Cari Blog Ini

Sabtu, 31 Maret 2018

Jokowi, I don't Trust Him Anymore

Ada sebuah tulisan yang sangat menarik, ditulis oleh seorang alumni UGM. Dalam beberapa hari ini, tulisan tersebut viral di media sosial. Sayangnya, tak ada media mainstream yang memuatnya.
______________
Hanya ada beberapa media online kelas menengah yang mau menayangkan. Tentu bukan bertujuan untuk hal-hal negatif, tapi mengingatkan kepada seluruh masyarakat Indonesia, bahwa janji itu wajib hukumnya ditepati.

Jika tidak, maka hutang namanya. Lagi-lagi, hutang pun wajib dibayar. Jika tidak, urusannya dengan pengadilan Tuhan.

Apalagi, tulisan alumni Hamburg Jerman ini, berhubungan dengan janji-janji kampanye calon presiden, yang sekarang sudah 3 tahun jadi presiden. Dan, sebentar lagi akan kembali bertarung di ajang Pilpres.

Dalam tulisannya itu, Ferizal Ramli menggaris-bawahi, tidak ada satu pun janji yang dilontarkan calon presiden 2014 asal Solo itu diwujudkan. Semuanya berlalu bak angin yang membawa bau amis.

Sehingga, sangatlah pantas jika Ferizal beberapa kali menulis kalimat “I don’t trust him anymore!” (Aku tak percaya lagi padanya).

Tulisan tersebut awalnya tayang di grup FB. Kemudian beredar viral dishare oleh netizen di media sosial.

Berikut tulisannya:

Satu yang hilang dari Jokowi pada aku pribadi.

”I don’t trust him anymore!”

Aku kecewa secara nyata bahwa Jokowi bukan orang yang serius mewujudkan apa yang dikatakan. 3 hal ini aku bersaksi bahwa Jokowi tidak pernah mewujudkan janjinya. 2 diantaranya malah aku serius membantu.

1. Saat bicara Esmeka sebagai Mobnas. Aku sebagai Tim Ahli IASI (Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia Jerman) sampai meminta audiensi Jokowi yang saat itu Walikota Solo.

Kukoordinasikan para Tim Pakar Otomotif Jerman bahkan pihak VW sudah siap bantu, lalu melalui sahabatku Anggota DPRD Solo sampaikan dukungan riil kita.
GRATIS tanpa dibayar!

Jokowi karena dia sibuk setelah itu kampanye di DKI untuk jadi Gubernur maka lupa.

Enough is enough, I don’`t trust him anymore.

2. Saat mau memajukan Sekolah Vokasi.

Ini pengorbananku buat Program Jokowi tak terhingga. Waktu cutiku 1 bulan kubuang demi mewujudkan Program Sekolah Vokasi. Plus selama lebih 1 tahun aku fokus bantu ini secara GRATIS!

Kudesain bersama temen2 IASI dari NOL karena jujur tidak banyak orang Indonesia tahu apa itu Program Vokasi acuan dunia seperti Dual-System Jerman. Sebagai Ketua Umum IASI saat itu semua Sumber Daya serta Network yang kumiliki difokuskan untuk mewujudkan program yang visioner ini.

Ku-arrange konsepnya, kubantu Kemendikmbud! Dapat komitmen dari pemerintah Jerman akan bantu kirimkan 650 ahli Jerman secara “GRATIS” mendidikan para ahli vokasi Indonesia.

Menteri berganti, aku tetap konsisten bantu. Tapi kelak aku tahu rupanya Jokowi cuma basa-basi disini. Tidak ada komitmen serius mewujudkannya. Kita yang trust padanya berkorban jiwa raga, jebule dia cuma mau main pencitraan belaka.

Enough is enough, I don’`t trust him anymore.

3. Saat di KBRI Berlin beberapa tahun yang lalu. Jokowi dengan gagah berani bilang Gedung KBRI Berlin seperti rumah toko dan dalam waktu 3 bulan akan dibuat gedung baru. Malu punya gedung KBRI jelek.
Kita sambut dengan tepuk tangan gegap gempita luar biasa. Tapi ternyata seperti bisa lidah tak bertulang. Ternyata hampir 3 tahun berlalu itu gedung KBRI tidak terwujud juga.

Enough is enough, I don’`t trust him anymore.

