Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Juni 2018

Pilkada 2018 dan Anomali PDI-P

Benarkah Jokowi Dibajak "Tangan-Tangan Gelap Kekuasaan ?"

Memang benar, proses pemungutan suara Pilkada Serentak 2018 telah usai, hanya tinggal menunggu pengumuman resmi dari KPU untuk hasil perolehan suara masing-masing daerah. Namun berbagai persoalan, misteri dan kejanggalan yang terjadi selama proses tahapan pilkada terus menghantui publik tanah air, khususnya para politisi parpol.

Salah satu topik yang menarik adalah adalah Fenomena PDI-P. Berdasarkan real count versi KPU secara nasional, PDI-P adalah partai yang paling tragis dan memprihatinkan nasibnya. Dari 17 provinsi yang menggelar Pilgub pada hari Rabu Pon, 27 Juni kemarin, hanya 4 titik dimana jagoan PDI-P memeroleh suara terbanyak, yaitu Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan dan Maluku.

PDI-P tersungkur di 13 provinsi strategis lainnya, mulai dari Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan Papua.

Dari 6 provinsi di Pulau Jawa yang menyumbang lebih dari 65% suara secara nasional, PDI-P hanya menempatkan satu kadernya sebagai kepala daerah, yaitu Ganjar Pranowo di Jateng. Sementara di Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jatim dan DI Yogyakarta, PDI-P hanya penggembira. Di Jabar bahkan pasangan yang diusung PDI-P menempati posisi buncit dari 4 kandidat yang bertarung.

Jika nantinya Ganjar Pranowo terbukti terlibat dalam kasus mega korupsi E-KTP, dan ditahan KPK, maka praktis PDI-P tidak memiliki satu gubernur pun di Pulau Jawa. Sebuah tragedi...

Hasil Pilkada Serentak 2018 adalah ironis bagi PDI-P, sebuah Anomali Politik.

Menurut hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilu Legislatif 2014 KPU, menempatkan PDI-P yang dipimpin Megawati berada pada posisi pertama dengan meraih 23.681.471 suara atau 18,95 persen. PDI-P menjadi Parpol pemenang Pemilu 2014, sehingga menjadi Parpol utama yang mencapreskan Jokowi dengan kekuatan 109 kursi di DPR RI.

Kita tentu bertanya-tanya, ada apa dengan PDI-P dan Presiden Joko Widodo. Sebagai partai terbesar dan pemenang pemilu 2014, memiliki kader yang menduduki jabatan presiden, bahkan berkali-kali disebut sebagai "Petugas Partai" yang terikat dengan kontrak politik sebelum dicalonkan sebagai capres, tapi tenggelam dan menjadi pecundang pada Pilkada 2018.

Bandingkan dengan partai pendukung Jokowi yang lain, seperti Nasdem, Golkar dan PPP, mereka menjadi partai juara yang banyak mendudukkan jagoannya memenangkan Pilkada. Jagoan PPP bahkan menjadi pemenang dalam Pilgub 3 provinsi di Jawa, yaitu Uu Ruzhanul Ulum di Jabar, Taj Yasin di Jateng dan Khofifah Indar Parawansa di Jatim.

Meski bukan kader PDI-P, namun peraih suara terbanyak di kedua provinsi tersebut, Ridwan Kamil dan Khofifah secara tegas menyatakan dukungannya pada Jokowi pada Pilpres 2019. Artinya Jokowi bukan hanya milik PDI-P, namun juga dapat dukungan partai-partai lain. Warning buat PDI-P, karena bisa saja tanpa PDI-P, Jokowi akan tetap maju sebagai Capres Agustus nanti.

Jawa Barat adalah yang paling tragis bagi PDI-P. Dalam sejarahnya tidak pernah jagoan PDI-P memenangkan Pilgub dan Pilpres di di provinsi ini. Dan pada Pilgub 2018, pasangan yang diusung PDI-P, Tubagus Hasanuddin - Anton Charliyan (Hasanah), hanya meraih sekitar 12% suara.

Tidak ada "Jokowi Efect" di Jabar, bahkan dugaan penunjukan Komjen. Pol. Mochammad Iriawan oleh Mendagri, Tjahjo Kumolo (mantan Sekjen PDI-P), sebagai Penjabat Gubernur untuk mengawal kemenangan Hasanah, tidak terbukti sama sekali. Jokowi menampik tudingan bahwa penunjukan Iwan Bule atas usulannya, itu murni inisiatif dari bawah, yaitu Mendagri. Tapi disisi lain, Jokowi membuat kontrak politik dengan Nasdem dan Ridwan Kamil untuk Pilpres 2019.

Di Jatim juga tidak ada "Jokowi Efect", bahkan orasi Megawati yang membawa nama besar Bung Karno, Sang Proklamator, tidak mampu mengangkat kemenakannya, Puti Guntur Soekarnoputra, menjadi Cawagub mendampingi Saefullah Yusuf. Nampaknya di Jatim, Jokowi sudah mantap dan nyaman dengan Khofifah yang secara tegas akan mendukungnya jika terpilih sebagai gubernur.

Di 11 provinsi lainnya pengaruh Jokowi sebagai presiden dan petugas partai nampaknya juga tidak terlalu besar. Jago-jago PDI-P tidak banyak bicara dan tidak didukung secara sungguh-sungguh oleh Jokowi. Secara normatif, mungkin bisa beralasan bahwa pemerintah harus netral, namun secara politis Jokowi adalah kader PDI-P yang memiliki tanggung jawab moral membesarkan partai.

Bandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada saat menjabat sebagai presiden. Pada Pemilu 2004, Partai Demokrat menduduki peringkat ke 5 (lima) dengan perolehan suara 7,45 persen. Namun pada Pemilu 2009, SBY mampu 'menyulap' Partai Demokrat meraih nilai tinggi 25,39 persen suara, meningkat tiga kali lipat. Hal di atas berbanding terbalik dengan PDI-P yang di saat Jokowi menjadi Presiden, justru PDI-P tersungkur di berbagai daerah strategis dalam Pilkada serentak 2017-2018.

