ini tidak dipersyaratkan secara normatif di dalam pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014. Baik penahanan maupun OTT (Operasi Tangkap Tangan) tidak menjadi unsur norma hukum didalam pasal tentang pemberhentian kepala daerah tersebut.
Ketiga hal ini bukanlah tuntutan pidana lain dari kasus pidana yang sedang dijalankan, melainkan konskekuensi hukum administrasi terkait jabatan publik yang diemban oleh BTP dalam status terdakwa.
Sehingga hal ini merupakan hal yang lazim sebagaimana status terdakwa jabatan publik lainnya yang pernah diberhentikan, seperti kasus Bupati Bogor, Gubernur Sumatera Utara, Gubernur Banten, dan lain-lain. Sama sekali tidak terkait dengan perlunya tuntutan jaksa penuntut umum, penahanan, atau OTT.
Persoalan ke (3) Apakah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan boleh mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan alasan subyektif tertentu, berdasarkan pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Alasan yuridis berdasarkan ilmu perundang-undangan bagi suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perppu untuk dikeluarkan adalah adanya kegentingan memaksa.
Dalam constitutional law hal ini lazimnya disebut sebagai emergency law atau undang-undang dalam keadaan darurat. Dalam konteks ini sama sekali tidak ada keadaan yang dapat dinilai secara subyektif oleh Presiden sebagai sesuatu keadaan yang darurat.
Pasal 83 ayat 1-5 sudah menyebutkan secara cristal clear atau sangat jelas tentang unsur-unsur norma hukum pemberhentian seorang kepala daerah tanpa harus ditafsirkan lagi apalagi dikaitkan dengan keadaan darurat.
Namun jika hal ini juga terpaksa dilakukan oleh Presiden, rakyat akan dengan cepat menangkap gelagat politik untuk menyelamatkan BTP yang jelas-jelas dalam status terdakwa. Maka ini jelas merupakan intervensi politik terhadap hukum, dan merupakan rangsangan bagi terjadinya suatu social mob yang terus berkelanjutan. Kasus hukum pidana harus terus berjalan apa adanya, sebagaimana proses hukum administrasi negara juga harus berjalan apa adanya (law as it is).
Persoalan ke (4) Apakah langkah untuk tidak menonaktifkan Kepala Daerah tersebut merupakan tindakan maladministrasi dalam perspektif Ombudsman, hal ini dapat dilihat dari perspektif UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik. Status terdakwa dari pejabat publik tentu akan mempengaruhi situasi pelayanan publik yang dijalankan oleh pejabat tersebut.
Hal ini dapat berimplikasi pada banyak hal dan akan terkait dengan budaya hukum yang akan ditegakkan oleh Gubernur sebagai pelayanan publik. Apapun bentuk perbuatan melanggar hukum dan etika administrasi adalah tindak maladministras dalam pandangan Ombudsman.
Ombudsman juga memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mengingatkan lembaga-lembaga negara terkait untuk menegakkan hukum secara tegas dan non diskriminatif. Telah adanya beberapa kepala daerah yang terkena ketentuan hukum pemberhentian tersebut merupakan preseden yang harus dilaksanakan oleh lembaga negara terkait dalam hal ini Presiden, dan Menteri Dalam Negeri.
Penafsiran dan treatment yang berbeda dalam kasus ini adalah merupakan tindakan diskriminasi hukum yang dalam perspektif Ombudsman adalah tindak maladministrasi. Sehingga dalam kasus ini, dapat ditengarai bila Pasal 83 tidak dilaksanakan oleh Presiden dan Menteri Dalam Negeri, hal ini masuk dalam lingkup maladministrasi atau penyimpangan hukum dan etika dalam menjalankan administrasi negara.
Mengarah Kepada Impeachment
dan Social Mob ?
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pelaksanaan pemberhentian Gubernur merupakan kewajiban konstitusional Presiden untuk melaksanakan Pasal 83 UU No.23 Tahun 2014. Pasal tersebut adalah pasal dengan norma imperatif (Bukan Fakultatif, karena tidak ada kata ‘dapat’ di dalam teks pasal tersebut).
Ketentuan normatif itu mengharuskan Presiden untuk melaksanakannya (Suatu conditio sine qua non) secara tegas tanpa menimbang kepentingan politik apapun. Negara hukum mensyarakatkan penegakan hukum tidak boleh dilakukan atas intervensi kepentingan politik tertentu.
Hal ini merupakan hukum besi sejarah, politik harus tunduk pada hukum, walaupun hukum itu sendiri merupakan hasil dari proses politik. Kepatuhan pada hukum adalah sendi utama dalam bernegara. Pengabaian hukum akan merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dan berimplikasi pada runtuhnya negara.
Persoalan ke (5) Adakah implikasi hukum serius apabila Presiden tidak menonaktifkan Gubernur BTP dalam konteks politik hukum?
Presiden adalah Kepala Negara dan juga Kepala Pemerintahan, Kedudukan ini adalah status kelembagaan dan bukan personal. Lembaga kepresidenan dalam ketentuan konstitusi memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menjalankan hukum dan pemerintahan.
Demikian pula kedudukan semua warga negara adalah sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Tentu seorang Presiden harus menjunjung tinggi hukum dan perundang-undangan sebagaimana yang disebut dalam sumpah jabatannya.
Apabila Presiden tidak mematuhi hukum atau memberlakukan hukum secara berbeda (discriminatory ) dalam suatu kasus, maka hal ini merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan akan berimplikasi yuridis serius dalam perspektif hukum tata negara.
Ringkasnya, apabila Presiden Jokowi tidak menjalankan perintah undang-undang untuk memberhentikan BTP sebagai Gubernur DKI, maka hanya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, pertama, proses impeachment akan bergulir sebagai proses hukum tata negara.
Langkah ini bergantung dari konstelasi politik di DPR yang akan mengajukan usul pemberhentian Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tentunya langkah ini didahului permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Hal ini tentunya merupakan proses yang panjang dan berliku.
Kedua, terbukanya alasan politik untuk terjadinya gerakan sosial yang menuntut Presiden untuk mundur dari jabatan, atau softly movement agar Presiden menegakkan hukum secara adil (fairness).
Penutup
Kedua kemungkinan terabyte akan selalu memunculkan instabilitas politik dan memicu munculnya kerusuhan sosial yang luas (massive social mob).
Kekuatan aparat hukum yang berpihak pada kekuasaan politik akan menimbulkan korban nyawa yang tidak sedikit di pihak grass root.
Situasi ini rentan untuk munculnya intervensi kekuatan asing yang akan memiliki kepentingan ideology and capital dalam menguasai dan mengkooptasi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal inilah yang harus kita cegah melalui proses hukum yang adil dan beradab. Namun pertanyaan besarnya, mungkinkah ? ©HendraNurtjahjo (
Ombudsman Republik Indonesia 2011-2016, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila).