Aku memutuskan mengkritisi Jokowi sebagai tanggung jawab moralku pribadi bahwa aku kecewa dengan cara dia yang belum bertanggung-jawab dengan janji-janjinya.

Ferizal Ramli

alumni UGM dan Hamburg, Jerman.
https://ferizalramli.wordpress.com

Senin, 19 Maret 2018

Balada Negeri Mukidi

Ini tentang seorang pemimpin negara. Di luar negeri. Lelaki yang dengan cepat menduduki satu jabatan ke jabatan yang lebih tinggi. Mulai dari walikota, lalu gubernur, kemudian presiden.

Hanya saja lelaki ini nampak tak paham dengan persoalan negara yang super kompleks. Bahkan untuk mengucapkan sebuah sambutan saja ia butuh pegang teks.

Di sebuah forum internasional di Amerika Serikat, pemimpin negara ini berpidato menggunakan bahasa Inggris dengan aksen tempat ia lahir. Kaku sekali. Tak masalah. Bukankah, tiap negara bahkan tiap daerah punya aksen bahasa sendiri?

Namun, bukan itu intinya. Saat sesi tanya jawab akan berlangsung --yang tentu para penanya akan menggunakan bahasa Inggris-- moderator menawarkan penerjemah untuknya. Pemimpin ini menolak. Merasa bisa berbahasa Inggris.

Oke, tanya jawab berlangsung.

Pertanyaan pertama, wartawan asing mengajukan satu soal. Presiden Luar Negeri ini angguk-angguk, seperti paham apa yang ditanyakan. Setelah soal selesai diajukan, apa yang dilakukan presiden ini benar-benar di luar dugaan. Karena bukannya menjawab sendiri, dia malah bilang,

"I want test my minister to answer your question."

Para hadirin di forum itu tertawa. Lalu terjadilah komedi internasional.

Tak lama kemudian berdirilah seorang lelaki berjas, dia-lah menteri yang dimaksud. Lantas menjawab apa yang ditanyakan wartawan tersebut.

Selesai. Presiden Luar Negeri ini tersenyum.

Wartawan lain mengajukan pertanyaan kedua untuk Sang Presiden. Sama, menggunakan bahasa Inggris. Seusai pertanyaan dilontarkan, ternyata presiden ini melakukan hal yang sama. Menyuruh menterinya yang jawab, lagi-lagi dengan kata,

"Saya ingin tes lagi, menteri saya bisa jawab atau tidak." Ia menunjuk menteri lain. Kali ini perempuan. Nampaknya dia adalah menteri luar negeri.

Berbeda dengan yang pertama, kini tak ada tawa dari peserta forum. Para wartawan asing itu terlalu pintar untuk mengerti bahwa ini bukan sekadar komedi. Namun kebodohan. Pemimpin satu ini tak punya gagasan atas problematika negerinya sendiri. Pemimpin ini menunjukkan kebodohannya di khayalak asing. Kebodohan internasional.

Hari itu, dia tak menjawab satu pun pertanyaan dari wartawan.

Ah, jangankan menjawab pertanyaan berbahasa Inggris. Bahkan untuk mengomentari sebuah film saja sudah membuat kaget seluruh anak negeri, karena... Karena meski sudut pandang kameranya pas, tapi komentar ngaco. Akhirnya mau tak mau jadi booming.

Baiklah, itu film. Anggap saja mereview sebuah film itu tidak penting. Tak ada hubungannya dengan persoalan negara. Mari kita lihat komentar beliau tentang perekonomian. Tentang sepatu.

Dan ternyata sama saja. Presiden luar negeri ini hanya lebih banyak mengucapkan kata "apa", hingga seantero negeri jadi mengenangnya sebagai Hari Bingung Sedunia.

Ada yang membela, "Tak penting bisa bicara lancar atau tidak. Yang penting itu kerjanya nyata."

Baiklah, kita lihat kerjanya. Meski kualitas perkataan berbanding lurus dengan kualitas ilmu dan bacaan seseorang. Makin banyak tahu, artinya ia makin banyak membaca. Apalagi dia adalah presiden, yang dituntut terus menambah ilmu lewat bacaan berkualitas. Karena permasalahan rakyat bukan hal biasa.

Oke, kita lihat kerjanya. Apa yang dijanjikan olehnya waktu presiden luar negeri ini kampanye, bahwa akan mempersulit tenaga kerja asing masuk dan menomorsatukan tenaga kerja dalam negeri, sudah terwujud?