SBY sungguh-sungguh membesarkan partai yang didirikannya, sebaliknya Jokowi tidak nampak serius membantu partai yang mengusungnya. Ada apa sesungguhnya dengan hubungan Jokowi-PDIP ?

Benarkah Jokowi loyal kepada PDI-P atau ada kekuatan lain yang membuat Jokowi berpaling ?

Karena, bukan rahasia lagi bila pada awalnya Megawati sangat enggan menjadikan Capres yang diusung oleh PDI-P, mengingat Jokowi adalah nama baru yang muncul setelah memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2012. Bahkan setelah dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, PDI-P dan para kadernya juga tidak menjadi prioritas Jokowi.

Jokowi yang diusung oleh PDI-P yang menjadi Parpol pemenang Pemilu 2014 justru menempatkan kader-kader PDI-P bukan pada Kementerian/Lembaga strategis, misalnya; Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Jaksa Agung, dan Bappenas.

Namun, Jokowi memasukkan nama-nama di luar PDI-P untuk menempati kementerian-kementerian strategis tersebut; Sofyan Djalil (Kemenko Perekonomian), Rini Soemarno (Menteri BUMN), Bambang Brodjonegoro (Menteri Keuangan), Sudirman Said (Menteri ESDM), Rachmat Gobel (Menteri Perdagangan), HM Prasetyo (Jaksa Agung), dan Andrinof Chaniago (Kepala Bappenas). PDI-P hanya mendapat jatah Puan Maharani mendapat jatah Menko PMK (Menko PMK), Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM), Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri), dan Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga (Menteri Kooperasi UKM).

Hingga beberapa kali melakukan reshuffle Kabinet, kader-kader PDI-P tetap tidak ada yang ditempatkan pada Kementerian/Lembaga strategis.

Apakah Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P tidak merasakan adanya keanehan-keanehan ini?

Apakah kader-kader PDI-P yang selama ini berjuang 'berdarah-darah' tidak mencium aroma 'tangan-tangan gelap' yang bermain secara senyap melumpuhkan PDIP?

Saya menduga 'tangan-tangan gelap' yang bermain secara senyap ini adalah mereka yang memiliki kekuasaan, mereka bertujuan untuk melemahkan PDI-P agar tidak memiliki kekuatan untuk 'sandera' Jokowi dalam menentukan Cawapres 2019. Apalagi Megawati berulang kali menyebut Jokowi adalah Petugas Partai, berarti Jokowi harus patuh dan tunduk dengan aturan Partai.

Bagi 'tangan-tangan gelap' yang bermain secara senyap tersebut, bila PDI-P sukses Pilkada serentak tahun 2017-2018, bisa saja 'mengganggu' Cawapres yang mereka telah persiapkan.

Jokowi yang diharapkan mampu mendongkrak suara Cagub/Cawagub PDI-P pada Pilkada serentak 2017-2018, malah justru tidak mampu mendongkrak.

Maka, muncul pertanyaan krusial, sebenarnya Jokowi ini kadernya siapa?

Kader murni PDI-P atau kader pihak lain yang menumpang di PDI-P?

Jika PDI-P tidak peka dan takut merubah haluan politik, maka tidak menutup kemungkinan operasi senyap oleh tangan tangan gelap kekuasaan akan melumpuhkan PDIP pada Pileg 2019. PDIP bisa saja ambruk menjadi Partai menengah.

Selamatkan PDI-P atau selamatkan Jokowi ?

Bagi saya, lebih baik selamatkan NKRI !

Salam Indonesia Raya !

Makasih Bunda Arinta P Lenggono atas beberapa tulisan Wenry AP yang melengkapi TS ini.

Yogyakarta, 30 Juni 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Kamis, 28 Juni 2018

PEMENANG ITU PASTI DIKEHENDAKI, NAMUN BELUM TENTU DIRIDHOI

Mendudukkan Kembali Makna RIDHO, IRADAH dan TAKDIR

"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. Dan Dia mengetahui apa yang di daratan maupun di lautan. Serta tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Demikian pula tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh al-Mahfuzh)," (TQS Al-An’âm /6: 59).

Dalam setiap kompetisi dan kontestasi pasti ada yang menang dan ada yang kalah, ada yang puas ada yang kecewa, ada yang bersuka cita ada yang beduka cita, ada yang berpesta ada yang nelangsa. Meski semuanya telah berusaha dan berdoa memohon kemenangan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Tidak ada bedanya, apakah itu kontestasi politik, perebutan kepemimpinan, pertandingan olahraga atau kompetisi apapun. Hanya akan ada satu orang / tim yang keluar sebagai pemenang. Termasuk dalam perhelatan Piala Dunia 2018 di Rusia dan gelaran Pilkada di Indonesia. Pada pentas Piala Dunia hanya akan ada satu timnas yang berhasil menjadi juara dengan membawa pulang piala. Dan pada gelaran Pilkada juga hanya akan ada satu orang yang menjadi Gubernur, Bupati atau Walikota.

Dalam berbagai diskusi obrolan kemudian muncul ungkapan, "Ini sudah takdir", "Si A diridhoi, si B dan si C atau si D tidak dirihoi untuk memimpin", "Doanya dikabulkan, doa kami tidak", dan seterusnya.

Benarkah setiap yang keluar sebagai pemenang pasti yang DIRIDHOI oleh Tuhan ?
Benarkah setiap yang kalah berarti DOA-nya tidak DIKABULKAN Tuhan ?
Haruskah kita berterimakasih kepada Tuhan, dan pantaskah kita kecewa pada TAKDIR Tuhan ?

Untuk menjaga persatuan dan kesatuan, demi menjunjung tinggi persaudaraan dan keharmonisan, agar terpelihara semangat dan keimanan, marilah kita duduk dan berdiskusi membahas hal ini, tentu saja sambil menikmati secangkir kopi.

Pertama kita harus mendudukkan dan menyepakati beberapa istilah, yaitu Ridho, Iradah, dan Takdir, termasuk juga Ikhtiar dan Doa.