Sabtu, 04 Februari 2017

AHOK ; BELAJARLAH PADA RUDY Surat Terbuka Buat Basuki Tjahaya Purnama (2)



Kepada,
Yth. Basuki Tjahaya Purnama
Di JAKARTA

Semoga keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya,

Pak Basuki…
Surat Terbuka saya yang pertama (saya tidak tahu, Anda membaca atau tidak) hanya yang pasti tidak mendapat jawaban dari Anda. Banyak respon dari masyarakat, baik dari pendukung Anda maupun yang tidak mendukung Anda. Sekali lagi saya tegaskan, saya tidak benci Anda, juga tidak cinta Anda. Saya juga tidak ada urusan secara pribadi dengan Anda. Ini adalah semata-mata, wujud cinta dan kepedulian saya pada DKI Jakarta, ibu kota Negara saya tercinta, Indonesia.

Dalam surat terbuka saya yang kedua, saya mau menceritakan dan menyarankan Anda untuk belajar pada orang yang saya kenal dengan baik. Karena saya pernah menjadi tetangganya semasa saya kuliah di Solo. Saat ini beliau adalah Walikota Surakarta, perah menjadi pendamping bapak Joko Widodo sebagai wakil walikota selama dua periode (2005-2010 dan 2010-2012). Sejak tahun 2012, beliau menjadi walikota menggantikan Jokowi yang terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kisahnya mirip dengan Anda kan ?