Atau akan menekan impor dan mendongkrak ekspor sudah terwujud?

Atau perekonomian negeri sudah meroket?

Belum lagi ketidakmampuannya menjadi penengah konflik horizontal rakyat terutama terkait isu SARA. Mengucap kata Laa Hawla wala quwwata illa billah, malah jadi, La kola waka talah bi illah. Walau begitu dia masih percaya diri mengimami sholat, bahkan mempostingnya di medsos.

Negeri sebesar itu, dipimpin oleh orang yang tak punya gagasan sendiri dalam menahkodai sebuah negara. Ia seperti orang linglung bila bicara tanpa teks. Ia hanya menyampaikan gagasan 'sang penulis teks' dan kepentingan orang-orang di belakangnya.

Ratusan ribu, bahkan ada jutaan anak bangsa di negara itu yang jauh lebih baik, lebih kompeten, lebih teruji, lebih berilmu, lebih berprestasi, yang insyaAllah bisa membawa negara itu jauh lebih baik. Tapi kenapa dapatnya cuma pemimpin yang suka menunjukkan kebodohannya di muka umum.

Meski begitu, kabarnya presiden luar negeri ini pede menyalonkan diri lagi. Anehnya, masih banyak yang mendukungnya walau kemampuan dia tak layak untuk memimpin negeri se-luar biasa itu.

Ah, untung aku tidak berada di negara itu. Itu kan kejadian di luar negeri. Alhamdulillah.

***

Bangkalan, 18 Maret 2018
Fitrah Ilhami

Sumber: radarpribumi.com

Kamis, 08 Maret 2018

HOAXER vs DEBUNKER

HOAX (baca: hoks) adalah sebuah tipuan dan kebohongan yang menyamar sebagai kebenaran, istilah ini populer di internet dan media sosial karena peredaran hoax memang lebih mudah berkembang di internet dan media sosial.

Pembuat dan penyebar hoax disebut HOAXER.

DEBUNK (baca: dibank) adalah mengungkap hoax atau mengekspos kepalsuan atau kekejaman (sebuah mitos, gagasan, atau kepercayaan).

Orangnya disebut DEBUNKER.

Netizen Indonesia pada umumnya hanya sebatas mengenal hoax sebagai 'berita palsu/tipuan'. Banyak orang yg mencoba debunked dan mengklaim mampu menganalisis hoax. Banyak orang yang 'bisa', tapi hanya sekedar bisa. Mayoritas manusia bisa bernyanyi, tapi apakah mereka yang bisa bernyanyi layak disebut penyanyi?

Begitupun dengan orang-orang yang bisa membongkar hoax apakah layak disebut debunker ?

Jika mendefinisikan hoax hanya sebatas berita palsu, alangkah baiknya Anda mempelajari kembali definisi hoax secara luas.

Jika merunut pada perjalanan sejarah, definisi hoax tidak sempit hanya berkutat pada masalah " berita palsu". Hoax mencakup suatu perbuatan yang bertujuan untuk menipu/membohongi orang lain dengan cara memanipulasi, mengakali, ataupun menutupi fakta yang sebenarnya.

Menjadi seorang debunker butuh proses panjang untuk mengasah kemampuan, tidak hanya terfokus pada ruang sempit (selalu mengandalkan informasi dari internet dan pada kasus yang mudah).

Saat ini banyak hoaxer (pelaku, pembuat & penyebar hoax) dalam dunia politik dan kehidupan sosial. Namun juga sdh ada komunitas pegiat media yang intens membongkar, mengungkap dan melawan para hoaxer dengan cara cerdas dan ilmiah, merekalah para debunker.

Hoaxer tidak hanya sebatas berita bohong, namun perilaku para politisi yang memanipulasi data dan informasi untuk kepentingan kekuasaan juga bisa disebut hoax.

Politisi yang tiba-tiba merakyat dan mendadak alim, sok dekat dengan rakyat dan ulama padahal mereka tidak lebih dari musang berbulu domba juga terkategori hoax.

Kasus dan berita yang direkayasa untuk menutupi fakta sebenarnya atau untuk menutupi kasus yang lebih besar juga terkategori hoax.

