Cari Blog Ini

Jumat, 25 Agustus 2017

Ada Nama Mantan Staf Khusus Ahox, Sunny Tanuwidjaja Dibalik Saracen

islampol.blogspot.co.id - Sebagaimana diberitakan Hampir di semua Media Mainstream, Nama saracen melambung tinggi dan dikenal oleh Khalayak setelah Ditangkap beberapa Anggota Saracen oleh Pihak Kepolisian.

Dan Pihak Kepolisian pun Membongkar Sindikat Ujaran Kebencian yang dilakukan oleh Saracen ini.

Dan Pihak Kepolisian segera Memburu Anggota Saracen lainnya dan juga Pelaku Pembiaya Saracen ini.

Namun belakangan, Akun @plato_id membongkar siapa sebenarnya Saracen dan Otak dibalik Saracen serta siapa yang membiayai Saracen ini.

“saracen yg di bentuk cyrus network dibiayai sunny mantan tsk reklamasi | Sumber biaya sinar mas atas persetujuan pak jokowi | *infovalid” Bongkar Akun @plato_id di akun Twitternya yang bernama Intelektual Purba.

Sunny Tanuwidjaja
@plato_id mengungkapkan lebih jauh, apa sebenarnya dibentuk saracen ini.

Saracen sebenarnya dirancang untuk menutup-nutupi pemberitaan Hutang Negara agar Rakyat tidak tahu da Juga agar Menutup-nutupi Korupsi Rezim Jokowi agar tidak terendus oleh Rakyat, oleh karna itu dibuatlah saracen agar Penggiringan Opini tidak ke arah Hutang dan Korupsi Rezim Jokowi.

Sunny Tanuwidjaja, salah satu mantan ‘ Orang Dekat’ Ahok, disebut-sebut sebagai Pembiaya Kelompok Penyebar Isu hoax dan SARA, Saracen.

Sunny Tanuwidjaja bersama Cyrus Network dan juga Gun Romli membiayai Saracen untuk Menyebarkan berita Hoax dan Isu SARA.

Di Bentuknya saracen karena kewalahannya Rezim Jokowi untuk Menutupi Pemberitaan Hutang Rakyat dan juga borok-borok Rezim Jokowi seperti Korupsi, Listrik, Kontraktor dibalik Jalan Raya di Papua, dan juga Pencitraan soal Hutang Negara.

Setelah Mencuatnya Tulisan @plato_id, dan Sunny merasa terganggu dengan pemberitaan yang ada, akhirnya Sunny meminta kepada sang Donatur agar kasus tersebut tidak mengarah ke dirinya.

Ini terbukti atas pemberitaan sebagaimana yang diliput oleh detik.com yang sebelumnya akan segera membongkar Pemesan Ujaran Kebencian di saracen tiba-tiba mengaku kesulitan untuk membongkarnya.

Sumber : koransiana.com

Saracen Dan Industri Hoax

islampol.blogspot.co.id - Kondisi politik di era pemerintahan Joko Widodo membuka peluang tumbuhnya bisnis penyebaran kebencian di dunia maya. Bisnis yang dikenal dengan istilah e-hate ini bukanlah barang baru.

Pelaku bisnis e-hate mengeruk keuntungan dengan cara memprovokasi lewat berita-berita bohong (hoax) yang secara terus menerus diproduksi sesuai pesanan. Mereka menyebarkan konten-konten yang menyudutkan suku, agama, ras, atau pandangan politik yang berlawanan dengan si pemesan.

Indonesia, menjadi sasaran empuk pelaku-pelaku bisnis kebencian yang memiliki daya rusak sangat besar untuk persatuan negara.

Di Indonesia, bisnis kebencian mulai nyata. Pelakunya, sindikat Saracen.
Polisi menangkap tiga orang pengelola Saracen. Lewat media sosial, seperti Facebook, dan twitter Saracen menyebarkan konten berisi ujaran kebencian. Bahkan, Saracen mengelola situs berita khusus untuk memuaskan pemesan.

Kepolisian membenarkan, konten bermuatan SARA yang disebarkan sindikat Saracen merupakan pesanan dari pihak tertentu. Mereka tarif puluhan juta untuk setiap konten yang mereka produksi dan sebarkan.

Tak tanggung-tanggung, Saracen memiliki ratusan ribu akun media sosial yang siap menggerakan konten-konten provokasi itu, sehingga berseliweran di jagat maya.

Menurut pengamat media sosial Nukman Luthfie menyebut maraknya bisnis kebencian itu, tidak bisa dilepaskan dari panasnya situasi politik di Indonesia.

Nukman berpendapat selalu ada pihak yang tidak suka kepada pihak lagi, bisa pemerintah, partai politik, tokoh politik, agama, hingga suku tertentu.

“Pasar itu ada, kemudian diisi oleh orang-orang yang berani supply konten-konten yang dipesan sama mereka,” kata Nukman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (24/8).

Menurut Nukman para pembuat konten ujaran kebencian itu paham betul adanya peluang di pasar tersebut.

Nukman menuturkan, para pembuat konten ujaran kebencian tersebut tidak peduli terhadap latar belakang pemesan konten. Meski berbeda ideologi, agama, suku, asalkan si pemesan mampu membayar, mereka akan melayaninya.

“Tidak peduli ideologi, bisa sekarang melayani A, pada saat bersamaan bisa melayani lawan dari A,” ucapnya.

Selain itu, kata Nukman pembuat konten juga tidak memiliki kepedulian terhadap efek yang akan ditimbulkan di masyarakat.