Kata RIDHO (رِضَى ) berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata rodiya, menurut kamus al-Munawwir artinya senang, suka, rela, cinta. Allah Ridho berarti Dia menyukai, menyenangi dan mencintai sesuatu, khususnya apa yang dilakukan dan direncanakan oleh manusia. Manusia Ridha berarti kita menerima dengan senang hati, ikhlas dan rela segala apa yang diberikan oleh Allah SWT baik berupa peraturan (hukum) atau pun qada’ atau takdir dari-Nya, baik buruknya, menyenangkan atau mengecewakan dalam pandangan manusia.

IRADAH merupakan salah satu sifat Allah SWT yang berarti berkehendak. Dia menghendaki sebagian hal dari segala kemungkinan pada mumkinul wujud. Semisal, Allah SWT menghendaki terlahirnya manusia dan alam raya yang pada awalnya tidak ada, tapi kemudian Dia menciptakan alam juga manusia dan menjadikannya ada. Inilah tanda bahwa Allah SWT berkehendak dan tidaklah Dia terikat oleh apapun dan siapa pun. Allah SWT memiliki kehendak yang sangat luas, termasuk kepemimpinan dalam komunitas manusia di dunia.

TAKDIR menurut bahasa adalah menetapkan segala sesuatu, atau menerangkan kadar atas sesuatu. Sedangkan penyebutan kata qadha’ adakalanya disejajarkan dengan kata qadar (takdir). Sebab, kedua kata tersebut mempunyai arti yang sama, meskipun kata takdir mempunyai arti segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah SWT menurut kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Adapun kata qadha’ lebih merupakan pelaksanaan atas segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT menurut atau sesuai dengan takdir-Nya.

IKHTIAR adalah sekumpulan usaha, daya dan upaya manusia sesuai dengan kadar kemampuannya untuk mewujudkan cita-cita dan harapannya. Ikhtiar adalah domain syari'ah yang wajib hukumnya ketika manusia memiliki cita-cita. Sedangkan qadha' (takdir) adalah domain aqidah dimana manusia wajib meyakini bahwa semua yang terjadi setelah ikhtiar adalah keputusan-Nya. Baik ataupun buruk, menyenangkan atau mengecewakan, manusia wajib menerimanya.

DOA adalah untian kalimat yang berisi permohonan dan harapan agar Allah SWT mewujudkan apa yang menjadi keinginan dan cita-cita manusia. Doa adalah domain syari'ah yang merupakan bagian dari ibadah. Shalat juga merupakan rangkaian doa yang paling legkap dan sempurna, dengan syarat rukun yang baku. Doa manusia ada yang dikabulkan dan ada yang (tidak/belum) dikabulkan, namun pasti mendapat pahala, karena berdoa berarti beribadah kepada-Nya.

Allah SWT meletakkan ridho pada doa dan ikhtiar manusia yang baik dan sesuai syariat. Lawan kata dari ridho adalah marah, murka dan benci. Allah SWT tentu murka dan benci pada niat dan perbuatan manusia yang tidak baik dan melanggar syariat-Nya. Allah SWT tidak mungkin ridha, dan pasti membenci kecurangan, kelicikan dan kebohongan. Dia pasti murka pada kezaliman, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan seorang penguasa.

Lantas pertanyaannya, kenapa ada penguasa yang zalim, kejam dan sewenang-wenang ?
Kenapa Allah SWT seperti membiakan orang yang licik dan culas menjadi penguasa dalam suatu negeri ?
Kenapa Allah SWT tidak mencegah seorang pencuri, pemerkosa, penipu bahkan pembunuh melakukan aksinya ?
Padahal itu semua dibenci dan dimurkai oleh Allah SWT.

Disinilah kita harus jernih meletakkan makna ridho dan iradah. Segala sesuatu yang terjadi di kolong langit ini berjalan atas iradah (kehendak) Allah SWT, termasuk kejahatan dan kezaliman. Bahkan termasuk kemenangan yang diraih dengan cara licik dan curang sekalipun.

Kita tentu masih ingat "Gol Tangan Tuhan" dari Diego Armando Maradona pada babak perempat final ajang Piala Dunia Meksiko tahun 1986 ke gawang Peter Shilton, kiper timnas Inggris. Tanggal 22 Juni 1986 adalah hari kelam bagi rakyat Britania Raya. Mereka telah dicurangi oleh Maradona dan diperlakukan tidak adil oleh Bin Naser, wasit asal Tunisia yang kala itu memimpin pertandingan, kemudian mengesahkan gol tersebut pada menit ke-51.

Berbeda dengan publik Argentina, mereka tidak peduli dan tetap berpesta merayakan kemenangan curang tersebut. Beberapa kelompok bahkan memuja Maradona lebih dari seorang legenda. Ia ditasbihkan oleh beberapa orang yang masuk dalam kelompok anggota Persudaraan Diego, sebagai orang suci.

Bahkan mereka membuat kepercayaan yang bernama Iglesia Maradoniana atau Gereja Maradona. Kepercayaan pemuja Maradona itu didirikan pada 30 Oktober 1998 atau bertepatan dengan ulang tahun ke-38 Sang Legenda di Rosario, Argentina. Gol "Tangan Tuhan", atau The Hands of God itu kemudian diabadikan sebagai nama Kapel di gereja tersebut.

Inilah qadha' dan takdir Tuhan, Argentina menang sebagai kampiun Piala Dunia meski dengan cara curang. Namun kita juga mencatat, sejak saat itu, 1986, Tim Tango seperti mendapat kutukan. Mereka tidak pernah lagi merengkuh trophy Piala Dunia meski didukung oleh barisan pemain bintang sekelas dewa, seperti Maradona, Gabriel Batistuta, Diego Semeone, Javier Zanneti, Angel Di Maria, Sergio Aguero, bahkan "sang messiah" Leonel Messi.

Sama seperti ketika seorang pencuri dan pemerkosa berhasil melancarkan aksinya. Mereka berhasil melakukan sesuatu yang jahat dan keji, yang pasti merugikan orang lain. Bisa jadi sampai mati mereka tidak ketahuan dan tidak mendapat hukuman, namun mereka tidak mungkin lepas dari hukuman Tuhan, karena yang mereka lakukan pasti tidak diridhio Tuhan.