Maka, proyek pencitraan yang dilakukan oleh penguasa atau siapapun dengan tujuan untuk mengelabuhi dan mengalihkan perhatian rakyat pada kondisi yang sebenarnya adalah hoax yang paling kejam.

Para debunker harus obyektif dan adil dalam membongkar aksi para hoaxer, baik yg dilakukan oleh penguasa maupun kelompok masyarakat atau perorangan demi terjaganya masyarakat dari tipu muslihat dan kekacauan.

Mari, lawan Hoax dan ungkap dengan cara cerdas dan ilmiah...!!!

Rajin membaca, lakukan konfirmasi, lakukan klarifikasi, tahan dan kendalikan nafsu untuk membagi sebelum yakin dan pasti.

#gerakanantihoax
#gerax
#turnbackhoax
#sehatberinternet
#cerdasbermediasosial.

Yogyakarta, 2 Maret 2018
Arief Luqman El Hakiem
(Pegiat Media dan Inisiator GERAX - Gerakan Anti Hoax)

Rabu, 07 Maret 2018

Ideologi Komunis dan Sejarah PKI (Partai Komunis Indonesia)


Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai politik di Indonesia yang berideologi komunis. Dalam sejarahnya, PKI pernah berusaha melakukan pemberontakan melawan pemerintah kolonial Belanda pada 1926, mendalangi pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1948 dan dicap oleh rezim Orde Baru ikut mendalangi insiden G30S pada tahun 1965. Namun tuduhan dalang PKI dalam pemberontakan tahun 1965 tidak pernah terbukti secara tuntas, dan masih dipertanyakan seberapa jauh kebenaran tuduhan bahwa pemberontakan itu didalangi PKI. Sumber luar memberikan fakta lain bahwa PKI tahun 1965 tidak terlibat, melainkan didalangi oleh Soeharto (dan CIA). Hal ini masih diperdebatkan oleh golongan liberal, mantan anggota PKI dan beberapa orang yang lolos dari pembantaian anti PKI. Setidaknya lebih dari lima teori berusaha mengungkap kejadian tersebut. Namun teori-teori yang terkadang saling berlawanan menjadikanya diskusi besar sampai hari ini.

Sebelum Revolusi Indonesia

Gerakan Awal PKI

Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda[1]

Pada Oktober 1915 ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, “Het Vrije Woord” (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.

Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia. Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.

Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, “Soeara Merdeka”.

Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah “Pengawal Merah” dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi hukuman penjara hingga 40 tahun.

ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain, Soeara Ra’jat. Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia. Pada 1919, ISDV hanya mempunyai 25 orang Belanda di antara anggotanya, dari jumlah keseluruhan kurang dari 400 orang anggota.

Pembentukan Partai Komunis

Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.

PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.

Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadiPartai Komunis Indonesia(PKI).

Pemberontakan 1926

Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308 orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua[2]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.

Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.

Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI[3].

Peristiwa Madiun 1948

Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville. Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.

Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.

Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.

Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskow, Uni Soviet. Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI. Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur.T ujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi. Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Bangkit kembali

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya, termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959[4]

Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.

Pemilu 1955

Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat keempat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.

Perlawanan terhadap kontrol Belanda atas Papua bagian barat merupakan masalah yang seringkali diangkat oleh PKI selama tahun 1950-an.

Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di kota-kota. Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang[5].

Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.

Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pro Amerika Serikat di kalangan militer dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan pemberontakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.

Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian, kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri menyampaikan sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.

Meskipun PKI mendukung Soekarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada Maret 1960, PKI mengecam penanganan anggaran yang tidak demokratis oleh Soekarno. Pada 8 Juli 1960, Harian Rakjat memuat sebuah artikel yang kritis terhadap pemerintah. Para pemimpin PKI ditangkap oleh militer, namun kemudian dibebaskan kembali atas perintah Soekarno.

Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya.

Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.

Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap begitu tiba. Kebanyakan dari satuan-satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan di Kalimantan.

Pada Januari 1964, PKI mulai menyita hak milik perusahaan-perusahaan Inggris di Indonesia.

Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan “tentaranya”.

Pada era akhir kekuasaan Soekarno, munculah suatu insiden pembunuhan jenderal-jenderal TNI yang disebut insiden G30S. Dalam era ketidak jelasan dan kekacauan ini membuat PKI dan Soekarno dalam masalah besar yaitu menghadapi krisis nasional. Dengan alasan ‘keterlibatan PKI dalam G30S’, partai ini dilarang oleh Pangkopkamtib Soeharto pada tanggal 12 Maret 1966, setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno. Yang kemudian diklaim oleh Soeharto sebagai tonggak utama kekuatan politiknya.