Menurutnya, kepedulian para pembuat konten tersebut hanya pada keuntungan yang akan mereka peroleh setelah membuat dan menyebarkan konten ujaran kebencian sesuai dengan pesanan.

“Enggak tahu moral,” ujar Nukman.

Dihubungi terpisah, pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia, Ade Armando mengatakan sindikat Saracen berhasil memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi untuk menyebarkan ujaran kebenciaan.

Menurut Ade, kemajuan teknologi tersebut seharusnya bisa digunakan sebagai alat demokratisasi di Indonesia, sehingga masyarakat bisa berkomunikasi dengan bebas, termasuk dalam mengontrol pemerintah.

“Tapi sekarang dimanipulasi, dan dimanfaatkan untuk kepentingan penyebaran fitnah dan hoax,” kata Ade.

Ade menuturkan, munculnya sindikat seperti Saracen tidak bisa dilepaskan dari fenomena politik yang terjadi sejak 2014 silam.

Menurutnya saat itu polarisasi politik menjadi sangat keras, sehingga mengakibatkan praktik menyebarkan ujaran kebencian dan berita bohong untuk menjatuhkan lawan politik menjadi praktik yang lazim.

“Mentransformasi bukan hanya peluang politik tapi bisnis secara cerdik, dalam politik, orang bisa melalukan segala cara,” ujarnya.

Dilihat dari aspek peluang bisnis, Ade berpendapat pengelola Saracen telah berhasil membuat nilai ekonomi dari media sosial menjadi sebuah keuntungan.

Ade berpendapat, Saracen menawarkan diri untuk menjadi alat perang bagi kekuatan-kekuatan yang memiliki ideologi bertentang dengan pemerintah.

Sindikat Saracen, kata dia, tentunya tak sembarangan dalam melayani pesanan. Mereka akan melihat latar belakang pemesan.

Kata dia, jika dilihat dari orang-orang pengelola Saracen diduga merupakan kelompok anti-Jokowi.

“Seandainya ada kubu Jokowi meminta mereka menyebarkan fitnah untuk menjatuhkan lawan mereka saya yakin itu tidak akan dilakukan karena mereka punya ideologi,” tutur Ade.

Lantas, siapa sebenarnya pemesan ujaran kebencian, kelompok anti-Jokowi, atau kelompok pro-Jokowi? (ugo/asa)
cnn

***

Seorang facebooker yang mengaku sebagai anggota Jasmev (Jokowi Ahok Social Media Volunteer) yang sudah tobat, Fanya Fanila, semalam, Sabtu, 14 Maret 2015 mengunggah sebuah tips untuk menghadapi serangan pasukan cyber pendukung Jokowi – Ahok.

Ternyata, melawan pasukan cyber pendukung Jokowi – Ahok tak sulit. Begini caranya.

“Cara melawan Jokowi sebenarnya sungguh sangat sederhana, yaitu dengan kebenaran, sebab seperti kata kalimat bijak, kebenaran akan membebaskanmu. Kebenaran macam apa yang dapat digunakan untuk menghantam Jokowi dan Jasmev yang tidak punya etika itu? Kebenaran mengenai Jokowi dan Jasmev itu sendiri, sebab yang harus selalu diingat adalah semua hal yang ditampilkan Jokowi dan Jasmev adalah ilusi, sekedar trik sulap untuk menipu mata rakyat, sesederhana itu, dan tidak rumit.,” demikian tulis Fanya.

Alasan Jasmev membully pihak yang membuka rahasia trik sulap Jokowi, menurut Fanya, adalah untuk mengubur rahasia itu sekaligus mengubur pihak yang membukanya dengan membully.

Satu-satunya cara melawan Jokowi adalah dengan membuka kebenaran tentang Jokowi, dan Jasmev.

“Contoh, Jokowi dan pihak di belakang Jasmev, Kartika Djoemadi memiliki satu persamaan signifikan, yaitu sama-sama pembohong dan penipu, bila Jokowi telah lebih dari enam puluh kali berbohong kepada rakyat Jakarta, maka Kartika Djoemadi telah berbohong kepada publik karena mengaku-ngaku lulusan Phd dari Amsterdam dan bekerja di Universitas Paramadina padahal tidak benar dan sudah dibantah oleh pihak universitas,” demikian tulis Fanya lagi.

Membongkar kebohongan Jokowi, Kartika Djoemadi dan Jasmev, tambah Fanya, sesungguhnya tidak sulit karena mereka telah melakukan begitu banyak kebohongan sehingga bahkan bila Stan Greenberg turun tangan langsung dia juga tidak akan mampu mengubur semuanya dengan sempurna.

“Membongkar kebohongan Jokowi itu sangat gampang sebab kebohongan itu secara gamblang terpampang di depan mata setiap warga dan rakyat Indonesia,” tulis Fanya.

“Memperhatikan sepak terjang Jokowi selama 1,5 tahun terakhir saya berhasil menemukan rumus cara menemukan kebohongan Jokowi dan rumus tersebut adalah setiap kalimat, setiap kata, setiap huruf dan setiap titik yang keluar dari mulut Jokowi dan Jasmev adalah kebohongan, sehingga tugas kita menemukan kebenaran yang tentu saja bertolak belakang dari apa yang disampaikan Jokowi dan Jasmev,” imbuhnya.

Tugas selanjutnya susah-susah gampang, yaitu bertahan melawan gempuran Jasmev yang mencoba mencegah informasi tentang kebohongan Jokowi tersebar kepada khalayak ramai.