Jadi, dalam konteks Pilkada Serentak 2018 di Indonesia, tidak otomatis yang terpilih sebagai kepala daerah adalah mereka yang mendapat ridho dari Allah 'aza wajalla, lihat dulu apa yang mereka lakukan untuk meraih kemenangan dan mempertahankan kekuasaan, termasuk bagaimana nanti mereka menjalankan pemerintahan.

So, kepada semua pihak yang berkompetisi dalam ajang Pilkada Serentak 2018, baik yang didukung maupun mendukung, tidak perlu terlalu euforia. Tetap jaga kedamaian dan utamakan persaudaraan, tempatkan silaturahmi diatas segalanya.

Pihak yang menang tidak perlu UMUK dan JUMAWA, karena inilah awal dari 5 tahun Anda mengemban amanah (tanggung jawab) untuk membela kepentingan rakyat. Salah melangkah, bisa-bisa Anda berakhir menjadi "pasien" KPK dan selamanya tercatat sebagai koruptor dan pengkhianat bangsa.

Pihak yang kalah tidak perlu NGAMUK dan KECEWA, karena inilah awal Anda mengontrol, mengawasi dan mengkoreksi penguasa. Mengkritik dan menasihati pemimpin juga merupakan perjuangan dan ibadah agung yang tentu mendapat pahala dari-Nya.

Salam Indonesia Raya !

Selamat menunaikan ibadah Shalat Jum'at
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Senin, 25 Juni 2018

KALIAN AKAN DIPIMPIN OLEH ORANG YANG SEPERTI KALIAN

Suatu hari Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu pernah ditanya oleh seseorang : “Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tertib, namun saat Utsman dan engkau yang menjadi khalifah kondisinya kacau ?"

Jawab Ali : “Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka didukung oleh orang - orang seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah, pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu”. (Syadzaraat Adz Dzhahab 1 / 51).

Seorang pemimpin adalah cerminan (sebagian besar) rakyatnya, perilaku pemimpin adalah gambaran perilaku (sebagian besar) rakyatnya.

Jadi, ketika penguasa berbuat seenaknya,  memperkaya diri sendiri bersama kelompoknya, merampok uang negara dan memenjarakan rakyat tak berdosa, penyebabnya adalah dosa rakyat yang melalaikan kewajiban, mengingatkan serta menasihati penguasa dan tenggelam dalam maksiat.

Demikian pula ketika rakyat tidak lagi percaya pada penguasa, bersikap keras dan berusaha untuk menggantinya, itupun akibat kesalahan penguasa yang tidak amanah, tidak bertanggung jawab, lebih membela kepentingan asing dari pada bangsanya sendiri. Penguasa namun tidak menguasai persoalan rakyatnya, penguasa yang hanya sibuk dengan urusan dan kesenangannya sendiri.

Ada sebuah ungkapan yang sangat masyhur, "KALIAN AKAN DIPIMPIN OLEH ORANG YANG SEPERTI KALIAN".

Ungkapan ini bukan hadits Nabi SAW meski sangat terkenal di tengah masyarakat. Untaian kalimat ini adalah sebuah kata hikmah yang sering diungkapkan oleh para sejarawan dan ahli sosial. Seakan ungkapan tersebut sudah menjadi kaidah baku dalam masalah kepemimpinan dan didukung oleh penelitian terhadap sejarah.

Faktanya, hampir semua jama’ah atau kelompok masyarakat itu dipimpin oleh orang yang sesuai dengan kualitas masyarakatnya, baiknya maupun buruknya. Jadi, setiap pemimpin adalah cerminan rakyatnya, sebagaimana ketika Allâh Azza wa Jalla menjadikan Fir’aun sebagai penguasa bagi kaumnya, karena mereka sama seperti Fir’aun.

"Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik". (TQS. Az-Zukhruf/43:54).

Dalam ayat Al Qur'an diatas Allâh Azza wa Jalla menegaskan bahwa kaum Fir’aun adalah orang-orang fasik, oleh karena itu, Allâh SWT menjadikan orang yang seperti mereka sebagai penguasa mereka.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “al-khafîf berarti orang dungu yang tidak beramal dengan ilmunya, dan ia selalu mengikuti hawa nafsunya".

Dua tahun ini, 2018 dan 2019, bangsa Indonesia akan memilih pemimpinnya. Tahun 2018 ada gelaran Pilkada Serentak untuk memilih Bupati /Walikota dan Gubernur. Tahun 2019 ada Pemilihan Presiden dan anggota DPR /DPRD /DPD.

Ungkapan pemimpin adalah cerminan rakyatnya akan menemukan pembenarannya dalam sistem demokrasi seperti Indonesia. Mereka yang terpilih sebagai penguasa, baik di tingkat daerah maupun pusat, adalah yang dipilih oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Dalam sistem demokrasi, dan pemilihan langsung, nilai seorang kyai sama dengan santri, yaitu satu kertas suara. Bahkan tidak ada bedanya seorang profesor dengan pekerja kotor, keduanya hanya berhak mencoblos sekali. Orang baik dan jujur akan kalah dengan orang jahat dan korup karena mendapat lebih banyak.

Jika sebagian besar rakyat memilih si A, meski dia fasik dan lemah, maka si A tetap jadi seorang penguasa. Namun jika sebagian rakyat memilih si B karena dia baik dan amanah, maka jadilah negeri ini dipimpin oleh orang yang amanah.

Kita akan dipimpin oleh orang yang seperti kita. Jika kita memilih pemimpin karena amplop 💯 ribuan, maka kita akan dipimpin oleh penguasa yang doyan mengumpulkan 💯 ribuan juga.

Bahkan jika kita memilih berdasarkan "pokoke", maka kita akan dipimpin oleh orang yang mengelola negara dengan cara pokoke.

Jika kita ingin mendapatkan pemimpin yang baik, maka kita harus memperbaiki diri kita sendiri dulu dan sebagian besar masyarakat. Jika kita ingin mendapatkan pemimpin yang cerdas dan berwibawa, maka kita harus mencerdaskan diri sendiri dulu dan sebagian besar rakyat Indonesia.