Gerakan 30 September sendiri sangat membingungkan, karena Soekarno sendiri dalam pidatonya mengatakan bahwa Gestok (Sebutan Soekarno untuk G 30 S) terjadi diantaranya karenakeblingeranpemimpin-pemimpin PKI.

Setelah itu bermula sebuah sejarah hitam bangsa Indonesia di mana ribuan orang tak bersalah — terutama di pulau Jawa dan Bali — dibantai secara sia-sia karena dituduh ikut komunis.

Hal ini disebabkan karena rakyat Indonesia sudah merasa sangat menderita ketika PKI dianakemaskan, banyak sekali kasus-kasus pembunuhan rakyat Indonesia non PKI dilakukan oleh orang PKI tanpa ada kejelasan hukum.
Sumber : kompasiana

KETIKA PKI MENEKAN ULAMA MEMINJAM TANGAN NEGARA



Saya lahir ketika Orde Baru sedang mulai berkuasa,
yang saya tahu, saat itu PKI, anggota, keluarga dan pengikutnya,
sedang dikejar-kejar dari lubang semut sampai lubang buaya.
Tetangga saya di-pulau-Buru-kan sepuluh tahun lamanya.
Padahal di tahun 1960an, dia hanya orang-orang sederhana,
yang karena takut pada PKI lalu ikut menjadi penggembira acaranya.

Memang ada jutaan orang yang di masa Orde Baru terdholimi,
baik yang masa lalunya dengan PKI membuat mereka dipersekusi.
Atau juga orang-orang kritis lain yang dengan asal dituduh subversi.
Sejatinya, kejahatan Orde Baru tidak berarti memutihkan dosa-dosa PKI.

Karena, jauh sebelum Orde Baru mengejar-ngejar PKI,
justru PKI sudah biasa menekan dan membantai ulama di sana dan di sini,
baik secara langsung, atau meminjam tangan negara dengan keji !!!

Zaman itu PKI juga sudah menyalahgunakan dasar negara.
Para ulama yang anti komunis, dituduh Anti Pantjasila.
Partai seberang, dibubarkan meminjam tangan penguasa.
Para pemimpinnya dipenjarakan, tanpa pengadlan tentu saja,
dan para pengikutnya dimusuhi dan dikejar sampai desa-desa.

Oleh : Dr. Ing. Fahmi Ahmar (Peneliti LIPI)

Dan berikut ini adalah kesaksian tokoh ulama anti komunis di zaman itu, yang dipenjarakan sekian lama, PROF. BUYA HAMKA:

----------------------------------------------------------------------------------

Mari kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa menegakkan kebenaran itu selalu penuh tantangan. Belum tentu yang tampak diikuti secara gegap gempita dengan segala kebesarannya adalah hal yang benar. Ulama sejati tidak boleh mundur menyuarakan kebenaran sekalipun kesesatan tampak bagai gelombang besar di hadapannya.

Pada tanggal 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno telah mencela dengan sangat keras Muktamar (Konferensi) para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah “komunis phobia” dan suatu perbuatan yang amoral.

Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).

Malanglah nasib alim-ulama yang berkonferensi di Palembang itu, karena dianggap sebagai orang-orang yang kontra revolusi, bagai telah tercoreng arang. “Nasibnya telah tercoreng di dahinya”, demikian peringatan Presiden. Banyak orang yang tidak tahu apa gerangan yang dihasilkan oleh alim-ulama yang berkonferensi itu, karena disebabkan kurangnya publikasi (atau tidak ada yang berani) yang mendukung konferensi alim-ulama itu, publikasi-publikasi pembela Soekarno dan surat-surat kabar komunis telah mencacimaki alim-ulama kita.

Perlulah kiranya resolusi Muktamar Alim-Ulama ini kita siarkan kembali agar menyegarkan ingatan umat Islam dan membandingkannya dengan Keputusan Sidang MPRS ke IV yang berlangsung bulan Juli 1966 lalu.