Bagi yang tidak tahu cara melawan troll internet seperti Jasmev maka melawan mereka adalah sangat sulit dan makan hati, tapi bagi yang sudah tahu caranya maka melawan Jasmev luar biasa gampang sehingga kita bisa menang dalam 1000 pertempuran melawan Jasmev dengan mata tertutup.

Untuk melawan Jasmev yang perlu kita ketahui adalah bahwa mereka termasuk sebagai Troll internet.

Apa itu troll?

Troll internet adalah kelompok pengguna internet yang biasanya masuk ke sebuah diskusi tentang suatu topik dengan tujuan mengacaukan diskusi tersebut, baik dengan tiba-tiba memaki dan berkata kasar sehingga memancing keributan atau berpura-pura bego.

Troll sebenarnya sudah ada sejak dunia message board ada di internet, namun salah satu troll bayaran pertama di Indonesia atau troll profesional adalah Jasmev.
Lantas bagaimana cara melawan mereka? Gampang, lagi-lagi dengan kebenaran.

Quote:Pertama dengan menyadari bahwa orang yang kita hadapi adalah Jasmev yang sedang ngetroll, dan setelah itu kita memiliki dua pilihan, yaitu dengan cuekin Jasmev alias troll itu dan membiarkan sang troll ngomong sendiri

Quote:Kedua melawan troll dengan terus menulis kebenaran mengenai Jokowi terlepas dari upaya mereka melencengkan topik yang sedang dibahas.

Pilihan pertama gampang, tapi pilihan kedua ada seni tersendiri, dan yang terpenting adalah terlepas usaha Jasmev mengubah topik baik dengan kata-kata kasar ataupun mengalihkan topik, maka kita harus membalikan ke topik semula dan terus berusaha supaya kendali pembahasan sepenuhnya berada di tangan kita dengan terus kembali kepada kebenaran mengenai kebohongan Jokowi.

Fanya pun memberi ilustrasi bagaimana cara mengendalikan trit (thread, red) yang sudah disusupi Jasmev.

Quote:Kita: Kenapa Jokowi berbohong kepada warga Jakarta? Kemarin bilang mau mengurus Jakarta selama lima tahun, kok sekarang nyapres?

Quote: Jasmev : kamu pasti panasbung, utusan Prabowo bla bla bla.

Quote:Kita: tidak ada hubungan, sekarang jawab, kenapa Jokowi berbohong? Masa pemimpin suka berbohong dan meninggalkan tanggung jawab?

Quote: Jasmev : Dasar panasbung yang tidak mau melihat Indonesia maju.

Quote:Kita: Pemimpin pembohong tidak akan pernah bisa memajukan Indonesia. Kenapa kita harus memilih pemimpin pembohong?

Quote: Jasmev : dibayar berapa kamu oleh lawan Jokowi?

Quote:Kita: Di atas ada beberapa pertanyaan, kok tidak dijawab sih?

Quote: Jasmev : pasukan nasi bungkus lu, cela Jokowi karena gak bisa korupsi di bawah Jokowi yah?

Quote:Kita: Selain pembohong, Jokowi juga membiarkan temannya Michael Bimo korupsi pengadaan bus transjakarta, jadi kenapa kita harus milih dia mengurus Indonesia? Jawab, atau tidak bisa jawab?
Demikianlah tips yang disajikan Fanya Fanila.

Memang, meski pilpres sudah usai, tapi pasukan cyber pendukung Jokowi – Ahok masih terasa keberadaannya di ruang media sosial. Untuk mengawal Jokowi dan Ahok, mereka masih sering menggunakan teknik-teknik troll seperti yang diungkap Fanya di atas.
Untuk menghadapinya, sudah pernahkah Anda mencoba tips ini? Jika belum, mungkin tips Fanya tadi bisa bermanfaat.

sumber :
http://m.kaskus.co.id/thread/5507dbc51cbfaace098b456b/tobat-mantan-jasmev-bagi-tips-gratis-hajar-pasukan-cyber-pro-jokowi-ahok

Momok Baru Itu Bernama SARACEN

Ketakutan Baru itu Bernama SARACEN

(1) Kawan di kalibata memberikan informasinya:
SARACEN bisa mnjadi perangkap (jala) yang tepat dan besar untuk menjerat admin dari akun-akun anti pemerintah.

(2) Ibarat sebuah sandi operasi intelejen, nama SARACEN adalah sebuah teknik PENGUMPULAN dan PENGKLASIFIKASIAN untuk akun akun anti pemerintah.

(3) Tinggal jemput dan sebut kamu terlibat dalam aktifitas SARACEN, tandatangani BAP. Beres. Tinggal melabeli.

(4) (SARACEN) Ibarat aktifitas kriminal yang melanggar hukum. Kalau kamu tidak mau dimasukkan sebagai akun SARACEN maka tidak usah kritik lagi pemerintah.

(5) Dan kalau kamu tetap melakukan aktifitas mengkritik pemerintah maka penegak hukum tinggal katakan kamu bagian SARACEN.

(6) Soal ujaran kebencian berbau SARA hanyalah sebuah jalan pembenaran untuk menindak. Aslinya adalah membungkam akun medsos yg anti pemerintah.

(7) Metodenya, anda kritik patung dewa perang, tafsirannya anda menyebar ujaran kebencian SARA, walau kritikan itu arahnya kpd sikap diamnya pemerintah.

(8) Semua kritikan kepada pemerintah ujung akhirnya akan diklasifikasikan sebagai membangun ujaran kebencian. Dan masuk bagian SARACEN.