Jika sebagian besar rakyatnya plonga plongo dan suka menyebarkan hoax, maka mereka akan dipimpin oleh penguasa yang plonga plongo dan hoby memproduksi hoax.

Bahkan jika sebagian besar rakyat tidak peduli urusan negara dan politik, rakyat hanya sibuk dengan urusan pekerjaannya, maka mereka akan dipimpin oleh penguasa yang tidak peduli pada urusan rakyat, dan hanya sibuk dengan apa yang dia sebut KERJA KERJA KERJA.

Jadi, siapa pun yang terpilih nanti sebagai Presiden Republik Indonesia dan Gubernur Jawa Tengah adalah cerminan sebagian besar masyarakat Jawa Tengah.

Pendukung pasangan Ganjar-Yasin tentu adalah gambaran keduanya, mereka akan mempengaruhi orang agar berpikiran seperti mereka, dan memilih pemimpin yang seperti mereka.

Begitu pun sebaliknya, pendukung pasangan Sudirman Said - Ida Fauziyah adalah orang-orang yang seperti keduanya, mereka pun akan bekerja keras mengajak orang lain untuk memilih dan mencoblos nomor 2.

Jadi, jika masyarakat Jateng ingin dipimpin oleh orang baik dan jujur seperti Sudirman Said dan Ida Fauziyah, maka pendukungnya juga relawannya harus bekerja keras dan berkeringat mengajak masyarakat untuk memenangkan keduanya.

Jika orang baik tidak OBAH dan tidak peduli dengan politik, dia akan dipimpin oleh orang jahat yang menipu rakyat atas nama politik.

Sudah saatnya Jawa Tengah dipimpin oleh orang baik dan memperjuangkan agama seperti Sudirman Said dan Ida Fauziyah..

Mari, hari Rabu besok tanggal 27 JUNI, jangan golput, datanglah ke TPS, COBLOS NOMOR 2...!

Mari menangkan kebaikan dan kejujuran, menangkan para ulama, kyai, santri dan para petani...!

Mari Mbangun Jateng Mukti Bareng bersama Sudirman Said dan Ida Fauziyah...!

#2018PilgubJateng
#2018GantiGubernur
#2018JatengBersih
#2018JatengBaru
#2018JatengMaju

Kebumen, 25 Juni 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Selasa, 19 Juni 2018

PENJAJAH BELANDA ; RAJA INFRASTRUKTUR DAN JAGO PENCITRAAN

Semenjak tahun 1800 berdiri pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC yang dibubarkan karena harus menaggung kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Mulai saat itu berangsur-angsur kekuasaan Belanda bekembang secara masif dalam sendi-sendi kehidupan di masyarakat Nusantara.

Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan politik tradisional Kompeni dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari pajak dan keuntungan perdagangan demi kekayaan Kerajaan Belanda. Dalam menjalankan pemerintahannya, Hindia Belanda menerapkan berbagai kebijakan, seperti cultuurstelsel, politik pintu terbuka dan sebagainya.

Untuk menunjang pelaksanaan berbagai kebijakannya, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem-sistem baru dan membangun berbagai infrastruktur. Hal ini dilandasi anggapan bahwa pelaksanaan berbagai aktivitas akan berjalan lancar ketika terdapat berbagai sistem yang modern dan tersedianya infrastruktur untuk memperlancar aktivitas pemerintahan.

Pada perkembangannya, pemerintah Hindia Belanda membangun beberapa infrastruktur, seperti jalan raya dan jembatan-jembatan. Pembangunan jalan raya yang memanjang di sepanjang pantai utara Jawa pada masa Herman Willem Deandels (1808-1811) merupakan salah satu contoh upaya pembangunan infrastruktur yang dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda.

Bahkan Jalan Kelok 9 yang sangat terkenal, dibangun semasa pemerintahan Hindia-Belanda antara tahun 1908–1914. Jalan ini meliuk melintasi Bukit Barisan yang memanjang dari utara ke selatan Pulau Sumatera. Jika direntang lurus panjang Kelok Sembilan hanya 300 meter dengan lebar 5 meter dan tinggi sekitar 80 meter.

Selain itu pada masa-masa selanjutnya dibangun pula sarana transportasi berupa jalan kereta api. Suhartono dalam bukunya Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 menjelaskan bahwa gagasan pembuatan jalan kereta api timbul pada tahun 1842, tetapi baru pada tahun 1863 jalur yang menghubungkan Semarang-Tanggung sepanjang 25 km dipasang oleh NISM.

Pada tahun 1873 jalur Semarang-Yogyakarta dibuka untuk umum, dan pada dasawarsa kedua abad XX jalan-jalan trem sudah dibuka. Pada tahun 1873, pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jalan kereta api antara Surabaya dan Kota Malang yang merupakan pusat terpenting dari perkebunan-perkebunan besar di daerah Jawa Timur.

Di luar Jawa pemerintah kolonial juga membangun jaringan jalan kereta api seperti di Aceh dan Sumatera Barat. Hal ini menyebabkan terbukanya akses menuju ke pedalaman. Sehingga mobilitas masyarakat menjadi semakin tinggi dan proses perubahan sosial menjadi semakin cepat karena pesatnya laju perubahan.

Selain sarana transportasi, pada masa kolonial dibangun pula waduk-waduk dan sarana irigasi yang menjadi salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas aktivitas perekonomian Hindia Belanda. Pembangunan berbagai infrastruktur tersebut semakin pesat pada zaman liberal. Hal ini karena infrastruktur sangat penting untuk menunjang laju perekonomian untuk kepentingan perkebunan-perkebunan besar.

Jalan Raya

Jalan Raya Pos adalah jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km yang terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman W. Daendels. Pada tiap-tiap 4,5 kilometer didirikan pos sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat.

Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa. Untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris,
Daendels membutuhkan armada militer yang kuat dan tangguh. Daendels membentuk pasukan yang berasal dari masyarakat pribumi. Daendels kemudian mendirikan pendidikan militer di Batavia, dan tempat pembuatan atau pabrik senjata di Semarang.

Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Britania. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan.