Muktamar yang berlangsung pada tanggal 8 – 11 September 1957 di Palembang telah memutuskan bahwa :
1. Ideologi-ajaran komunisme adalah kufur hukumnya dan haram bagi umat Islam menganutnya
2. Bagi orang yang menganut ideologi-ajaran komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, kafirlah dia dan tidak sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka mempusakai dan haram jenazahnya diselenggarakan (tata-cara pengurusan) secara Islam.
3. Bagi orang yang memasuki organisasi atau partai-partai berideologi komunisme, PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakyat dan lain-lain tiada dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut.

Demikian bunyi resolusi yang diputuskan oleh Muktamar Alim-Ulama Seluruh Indonesia di Palembang itu. Resolusi yang ditandatangani oleh Ketua K.H. M. Isa Anshary dan Sekretaris Ghazali Hassan. Karena resolusi yang demikian

itulah para ulama kita yang bermuktamar itu dikatakan oleh Presidennya sebagai amoral (tidak bermoral/kurangajar).

Akibat dari keputusan Muktamar tersebut, alim-ulama kita yang sejati langsung dituduh sebagai orang-orang tidak bermoral, komunis phobia, musuh revolusi dan sebagainya. Maka K.H. M. Isa Anshary sebagai ketua yang menandatangani resolusi itu pada tahun 1962 dipenjarakan tanpa proses pengadilan selama kurang lebih 4 tahun. Dan banyak lagi alim-ulama yang terpaksa menderita dibalik jeruji besi karena dianggap kontra revolusi. 

Terbengkalai nasib keluarga, habis segala harta-benda bahkan banyak di antara mereka memiliki anak yang masih kecil-kecil. Semua itu tidak menjadi pikiran Soekarno. Di samping itu, ada “ulama” lain yang karena berbagai sebab memilih tunduk tanpa reserve pada Soekarno dengan ajaran-ajaran yang penuh maksiat itu, bermesra-mesra dengan komunis di bawah panji Nasakom.

Bertahun lamanya masa kemesraan dengan komunis itu berlangsung di negara kita, dalam indoktrinasi, pidato-pidato Nasakom dipuji-puji sebagai ajaran paling tinggi di dunia. Dan ulama yang dipandang kontra revolusi yag telah memutuskan komunis sebagai paham kafir yang harus diperangi, dihina dan setiap pidato dan dalam setiap tulisan. Meskipun sang ulama sudah meringkuk dalam tahanan, namun namanya tetap terus dicela sebagai orang paling jahat karena anti Soekarno dan anti komunis.

Nasehat dan fatwa ulama yang didasarkan kepada ajaran-ajaran Al Qur’an, dikalahkan dengan ajaran-ajaran Soekarno melalui kekerasan ala komunis.

Rupanya Allah hendak memberi dulu cobaan bagi rakyat Indonesia. Kejahatan komunis akhirnya terbukti dengan Gestapu-nya. Allah mencoba dulu rakyat Indonesia sebelum Dia membuktikan kebenaran apa yang dikatakan oleh alim-ulama itu hampir sepuluh tahun lalu.

Sidang MPRS ke IV pun telah mengambil keputusan mengenai komunis dan ajaran-ajarannya sebagai berikut :
“Setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut adalah DILARANG”.

Dengan keputusan MPRS tersebut, apa yang mau dikata tentang alim-ulama kita yang dulu dikatakan amoral oleh Soekarno? Insya Allah para alim-ulama kita dapat melupakan semua penghinaan dan penderitaan yang dilemparkan kepada mereka. Dan sebagai ulama mereka tidak akan pernah bimbang walau perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan itu pasti akan beroleh ujian yang berat dari Tuhan.

Watak ulama adalah sabar dalam penderitaan dan bersyukur dalam kemenangan.

Ulama yang berani itu telah menyadarkan dirinya sendiri bahwa mereka itu adalah ahli waris para nabi.

Nabi-nabi banyak yang dibuang dari negeri kelahirannya atau seperti yang dialami Nabi Ibrahim a.s. yang dipanggan dalam api unggun yang besar bernyala-nyala, seperti Nabi Zakariya a.s. yang gugur karena digergaji dan lain-lain nabi utusan Allah.

Hargailah putusan Muktamar Alim-Ulama di Palembang itu, karena akhirnya kita semua telah membenarkannya. Bersyukurlah kita kepada Tuhan bahwa pelajaran ini dapat kita petik bukan dari menggali perbendaharaan ulama-ulama lama tapi hanya dalam sejarah 10 tahun yang lalu.