Pak Basuki…
Baiklah, saya ceritakan profil beliau.
Kumis melintang, kulit hitam, dulu suka mabuk-mabukan dan jadi preman. Kalimat pembuka yang menggambarkan superman dari Surakarta dengan karir politik dari ketua RT hingga Wali Kota. Inilah sosok preman dari Solo yang menjadi pasangan Joko Widodo, dan akhirnya naik tahta, menjadi orang nomor satu di Kota Suarkarta. Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo demiakian namanya.

Nama Fransiskus Xaverius tersemat didepan nama pemberian orang tuanya. Tidak mulus menjadi orang nomer dua di Surakarta, sebab pernah ditolak gara-gara nama F.X tersebut. Dengan kerendahan hati dia mendekati pemimpin ormas yang menolaknya lalu mengajaknya komunikasi, dan sekarang menjadi partner dan kawan dekat. "Komunikasi atau penting tembunge" begitu katanya dalam menyikapi setiap permasalahan yang muncul. Hal itu beliau sampaikan dalam sebuah Talk Show dengan tema "from zero to be a leader, dari preman menjadi superman" di Kampus UKSW, Salatiga pada tanggal 26 Nopember 2013. Bagaimana seorang preman yang bertobat dan menjadi pemimpin yang melayani dan disegani. Lebih baik mantan preman daripada mantan pastur, kira-kira begitu terjemahannya.

Pak Basuki…
Rudy, panggilan akrab FX. Hadi Rudyatmo, pernah menjadi wakil Jokowi selama 7 (tujuh) tahun (2005-2012). Mulai tahun 2012 sampai 2015, Rudy melanjutkan tampuk pimpinan Surakarta yang ditinggalkan Jokowi. Pada tahun 2015, Rudy mengikuti pilkada Kota Suarkarta sebagai calon walikota berpasangan dengan Achmad Purnomo, dan diusung oleh PDIP. Lawannya adalah pasangan Anung Indro Susanto-Mohammad Fajri yang diusung oleh Koalisi Solo Bersama (KSB), meliputi partai Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP, PKS dan PAN.

Hasil rekapitulasi suara yang digelar KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Surakarta, pasangan Rudy-Purnomo menjadi pasangan terpilih dengan meraih 169.902 suara (60,39%), pasangan Anung-Fajri meraih 111.462 suara (39,61%), sedangkan suara tidak sah /golput sebesar 116.762. FX Hadi Rudyatmo resmi menjadi Walikota Surakarta. Dari namanya saja kita sudah tahu bahwa beliau bukan muslim seperti mayoritas pemeluk agama di Kota Surakarta, atau yang lebih dikenal Kota Solo (lebih dari 85% penduduk Solo adalah muslim). Kita juga sering mendengar bahwa Wong Solo itu temperamen, mudah marah. Anda tentu masih ingat peristiwa Mei 1998 di Solo? Belum lagi munculnya aliran-aliran garis keras yang mengatasnamakan agama Islam sebagai alasan untuk membuat kerusuhan demi kepentingan suatu golongan. Kita semua tahu Kota Solo ini kota yang keras.

Meski begitu, di masa pemerintahan Jokowi kita juga tahu bahwa masyarakat Solo kemudian menjelma menjadi masyarakat yang mau diatur dan mudah ditata, ya karena katanya sebagian besar mereka merasa diwongke, atau istilah lainnya dimanusiakan. Lalu bagaimana pemerintahan ala Rudy sekarang? Saya rasa tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Jokowi, Rudy yang sudah mendampingi Jokowi selama hampir dua periode pasti tahu bagaimana cara menciptakan suasana yang kondusif di Kota Bengawan tersebut. Masyarakat juga melihat, program-program yang dijalankan oleh walikota baru tersebut merupakan program lanjutan dari pemerintahan terdahulu, ataupun program-program baru yang memiliki fungsi yang sama, yakni memberi kenyamanan bagi masyarakatnya.