(9) Ini bukan hanya terjadi di laman Twitter land, tetapi juga menyangkup beranda di Facebook. Penegak hukum sudah punya peta akun sebarannya.

(10) Akun akun komunitas seperti MCA (Muslim Cyber Army -red) ataupun JR (Jempol Rakyat -red) sudah termasuk didalam database peta yang sudah diketahui oleh penegak hukum. Efek SARACEN.

(11) SARACEN itu efektif. Seperti anda tdk mau disebut komunis, Maka pasanglah bendera merah putih depan rumah anda sebagai bukti (analogi).

(12) Dan kalau anda tidak mau disebut bagian SARACEN, apa yg menjadi indikatornya? saya Pancasila saya dukung program utang pemerintah.

(13) 800.000 akun (yang disebut sebagai jaringan SARACEN -red) itu bisa termasuk akun anda, anda, dan anda. Yang sering berteriak luapkan perlawanan dan penolakan termasuk anti hegemoni China.

(14) Penegak hukum sengaja tdk beri garis yg jelas, Akun seperti apa yg termasuk bagian aktifitas SARACEN. karena targetnya cair, bisa siapa saja.

(15) Tinggal nanti, anti klimaks nya adlh akun anda mau tidak mau mnjadi partisan. Bagian dari gerakan politik (akun akun dari kader politik).

(16) Akun partisan oplosan vs akun pendukung pemerintah. Sementara akun seperti Ronin, Macan, MCA, JR ataupun lainnya harus pintar atur tensi opini.

(17) Kawan kami di kalibata sebut, bodohnya dari akun2 perjuangan itu adalah tidak menyadari di dalamnya ada akun intelejen yg sengaja bertugas.

(18) Ada akun intelejen yg bertugas mengumpulkan data tentang akun akun yang masuk komunitas.
Dari awalnya DM, ikutan aktif kopdar dan sebagainya.

(19) Akun akun yang tiba tiba ikut kopdar dan ikut kegiatan komunitas, maka sesungguhnya dirinya sdg melakukan pengumpulan data: Nama dan siapa.

(20) Group WA pun sudah masuk data dari penegak hukum, nama dan afiliasi pemikiran nya kemana dari masing masing anggota WA.

(21) SARACEN ini hanya pintu untuk memperangkap ibarat jala yang sengaja dilemparkan untuk menangkap dan membungkam.

(22) Belajar lagi untuk bisa atur tensi opini apa dan mana yang harus dibuat. Lihat dan mulai belajar cerdas agar tidak mudah terpancing.

(23) Jangan mudah terpancing opini yg sengaja dbuat oleh akun yg berafiliasi intelejen penegak hukum. "Bakar! Bunuh! Usir!" Bahasa yg biasa dipakai (biasa dipakai oleh akun penyusup -red).

(24) Ditambah pancingan dgn disertai meme yang merendahkan dan menghinakan dari foto presiden ataupun Kapolri. Perangkap jebakan Betmen.

(25) Bahasan kawan di kalibata beri saran: Kalau memang ingin myebarkan twit kritikan, cukup retweet kicauan kritikan tersebut. Jgn beri komentar.

(26) Ikut memberi komentar, ditambah komentar tersebut dgn kalimat menghina atau menyudutkan (multi tafsir). Bisa masuk perangkap.

(27) Mulai cerdas bermain kata didalam opini. Berkomentar dengan pintar tetapi langsung kena tujuannya. Hindari bahasa menghina (multi tafsir).

(28) Itulah informasi dan saran dari kawan di kalibata tentang efek SARACEN (SAndi RAhasia untuk Cipta pENgendalian).

Sumber: fb (By Suara Netizen) [ pii ]

Jumat, 18 Agustus 2017

Merdeka dan Tantangan Sejatinya

Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta, yang juga menjadi calon gubernur Jawa Barat, menyampaikan pandangan kontroversial dua hari lalu, yakni mengatakan seharusnya kita berterima kasih kepada Belanda. Dedi menyatakan positifnya Belanda yang membangun sistim irigasi yang kuat dan kokoh yang bisa
mengatur manajemen air untuk pertanian dengan baik. Dan meninggalkan asset itu serta perkebunannya buat kita.

Pandangan ini berbeda dengan pandangan Ir. Soekarno, alumni arsitektur ITB, ketika menyampaikan pandangannya di pengadilan "Landraad" atas dirinya, dengan tuduhan makar untuk menggulingkan pemerintahan yang Sah, di Bandung pada tahun 1930, dengan pledoi yang sangat monumental "Indonesia Menggugat".

Dalam Pledoi itu Bung Karno mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur yang dibuat Belanda, seperti sistem irigasi, bukanlah semata mata ditujukan buat petani kita, melainkan kepada kebun kebun Belanda secara utama dan sisa airnya baru diterima petani kita.

Tentu saja Dedi Mulyadi belum sampai kepada tingkatan pemikiran Bung Karno tersebut. Hal ini terjadi karena apa yang disebut "seeing is believing", seseorang mempercayai apa yang dilihatnya tanpa mendalami lebih jauh apa dibalik yang terlihat tersebut.

Dalam "seeing is believing", penglihatan fisik menjadi acuan utama. Sedang masalah esensi menjadi sekunder. Dalam kasus sistem irigasi ini, Dedi melihat hebatnya infrastruktur irigasi tersebut karena kokoh dan bertahan sampai saat ini.