Gubernur Jenderal Daendels memang menakutkan, kejam dan tak kenal ampun. Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja ( 1808 ). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Rel Kereta Api

Fakta sejarah mencatat kehebatan angkutan berbasis rel jaman Hindia-Belanda yang mencapai puncak masa emasnya di tahun 1920-1930an. Siapa sangka saat pencangkulan jalur rel pertama NIS pada 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Baron Sloet van De Beele di desa Kemidjen Samarang, sistem transportasi kereta api bakal menjadi booming pesat 50 tahun kemudian.

Pada awal sebelum pembangunan rel pertamanya itu, jalur rel dianggap kurang penting urgensinya oleh kalangan pemerintah Hindia-Belanda dan menjadi perdebatan panjang. Saat itu tujuan dibangunnya jalur rel adalah mengangkut hasil bumi dan keperluan militer Belanda yang membutuhkan angkutan yang efisien. Tak hanya masalah itu saja, pada awal-awal dibuka kereta api komersial NIS ternyata belum mampu menutupi keuangan NIS sehingga banyak kalangan menilai proyek kereta api hanya membuang uang saja.

Seiring berjalannya dekade berikutnya, ternyata angkutan kereta api berkembang pesat, yaitu setelah pemerintah sendiri ikut terjun dalam mengelola perkeretaapian dan menyusun rancangan Undang-Undang baru yang mendorong kalangan swasta membangun jalur kereta api atau trem. Akhirnya berdiri banyak perusahaan partikelir baru yang membuka jalur-jalur baru sesuai konsesi yang diajukan ke pemerintah Hindia-Belanda. Masing-masing perusahaan tersebut mengelola angkutan rel di wilayahnya.

Dengan adanya masterplan yang dikeluarkan pemerintah bagian transportasi Hindia-Belanda, membuat jalur kereta api terutama di Jawa menjadi sangat terencana dan terintegrasi antar kota di Jawa dengan tiap-tiap perusahaan kereta api.

Pembangunan jalur baru sangat pesat karena transportasi rel dianggap menguntungkan bagi sektor ekonomi. Puncaknya pada dekade tahun 1920 angkutan rel menjadi tulang punggung mengangkut penumpang dan barang pos dan perdagangan hasil bumi. Ditambah lagi era tersebut adalah masa keemasan penghasil gula di Jawa menuntut angkutan yang efisien dan efektif sebagai sarana pengangkutannya.

Banyak orang-orang Eropa yang berwisata ke Jawa jaman itu terkagum melihat integrasi dan jangkauan jaringan kereta api yang memudahkan mereka menjelajahi keindahan Jawa. Tak jarang SS (Staatsspoorwegen) yang merupakan perusahaan kereta api pemerintah mempromosikan pariwisata Jawa disandingkan kehandalan keretanya dalam pengangkutan penumpang maupun barang (surat, pos, dan lain sebagainya).

Waduk / Bendungan

1. Bendungan Katulampa adalah bangunan yang terdapat di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan ini di bangun pada tahun 1911 dengan tujuan sebagai peringatan dini atas air yang sedang mengalir ke Jakarta serta sarana irigasi lahan seluas 5.000 hektar yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendungan.

Pada saat musim hujan, bendungan ini bisa dilewati air dengan rekor debit 630 ribu liter air per detik atau ketinggian 250 centimeter yang pernah terjadi pada tahun 1996, 2002, 2007, dan 2010. Bendungan Katulampa mulai dioperasikan pada tahun 1911, akan tetapi, pembangunannya sudah dimulai sejak 1889, sejak banjir besar melanda Jakarta pada 1872.

2. Waduk Pacal dibangun Belanda tahun 1933, bernama Bendungan Pacal karena berada di desa Pacal. Bendungan Pacal ini terletak 35 Km dari arah selatan kota Bojonegoro. Waduk Pascal yang memiliki luas sekitar 3,878 kilometer persegi dan kedalaman 25 meter ini, merupakan bangunan sarana pengairan peninggalan zaman belanda dengan manfaat multifungsi.

3. Bendungan Pice yang terletak di Gantung, Belitung Timur, ini adalah sebuah bendungan peninggalan Belanda. Konon, namanya diambil dari nama seorang arsitek Belanda bernama Sir Vance yang merancang bendungan ini. Diujung bendungan terdapat tulisan "1934/35/36", mungkin untuk menandakan bahwa bendungan tersebut dibangun pada tahun 1934-1936.

Bendungan Pice berdiri di hulu Sungai Lenggang. Dengan panjang sekitar 50m, dibangun 16 pintu air dengan masing-masing pintu air memiliki lebar sekitar 2.5m. Konon, Belanda membangun bendungan ini agar mereka dapat dengan leluasa mengatur tinggi rendahnya permukaan air di sungai ini, sehingga mempermudah sistem kerja kapal keruk mereka untuk mengeksplorasi timah.

4. Bendungan Salamdarma dibuat oleh Belanda pada tahun 1923, jauh sebelum Indonesia Merdeka. Ternyata ada juga peninggalan penjajah yang bermanfaat untuk Indonesia di masa kini yaitu untuk kepentingan pengairan area pesawahan dan perkebunan. Bendungan ini ada di perbatasan Kabupaten Subang seluas 11.684 hektar dan yang berada di Kabupaten Indramayu lebih luas yaitu 24.504 hektar.

Di Salamdarma dua aliran air dari sungai Cipunegara dan sungai Karawang bertemu dan dialirkan ke sungai Sewo dan sungai Salamdharma yang mengalir ke Wanguk, sampai Lonyod. Salamdarma diurus oleh Perum Jasa Tirta II Divisi III yang kantornya ada di Kecamatan Patrol.

5. Bendungan Jagir digunakan sejak tahun 1920-an. Bangunan ini terletak di Kecamatan Jagir, tepatnya diantara Jl. Jagir dan Wonokromo. Walaupun dibangun pada masa penjajahan Belanda namun keberadaan dam atau pintu air Jagir ini masih terpelihara dan berfungsi dengan baik. Dalam sejarahnya Sungai Jagir ini pernah menjadi tempat bersauhnya pasukan Tar-tar yang merupakan bala tentara Raja Kubilai Khan dari Mongolia yang akan menyerang Kediri yang saat itu di perintah oleh Prabu Jayakatwang.