Pak Basuki…
Sampai disini kita menemukan ada persamaan antara Anda dengan Rudy.
Anda dan Rudy sama-sama non-muslim,
sama-sama pernah mendampingi Jokowi,
sama-sama melanjutkan kepemimpinan yang ditinggalkan Jokowi,
sama-sama maju sebagai kepala daerah dengan status petahana, sama-sama diusung oleh PDIP.

Namun ada perbedaan besar antara Anda dengan Rudy.
Rudy pernah jadi preman, Anda pasti tidak pernah jadi preman,
Rudy suku Jawa tulen, Anda bukan,
Rudy Marhaenis sejati yang setia dengan satu partai yaitu PDIP, sementara Anda adalah politisi kutu loncat yang plin plan demi kekuasaan (Anda pernah menjadi anggota DPR dari Golkar, pernah maju pilkada dari PIB, pernah jadi wakil gubernur dari Gerindra, dan sekarang tidak jelas partaiya. Anda pernah sesumbar maju pilkada DKI lewat jalur independen, kemudian Anda jilat muntahan Anda sendiri dengan maju lewat jalur partai),
Rudy rendah hati, ramah dan tidak sombong sementara Anda terlalu PD, congkak dan sombongnya selangit,
Rudy tidak pernah membawa-bawa agama, bahkan merangkul pemeluk Islam dalam kampanyenya, sementara Anda hoby membawa isu SARA dan menantang pemeluk Islam dalam kampanyenya,
Rudy tidak pernah menggunakan fasilitas Negara dalam kampanye, bahkan selama menjabat walikota enggan tinggal di rumah dinas, sementara Anda kampanye masih dengan pakaian dinas,
Rudy bicaranya kalem dan tenang, sementara Anda biacaranya pedas, kasar dan suka menyinggung.

Pak Basuki…
Masih banyak kelebihan Rudy yang tidak Anda miliki, yang membuat beliau pantas terpilih sebagai kepala daerah dengan perolehan suara diatas 60%. Apa saja kehebatan yang dimiliki Rudy ? Berikut diantaranya;
-          Tak seperti kebanyakan pejabat di Indonesia, meski dua kali terpilih menjadi Wakil Walikota, kekayaannya biasa saja. Bahkan Rudy menolak tinggal di rumah dinas yang sudah disediakan dengan alasan biar selalu dekat dengan rakyat pemilihnya.
-          Meski beliau seorang Katholik, tidak ada satu pun Gereja Katholik baru yang dibangun selama kepempimpinan beliau. Umat Katholik pun tidak pernah merasa diistimewakan, biasa saja seperti masa-masa sebelumnya.
-          Setiap lebaran tiba, Pak Rudy ini selalu melakukan open house dan tak lupa berbagi kebahagiaan dengan warga sekitar.
-           Saat hingar bingar kenaikan BBM Maret 2012 lalu. Dengan menggunakan atribut partainya, Rudy turun ke jalan memprotes kebijakan kenaikan BBM oleh pemerintah pusat. Tidak peduli adanya suara keras dari Mendagri yang mengancam akan menegur pejabat daerah yang menolak kebijaksanaan pemerintah pusat.
-          Selama menjabat sebagai Wakil Walikota Solo, Rudy mengaku memiliki resep agar hubungannya dengan Jokowi selalu harmonis. Tidak rebutan jabatan apalagi rebutan duit.

Pak Basuki…
Anda terlalu gaduh. Kebijakan Anda banyak yang kontroversial. Ketegasan seorang pemimpin bukan dari cara bicaranya yang keras, ngotot, meledak-ledak, congkak dan arogan. Ketegasan seorang pemimpin adalah dari kebijakannya yang pro rakyat, tanpa kompromi, sikap yang konsisten, dan itu bias disampaikan dengan bahasa yang santun dan rendah hati. Lihat pendahulu Anda yang sekarang jadi Presiden Republik Indonesia, atau lebih jauh, lihat Bang Ali Sadikin yang menjadi gubernur terbaik DKI Jakarta, atau lihatlah FX. Hadi Rudyatmo.

Pak Basuki…
Saya sarankan kepada Anda, Belajarlah pada Rudy…

Yogyakarta, 10 Oktober 2016

Arief Luqman el Hakiem