Sedangkan Bung Karno, selain melihat infrastruktur pertanian, juga mengkritik pembanguna infrastruktur lainnya seperti jalan, pelabuhan dan kereta api yang dibangun Belanda lebih dimaksudkan untuk memudahkan pengambilan rempah rempah dan kekayaan alam lainnya secara lebih mudah untuk diangkut ke Belanda.
Kenapa Dedi Mulyadi gagal melihat apa yang dilihat Sukarno? Bukankah ada contoh irigasi di Indonesia yang menjadi "World Heritage" yang mengagumkan dunia? Yakni Subak di Bali.

Subak di Bali selain diakui Unesco, juga menjadi bahan riset berbagai perguruan tinggi dunia karena kecanggihan manusianya secara kolektif mengatur pembagian air. Meski Subak sebuah infrastruktur yang canggih dan indah, namun kerjasama dan tanggung jawab petani menjadi utama. Artinya irigasi ini dari petani untuk petani. Sebuah kemandirian rakyat.

Mental Inlanders

Pembicaraan soal usul terima kasih Dedi Mulyadi ke Belanda, penjajah 3,5 abad bangsa kita, menjadi penting untuk melihat bagaimana nasib bangsa ini ke depan. Kenapa?

Karena pikiran di atas merupakan cerminan pikiran arus utama (mainstream) pemimpin bangsa ini yang melihat pembangunan (infrastruktur) hanya dari fisiknya saja. Beberapa waktu lalu, Ahok di Jakarta, juga melakukan kerja keras melakukan pembangunan infrastruktur secara cepat. Tentu saja Jokowi di tingkat pusat saat ini melakukan pemokusan pada infrastruktur fisik. Lalu tidak ada yang bertanya seperti Bung Karno bertanya: untuk keuntungan siapa itu infrastruktur?

Pertanyaan untuk kepentingan dan keuntungan siapa pembangunan itu pada masa Bung Karno langsung terlihat vis a vis antara rakyat kita versus Belanda. Tapi, Belanda saat itu hanyalah berbeda warna kulit, di luar warna kulit, kesadaran orang saat itu Belanda adalah pemerintah yang sah. Untuk memperkuat substansi pertanyaan itu Bung Karno mempertegas dengan vis a vis rakyat Marhaen vs Kapitalis. Bung Karno memperjelas bahwa pembangunan yang dilakukan pemerintahan hanyalah semata mata menguntungkan kapitalis, kaum pemilik modal.

Setelah Indonesia Merdeka, Bung Karno telah memprediksi bangsa kita akan menghadapi persoalan yang lebih besar, yakni sulitnya menghadapi penjajahan yang dilakukan bangsa sendiri.

Bagaimana itu bisa terjadi?

Menurutnya, kapitalisme itu akan membonceng pemimpin2 bermental inlanders yang minderwarderheid (pemimpin yang selalu merasa rendah diri pada bangsa asing) untuk menanamkan uangnya dalam proyek proyek infrastruktur, tapi bukan pada kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan merampok sumberdaya alam kita secara mudah.

Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur hal itu? Bagaimana kita bisa menuduh pemimpin tertentu adalah "inlander yang minderwarderheid"?

Tentu kita harus melihat dalam dua hal: pertama, kita harus melihat ketimpangan yang terjadi dengan masuknya pembangunan Infrastruktur? Apakah ketimpangan sosial semakin besar atau semakin kecil?

Kedua, apakah pemimpin tersebut secara sadar menerima situasi tersebut? Atau sebenarnya tidak melihat korelasinya, karena memang infrastruktur itu dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat?

Hal ini memang sangat sulit membacanya, bukan tidak bisa.

Untuk itulah pentingnya memasukkan secara tegas pikiran pikiran Bung Karno dan Founding Fathers lainnya, bahwa ukuran (tantangan) pembangunan sejatinya bukan terletak pada seberapa banyak pelabuhan yang dibangun, seberapa banyak bandara yang dibangun, seberapa panjang jalan tol dan jalan lainnya yang dibangun, seberapa banyak rel kereta api yang dibangun, dll.

Namun, pertanyaannya, seberapa untung rakyat atas pembagunan itu?

Seberapa untung bangsa ini dibanding bangsa lain yang memberi hutang pada pembangunan tersebut?

Jika ukuran2 kesejahteraan rakyat dan kemakmuran ini diutamakan, disitulah kita bisa tahu mana pemimpin yang benar dan mana pemimpin yang dimaksud Bung Karno sebagai kolaburator.

Merdeka...!!!

Jakarta, 17 Agustus 2017
Dr. Syahganda Nainggolan - Sabang Merauke Circle

Rabu, 16 Agustus 2017

PENGADILAN, AROGANSI SOSIAL DAN HILANGNYA JATI DIRI BANGSA

Suatu ketika malaikat penjaga Gunung Uhud berkata kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, "Ya Rasul mulia kekasih Sang Maha Rahman, bagaimana jika orang2 yang menghina dan melempari engkau dengan batu, aq timpakan kepada mereka Gunung Uhud ini ?"

Dengan lembut Rasulullah SAW menjawab, "Tidak usah, mereka adalah orang-orang yang tidak tahu. Mudah2an esok, kuda atau suatu saat mereka akan mendapat hidayah setelah tahu".

Kejadian tersebut setelah Nabi SAW dan para sahabat ditolak hijrah ke Thaif, diteriaki orang gila dan dilempari dengan batu hingga manusia mulia ini berlumuran darah.

Saya berpikir, jika tawaran malaikat penjaga Gunung Uhud tersebut disampaikan ke kita, ketika ada orang yg menghina, memfitnah atau melukai kita, kira2 apa jawaban kita ya?