Pabrik Gula

Perkembangan penggilingan atau pengepresan tebu di Jawa, secara agak besar di mulai pertama kali pada pertengahan abad 17 di dataran rendah Batavia, di kelola okeh orang-orang China. Kemudian di awal abad 19 muncul industri gula modern di Pamanukan, Ciasem, Jawa Barat, yang dikelola oleh para pedagang besar dari Inggris. Yang karena kesalahan lokasi hanya bertahan satu dasawarsa (kekurangan tenaga kerja). Kehancuran industri gula Inggris (Pamanukan-Ciasem) di gantikan industri Belanda dalam kurun culturstelsel.

VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1673 ke Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul. 130 buah penggilingan pada tahun 1710, dengan produksi rata-rata setiap penggilingan sekitar 300 pikul. Tahun 1974 terdapat 65 penggilingan, sedang pada 1750 naik menjadi 80, dan akhir abad ke-18 merosot tinggal 55 penggilingan yang memasok sekitar 100.000 pikul gula.

Benteng

Belanda juga banyak meninggalkan bangunan-bangunan yang bernilai seni tinggi. Salah satunya berupa benteng-benteng pertahanan. Ada belasan benteng peninggalan Belanda yang sekarang banyak dijadikan tempat wisata sejarah.

Dalam catatan sejarah ada 459 benteng, 303 di Sumatra dan 159 di Jawa tapi yang secara fisik ditemukan hanya 177. Hampir 300 yang hilang, Sementara sembilan benteng di Kalimantan, 134 benteng di Sulawesi dan 12 benteng di Bali-NTT-NTB sudah teridentifikasi.

Benteng yang hingga kini masih utuh di antaranya Benteng Willem I di Ambarawa, Benteng Willem II di Ungaran, Benteng Vredeburg di Yogyakarta, Benteng Pendem di Cilacap, dan Benteng Van der Wijk di Gombong.

Politik Etis (Politik Balas Budi)

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera . Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa .

Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief ) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
2. Imigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.

Dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.

Irigasi

Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

Edukasi

Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.

Migrasi

Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara , khususnya di Deli , Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie , yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi , kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.

Penyimpangan politik etis terjadi karena adanya kepentingan Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Senin, 18 Juni 2018

GERAKAN SELAMATKAN JOKOWI, SELAMATKAN NKRI !

Dalam satu taushiyah akhir Ramadhan 1439 Hijriah kemarin, KH. Yusuf Chudhori, pengasuh pondok pesantren API (Asrama Perguruan Islam) Teglrejo, Magelang, menyampaikan bahwa Bapak  Presiden Joko Widodo adalah orang baik, lugu dan polos juga pekerja keras. Namun hawalaiy (orang-orang di sekeliling)-nya yang jahat dan berbahaya. Jokowi dikelilingi oleh orang-orang licik dan culas, yang tega melakukan apapun demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Saya sendiri mengamini apa yang disampaikan oleh Gus Yusuf ketika kami duduk ngobrol selepas beliau memberikan taushiyah di hadapan para santri dan kyai alumni ponpes Tegalrejo, di Pondok Pesantren Mbathil, Buluspesantren, Kebumen.

Saya mengenal Jokowi jauh sebelum beliau menjadi Presiden Republik Indonesia, ketika itu saya masih mahasiswa di Fakultas Ekonomi UNS (Universitas Sebelas Maret) Surakarta di tahun 1996-an. Beiau seorang pengusaha mebel (furniture) yang ramah dan pemurah, memiliki gedung pertemuan Graha Shaba di daerah Sumber, Banjarsari, Solo.

Terpilih sebagai walikota Solo selama 2 periode, kemudian mengantarkannya sebagai Gubernur Pemprov DKI Jakarta, Jokowi masih sebagai pribadi yang polos dan punya etos kerja bagus. Di tengah masa kepemimpinannya di ibukota, Jokowi mulai dilirik dan dikelilingi orang-orang baru, para politisi dan pengusaha bahkan konglomerat. Ibarat gula, Jokowi mulai dikerubungi semut-semut yang ingin menghisap manisnya.

Magnet Jokowi mampu menarik para politisi senior dan konglomerat kelas paus untuk mendukungnya menduduki jabatan yang lebih tinggi, yaitu Presiden Republik Indonesia. Sejatinya Jokowi tidak pernah bermimpi dan terpikirkan sama sekali untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini, namun orang-orang disekelilingnya terus menggosok dan merayu. Bahkan jajaran pimpinan PDI-P, partai yang menjadi tempat Jokowi bernaung tidak satu suara dalam mengusung Jokowi sebagai capres pada Pilpres tahun 2014.

Saya masih ingat betul, dalam berbagai wawancara Jokowi mengatakan tidak mikir untuk nyapres. Ucapannya yang terkenal adalah COPRAS CAPRES, wong mikir Jakarta saja sudah pusing. Secara pribadi saya juga yakin Jokowi merasa sungkan dan berhutang budi pada Prabowo Subianto yang mengantarkannya menjadi Gubernur DKI. Bagaimanapun juga Prabowo memiliki andil besar dalam memenangkan pasangan Jokowi-Ahok pada Pilgub DKI 2012, melawan petahana Fauzi Bowo (Foke) yang berpasangan dengan Nachrowi Ramli.

Namun Jokowi hanyalah kader partai, petugas partai, yang ketika partai sudah memutuskan dan memerintahkan, maka tidak ada pilihan lain kecuali siap dan bersedia. Rupanya para politisi senior dan para konglomerat pendukung Jokowi berhasil meyakinkan Megawati Soekarnoputri, sebagai Ketua Umum PDI-P untuk mengalah dan menyerahkan tiket capres kepada Jokowi.

Demikian yang tertulis, demikian yang terjadi. Jokowi akhirnya menjadi orang nomor satu di republik ini. Ada 3 (tiga) politisi kawakan yang selalu mendampingi Jokowi dan sangat dominan pengaruhnya dalam perjalanan kebijakan Jokowi sebagai presiden, mereka adalah Luhut Binsar Pandjaitan, Rini Soemarno dan Andi Wijayanto. Bahkan PDI-P sendiri merasa bahwa Jokowi "dibajak" dan dikendalikan oleh ketiga orang tersebut.