(Disarikan dari Kumpulan Rubrik Dari Hati ke Hati, Majalah Panji Mas dari 1967 – 1981, terbitan Pustaka Panji Mas hal 319)


Sabtu, 03 Maret 2018

Raja Kejam dengan Pasukan Anjing Buas-nya

Alkisah ada seorang raja yang sangat kejam yang memimpin kerajaannya dengan sangat brutal. Di memiliki kesatuan algojo yang sangat sadis terdiri dari segerombolan anjing buas yang siap mencabik-cabik siapapun yang memusuhi sang raja.

Penampilan raja ini sangat kontras dengan sifat aslinya, dia kelihatan sangat merakyat, culun, lucu dan wajahnya seperti orang ediot. Tapi siapa menduga, dibalik itu dia adalah pribadi yang sangat otoriter, kejam dan sadis.

Suatu hari ada seorang rakyat yang ditangkap karena ketahuan menghina sang raja. Hukumannya jelas, dia akan dimasukkan ke dalam kandang anjing algojo biar digigit dan dicabik-cabik hingga mati dengan tersiksa.

Sebelum dieksekusi, si rakyat ini memohon satu permintaan kepada sang raja, "Paduka raja, kenapa engkau begitu kejam dan tidak berperikemanusiaan. Selama 40 tahun hidup saya mengabdi kepada engkau tanpa kesalahan. Hanya karena saya mengkritik kebijakan Anda, engkau hukum saya seperti ini, dan lupakan 40 tahun pengabdian saya".

"Baiklah, saya tidak akan gentar. Saya hanya mohon beri waktu 40 hari, setelah itu engkau boleh hukum mati saya" lanjut si rakyat dengan mantap.

Permintaan si rakyat dikabulkan. Dia diberi waktu 40 hari sebelum menjadi santapan anjing algojo kerajaan.

Apa yang dilakukan di rakyat selama 40 hari itu ?

Tanpa sepengetahuan sang raja, ternyata si rakyat ini mendatangi kandang anjing algojo dan meminta kepada para pengasuhnya untuk ikut merawat anjing-anjing algojo tersebut.

Permintaan dikabulkan, akhirnya si rakyat ini tinggal dan hidup bersama anjing2 buas sang raja. Si rakyat mulai berkenalan dg anjing2 yang sangat besar dan mengerikan. Dia ikut merawat, memberi makan, membersihkan kandang hingga memandikan anjing2 tersebut. Termasuk juga mengobati dan bercanda bersama anjing2 itu.

Jadilah mereka akrab seperti keluarga. Tiba waktunya hari hukuman. Si rakyat ini dibawa ke kandang anjing algojo utk menjadi santapan. Raja dan keluarganya berserta rakyat berkumpul untuk menyaksikan hukuman kejam tersebut.

Namun alangkah terkejutnya sang raja dan para penonton ketika menyaksikan yang terjadi, si rakyat bukan ya digigit dan dicabik-cabik oleh segerombolan anjing algojo, tapi mereka malah saling berpelukan dan bermain bersama.

Dengan nada heran, sang raja bertanya, "Kenapa anjing2 ku yang terkenal kejam dan sadis tidak mencabik-cabik mu. Apa yang kau lakukan pada mereka ?

"Paduka raja, selama 40 hari ini saya mengabdi kepada anjing2 mu, saya rawat mereka, kasih makan, memandikan, mengobati jika sakit, tidur dan hidup bersama mereka" jawab si rakyat.

"Anjing2mu membalas 40 hari pengabdian ku dengan menjadi temanku, menyelamatkan nyawaku. Mereka sangat tahu terimakasih dan balas budi" lanjut si rakyat.

"Engkau tidak lebih bijaksana dari anjing2 mu ini paduka, hanya karena saya mengkritik mu, engkau lupakan 40 tahun pengabdian ku. Tapi, hanya 40 hari aku mengabdi kepada anjing2mu, mereka sayangi aku seperti keluarganya" pungkas si rakyat.

Sang raja berwajah ediot namun kejam tersebut tidak berani berkomentar apapun, hanya rakyat yang berkomentar sambil berbisik-bisik... 😂😊

Selamat datang Tahun Anjing 2018, kawan...

Ditulis oleh Arief Luqman El Hakiem - Pegiat Media dan Pengamat Kebijakan Publik -