Menerima dengan senang hati, atau menolak dengan halus sebagaimana teladan Nabi kita, Muhammad SAW ?

72 tahun sudah Indonesia merdeka. Waktu yang cukup untuk menjadikan bangsa ini matang dan dewasa. Namun dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini terjadi fenomena yang membuat saya prihatin dan mengelus dada.

Permusuhan, saling menghina dan memfitnah, mudahnya orang membawa permasalahan ke jalur hukum, dan cepatnya orang tersulut emosi hingga kemarahan ditumpahkan dalam bentuk anarkisme, sampai tega dengan sadis membakar seseorang hidup2 tanpa tahu kesalahannya.

Jargon "Hukum Harus Menjadi Panglima" di negeri ini kedengarannya bagus, dan pengadilan hendaknya menjadi jalan terakhir untuk menyelesaikan persoalan. Namun yang terjadi, hukum dan pengadilan menjadi alat bagi orang kuat yang memiliki kekuasaan untuk memenuhi ambisinya.

Begitu mudahnya orang membawa masalah ke ranah hukum. Sedikit2 lapor, sedikit2 pengadilan. Jika untuk kasus korupsi, narkoba dan pidana berat yang termasuk extra ordinary crime, saya setuju harus dihukum dengan berat. Namun untuk masalah sepele semacam pencemaran nama baik, ketersinggungan, fitnah dan bullying, menurut saya lebih bijaksana jika diselesaikan secara kekeluargaan.

Musyawarah dan kekeluargaan adalah karakter adiluhung bangsa yang nyaris musnah. Begitu mudahnya orang marah dan tersinggung ketika keburukannya diungkap atau difitnah. Padahal jika mau mawas diri, bisa jadi keburukan yang tidak terungkap jauh lebih besar.

Bahkan, orang yang selama ini menyanjung dan mencintai kita, bisa jadi akan membenci dan meninggalkan kita, ketika mengetahui kebusukan kita yang sebenarnya. Bersyukurlah, ketika Allah SWT menutup aib kita dalam kegelapan malam dan kesunyian.

Membalas dan menempuh jalur hukum adalah hak setiap warga negara, tapi bersikap sabar dan memaafkan jauh lebih baik. Bukankah Nabi SAW menasihati, jika kita dijelek-jelekkan dan difitnah itu akan mengurangi dosa2 kita, dan akan mendapat aliran pahala dari orang yg memfitnah kita ?

Kekuasaan dan kekuatan memang membuat manusia menjadi sombong, congkak dan arogan. Mungkin merasa pintar, punya harta untuk membayar pengacara, dekat dengan penguasa dan aparat sehingga begitu percaya diri akan memenangkan persoalan. Inilah arogansi sosial, sebuah fenomena keangkuhan karena harta, pangkat, jabatan dan status sosial.

Di 72 tahun usia Ibu Pertiwi, susah sekali kita menemukan sikap-sikap legowo, tepo seliro, mawas diri, gotong royong, nggrudug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake dan perilaku-perilaku mulia yang diwariskan para pendiri bangsa.

Yang kita temukan justru sikap congkak, sombong, arogan, iri dengki, egoisme dan segala sifat bala Kurawa lainnya. Hilang sudah jati diri bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Negara Indonesia mungkin masih ada, namun Bangsa Indonesia dengan segala tradisi dan budaya adiluhung nya diambang punah.

Saudara2ku sebangsa dan setanah air, di hari Kemerdekaan 17 Agustus ini, marilah kita kembali sadar dan introspeksi diri, bahwa kita telah jauh menyimpang dari rel yang dibangun para pendiri bangsa.

Mari kembali ke jalan yang benar, jadilah pribadi, masyarakat dan bangsa yang beradab, dimana kemuliaan tidak diukur dari materi dan kekuasaan namun dari akhlak dan kebijaksanaan...

Refleksi 72 Tahun Indonesia Merdeka

Yogyakarta, 16 Agustus 2017
Arief Luqman El Hakiem (Arief Yuswandono)

Senin, 14 Agustus 2017

Busyro Muqoddas : Presiden Jokowi Adalah Diktator

Tokoh yang dengan gamblang menyatakan Jokowi diktator, ialah Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas. Tudingan itu presisi, karena Busyro orang hukum, bukan politisi, Ketua KY yang pertama, mantan Ketua KPK, dan namanya sudah besar ketika melawan rezim Soeharto di Orba. Antara lain, yang monumental, ia jadi pengacara korban waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah yang heboh itu.

Sukar memang membantah Busyro. Bagaimana Wiranto mau membantahnya, karena selama hayatnya berada di kekuasaan otoriter, sampai Gus Dur mengasuhnya. Mahfud MD juga, takkan mampu, karena Mahfud tak kunjung melawan diktator semasa Orba.

Jokowi sendiri menyatakan ia bukan diktator. Bantahan yang wajar dan harus. "Mosok tampang begini disebut diktator?" katanya. Ndeso.
Lho, teori Lambrosso sudah 100 tahun lebih tak dipakai orang.

Bahkan majelis hakim kasus Jessica tak menjadikan pertimbangan output teorema Lambrosso. Ilmu kriminologi Lambrosso yang masih dipakai hanya di Hollywood, penjahat mesti tampangnya menyeramkan. Castingnya didasarkan pada Lambrosso.

Jessica juga mau dihukum dari Lambrosso. Karena ia garuk-garuk yang, dalam bukti ahli kepolisian, jemari Jessica memanjang dua kali lipat, oleh Hasiholan dipanggil bukti mak lampir. Manipulasi bukti luar biasa.

Tampang Hitler secara Lambrosso tak mungkin jadi diktator. Culun, lucu, kumis ditempel yang lalu dibikin lelucon di film Charlie Chaplin. Tak ada mode kumis seperti itu sampai Hitler membikinnya.

Juan Peron, mana ada ia punya tampang diktator, tapi toh dinobatkan oleh Sosiolog se-dunia, fasis nonmiliter. Dengan cakapnya, Peron mengekploitasi isterinya Evita Peron, dan mengirim semua tentara radikal ke Malvinas, perang 100 hari, untuk bunuh diri. Orangnya juga culun. Dont cry Argentina, teriak Evita sesaat Peron diturunkan.

Robiespierre juga tak punya tampang diktator yang mampu mengirim 60 ribu orang ke hukuman mati. Bagaimana pendekar keadilan, pengacara yang membela orang kecil itu berubah menjadi diktator dengan juluk Reign of Terror (pemerintahan teror). Terakhir, Robiespierre digantung massa.

Sepanjang teorema Lambrosso, Jokowi tak terkecuali. Jika Lambrosso disingkirkan, diktator adalah tindakan, bukan style, gesture, maupun penampakan. Yang dimaksud Busyro, adalah tindakan penerbitan Perppu No 2/2017 yang tanpa proses hukum. Bukan untuk bela khilafatnya HTI.

Saya setuju tindakan itu diktator. Dalam referensi ilmiah, diktator lebih ditinjau dari urusan bagaimana peraturan perundang-undangan dibuat dan dilaksanakan sebagai kebajikan. Dalam istilah Robiespierre ialah virtue (kebajikan). Namun kebajikan tanpa teror, kata Robiespierre, adalah kekonyolan.

Perppu tanpa proses hukum adalah kebajikan tanpa teror. Agar tak konyol, negara kudu menteror warganya. Itu baru bajik. Terus?

Batas antara negara dengan individu masyarakat hanya satu: hukum, law, rechts. Hilangkan saja itu.
Pemerintahan tanpa batas antara negara dengan individu masyarakat, adalah diktatorial. Itu kebajikan ala Robiespierre, presiden pertama yang diproduksi Revolusi Bastille. Reign of teror.

Belajar Dari Earl Warren

Tahun 1980, Amerika Serikat melakukan amandemen UU APP (Aksi Pornografi dan Pornoaksi). Rakyat berdebat. Para konservatif menghendaki tindakan lebih keras. Negara diusulkan boleh masuk ke rumah untuk menangkap orang yang lakukan kegiatan APP yang mengancam moral publik.

Para moderat, kaum pro choice menanyakan, sejauh mana negara boleh masuk ke rumah? Perdebatan berlangsung sengit antara kubu pro choice versus pro life.

Kita boleh belajar dari pidato Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren yang menghentikan perdebatan itu. Dan, inilah pidato monumental mantan Jaksa Agung yang paling populer sepanjang sejarah Amerika Serikat.

"Kita tidak boleh mengundang negara ke dalam rumah. Kita harus melindungi keluarga kita dari negara. Kita tak bisa dan tak boleh menangkap orang yang membaca novel porno di rumahnya sendirian".

Hukum adalah batas antara negara dengan keluarga. Begitu hukum dihilangkan, dinding pembatas itu rubuh diganti dinding lain. Dinding pengganti itu disebut tirai besi di USSR, dan tirai bambu di RRC.

Penulis adalah mantan Anggota Komisi Hukum DPR

Selasa, 01 Agustus 2017

PEMIMPIN TANPA RASA BERSALAH

Di tengah Bapak kami bercerita tentang “Kenapa Bukan Sunan Kalijaga saja yang jadi Sultan”, “Kenapa pendiri Jombang tidak duduk memimpin Jombang”, “Amanah Cincin dari Mbah Kholil Bangkalan”, “Aliran Pencak Silat Ki Tebuireng” — Kakak lagi-lagi mengejar soal rasa bersalah sebagai modal utama pada jiwa seorang pemimpin.

Karena di tengah kisah-kisah itu Bapak nyeletuk: Rakyat yang paling sial di suatu desa, atau yang paling celaka di suatu Negara, adalah kalau pemimpinnya tidak punya rasa bersalah.

“Apa ada pemimpin yang seperti itu”, Kakak nyeletuk.

“Kenapa tidak”, jawab Bapak, “Banyak faktor yang bisa menjadi sebab seorang pemimpin tak punya rasa bersalah”

“Contohnya, Pak”

“Banyak sekali. Umpamanya: orang menjadi pemimpin karena ambisi pribadi. Menjadi pemimpin karena karier. Menjadi pemimpin karena direkayasa oleh sindikat penjudi dan penjahat. Menjadi pemimpin untuk menumpuk kekayaan….”

“Kok mengerikan begitu”, kata Kakak.

“Ada juga karena ia memang tidak paham bahwa menjadi pemimpin adalah menjadi buruhnya rakyat. Sehingga ia tidak sungguh-sungguh dan tidak lengkap menguasai peta permasalahan yang ditanganinya, sehingga ia tidak punya ukuran untuk menilai apakah ia sedang melakukan kebenaran atau kesalahan”

“Tapi benar atau salah kan tergantung pijakan pandangnya”, Kakak membantah, “Seorang Kepala Negara bisa merasa benar menurut kepentingan kekuasaannya, tapi bisa salah kalau dilihat dari kedaulatan rakyat atas kesejahteraannya”

Bapak menjelaskan: “Justru yang saya maksud adalah pemimpin yang tidak mampu mengurai beda antara kepentingannya untuk melestarikan kekuasaannya, dengan hak-hak rakyat untuk mendapatkan keadilan”

“Apa mungkin suatu bangsa atau rakyat memilih pemimpin yang tidak memiliki tata logika untuk memilah dua konteks itu, bahkan tidak menguasai peta permasalahan?”

“Kenapa tidak”

“Apa sedemikian terbelakangnya rakyat Negara itu sehingga memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin?”

“Kalau rakyatnya memiliki hak pilih yang otentik, seharusnya hal itu tidak terjadi”, jawab Bapak, “tetapi kalau dalam demokrasi yang berlangsung rakyat tidak punya peluang untuk benar-benar memilih pemimpin dengan nurani dan perhitungan akal sehatnya, bisa saja yang terpilih adalah Presiden yang lebih parah dibanding yang kau tanyakan itu”

“Kok bisa rakyat tidak punya peluang untuk memilih pemimpinnya?”

“Karena rakyat hanya dipilihkan oleh partai-partai politik. Ibarat pasar, ada beribu, bahkan berjuta makanan, tetapi partai politik hanya mengambil satu atau dua atau tiga makanan saja. Dan rakyat hanya punya peluang untuk memilih satu di antara dua atau tiga itu”

“Apa partai politiknya sedemikian bodohnya sehingga memilihkan satu dua makanan busuk untuk dipilih oleh rakyatnya?”

“Tidak harus bodoh. Mungkin justru sangat pandai. Hanya saja kriteria yang mereka pakai bukan kualitas kepemimpinan. Calon pemimpin dipilih berdasarkan tawar-menawar harga, berdasarkan lalulintas keuangan. Mereka saling menghitung calon-calon mana saja yang paling bisa dipakai untuk mengeruk keuntungan. Bisa saja yang dipilih adalah boneka, patung atau berhala. Yang penting menguntungkan”

“Kenapa rakyat mau memilih boneka, patung atau berhala untuk menjadi pemimpinnya?”

“Karena partai politik memperkenalkan calonnya dengan mendustakan kenyataannya. Calon pemimpin ditampilkan dengan pencitraan, pembohongan, dimake-up sedemikian rupa, dibesar-besarkan, dibaik-baikkan, diindah-indahkan, dihebat-hebatkan”

“Itu bukan politik namanya, Pak, itu kriminal”

“Memang bukan politik, melainkan perdagangan. Bukan demokrasi, melainkan perjudian. Memang bukan kepemimpinan, tapi talbis. Kalau dipaksakan untuk disebut demokrasi, ya itu namanya Demokrasi Talbis”

“Talbis itu apa to Pak?”

“Talbis adalah Iblis menemui Adam di sorga dengan kostum dan make up Malaikat, sehingga Adam menyangka ia adalah Malaikat. Maka Adam tertipu. Rakyat adalah korban talbis di berbagai lapisan. Mereka dibohongi sehingga menyangka bahwa yang dipilihnya adalah pemimpin, padahal boneka. Boneka yang diberhalakan melalui pencitraan”

“Apakah pemimpin yang demikian bisa berkuasa?”

“Yang benar-benar berkuasa adalah botoh-botoh yang membiayainya. Setiap langkahnya dikendalikan oleh para botoh. Setiap keputusannya sudah dipaket oleh penguasa modal. Ia tidak bisa mandiri, karena dikepung oleh kelompok-kelompok yang juga saling berebut demi melaksanakan kepentingan masing-masing”

“Apa ia tidak merasa malu menjadi boneka?”

“Itu satu rangkaian: tidak merasa bersalah, tidak malu, tidak tahu diri, tak mengerti bahwa ia sedang menyakiti dan menyusahkan rakyatnya, tidak memahami posisinya di hati masyarakat, tidak punya cermin untuk melihat wajahnya”

“Sampai separah itu, Pak?”

“Tidak punya konsep tentang martabat manusia, harga diri Bangsa dan marwah Negara. Hanya mengerti perdagangan linier dan sepenggal, tidak paham perniagaan panjang yang ada lipatan dan rangkaian putarannya. Tidak memahami tanah dan akar kedaulatan, pertumbuhan pohon kemandirian, dengan time-line matangnya bunga dan bebuahannya. Pemimpin yang demikian membawa bangsanya berlaku sebagai pengemis yang melamar ke Rentenir…”

“Pemimpin yang seperti itu akhirnya pasti jatuh dan hancur”, kata Kakak.

“Belum tentu”, kata Bapak, “Jangan lupa bahwa kalau para botoh mampu mengangkat berhala ke kursi singgasana, berarti mereka juga menguasai seluruh perangkat dan modalnya untuk bikin apa saja semau mereka di Negara itu.

Juga selalu sangat banyak orang dan kelompok yang mencari keuntungan darinya, bahkan menggantungkan hidupnya. Sehingga mereka membela boneka itu mati-matian.

Mereka selalu mengumumkan betapa baik dan hebatnya pemimpin yang mereka mendapatkan keuntungan darinya, sampai-sampai akhirnya mereka yakin sendiri bahwa ia benar-benar baik dan hebat. Uang, kekuasaan dan media, sanggup mengumumkan sorga sebagai neraka, dan meyakinkan neraka adalah sorga”

Yogya, 1 Agustus 2017
Emha Ainun Nadjib