Luhut tadinya sebagai Kepala KSP (Kantor Staf Presiden) yang masa presiden sebelumnya tidak pernah ada, kemudian menjadi Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, terakhir diangkat sebagai Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman. Kemudian Rini Soemarno kokoh sebagai Menteri BUMN. Posisi Andi Wijayanto sebelumnya sebagai Menteri Sekretaris Kabinet sebelum diganti oleh Pramono Anung.

Posisi Kepala KSP diisi oleh Teten Masduki pasca ditinggalkan oleh Luhut, kemudian sekarang dijabat oleh mantan Panglima TNI, Jenderal TNI (Purn) Muldoko. PDI-P pernah berusaha menyingkirkan Rini Soemarno melalui Pansus Pelindo yang merekomendasikan pencopotan dirinya dari posisi Menteri BUMN, namun kandas, Rini terlalu kuat ruapnya.

Kebijakan Rini sangat membahayakan dan sering menimbulkan pro-kontra, seperti menjaminkan 3 bank pemerintah (Bank Mandiri, BRI, BNI) untuk mendaptkan hutang, menjual beberapa aset BUMN untuk dikelola swasta, membolehkan orang asing menduduki posisi pimpinan di BUMN dan lain sebagainya. Rini memang liat dan sangat kuat, kasusnya cepat tenggelam, dia sendiri aman dari pemberitaan, namun pengaruhnya sangat dominan.

Berbeda dengan Luhut, dia termasuk temperamental, meledak-ledak di media dan selalu pasang badan membela semua kebijakan pemerintah, termasuk proyek reklamasi Teluk Jakarta. Luhut bahkan sempat dijuluki Menteri Segala Urusan, karena hampir semua persoalan dia komentari dan dia supervisi.

Setelah Trio Istana (Luhut Pandjaitan, Rini Soemarno, Andi Wijayanto), rombongan berikutnya yang masuk lingkaran Jokowi (juga melalui PDI-P) adalah para aktifis pergerakan seperti Fadjroel Rahman, Teten Masduki, Budiman Sudjatmiko, Adian Napitulu, Rieke Dyah Pitaloka, Ulin Ni'am Yusron dan pasukan medsos yang dikenal dengan sebutan JASMEV.

Pasukan medsos ini mengendalikan seluruh akun medsos, pemberitaan media dan program pencitraan Jokowi. Sebut saja situs berita Beritasatu.com, Seword.com, KataKita dan sebagainya yang secara rutin memposting berita seputar Jokowi. Tidak jarang mereka "tercyduk" membuat berita hoax dan menulis ujaran kebencian. Admin pada akun-akun Jokowi beberapa kali melakukan mis dan blunder, seperti ketika memposting foto-foto Bandara Kertajati, padahal itu foto bandara di Oman, cuitan tentang perayaan ultah JKT-48, soal shalat Idul Fitri presiden dan terakhir adalah cuitan Fadjroel Rahman yang mengklaim ratusan bus pemudik sumbangan Jokowi, padahal itu adalah bus yang disediakan oleh Pemprov Jawa Tengah.

Para politisi dan penjilat Jokowi juga terus mengelilingi dan secara membabibuta memuji menyanjung Jokowi. Ada yang menyebut Jokowi seperti Khalifah Umar bin Kahattab, mirip Bung Karno, seperti Nabi Yusuf AS, bahkan ada yang mengatakan Jokowi adalah utusan Tuhan untuk Indonesia. Akun-akun medsos pemuja Jokowi juga tidak kalah heboh dan membahayakan. Mereka kerap kali memposting foto-foto yang diklaim sebagai prestasi Jokowi, padahal itu lokasi di luar negeri, membuat kata-kata yang justru menjadi boomerang, seperti klaim jalan tol dan masih banyak lagi.

Jadi benar kata Gus Yusuf, Jokowi adalah pribadi baik dan santun, namun dikelilingi oleh orang-orang jahat dan ambisius. Sejatinya Jokowi dibajak dan dimanfaatkan oleh orang-orang tersebut untuk kepentingan mereka dan kelompoknya.

Di akhir-akhir taushiyahnya Gus Yusuf berpesan pada jamaah, Jokowi harus dijaga, dilindungi, didampingi dan diselamatkan oleh para santri dan kyai. Para ulama sepuh dan kalangan nahdhiyin wajib hukumnya menjaga Presiden Joko Widodo dari pengaruh orang-orang jahat di sekeliingnya, yang hendak mengacaukan negeri ini, mengadu domba antar kaum muslim dan hendak mengerdilkan Islam dengan kebijakan-kebijakan yang merugikan umat Islam.

Saatnya para santri dan kyai turun gunung, keluar pesantren untuk menjaga keutuhan NKRI dan persatuan bangsa Indonesia. Saatnya kaum muslim untuk melek politik dan kembali berjuang mengembalikan kejayaan bangsa, meninggikan agama dan budaya Nusantara...

Salam Indonesia Raya !
Salam Bhineka Tunggal Ika !
Salam Pancasila !

#SaveJokowi
#SaveNKRI

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Minggu, 17 Juni 2018

HANYA KELICIKAN YANG BISA MENGALAHKAN DIPANEGARA

Siapa tidak tahu Pangeran Diponegoro (Dipanegara), bernama kecil Raden Ontowiryo, putra sulung Sultan Hamengku Buwono III yang lebih memilih hidup di luar keraton, daerah Tegalrejo, sekitar 7 kilometer dari Keraton Yogyakarta.

Seorang panglima perang, santri dan negarawan besar. Ahli strategi dan pemimpin Perang Jawa (Java Oorlog) yang sangat masyhur dalam sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda (VOC). Pangeran Diponegoro banyak menghabiskan waktunya di wilayah Kebumen selama Perang Jawa (1825-1830).

Namun sejarah juga mencatat, DIPANEGARA adalah korban kebusukan dan kelicikan, korban pengkhianatan dan kecurangan. Dipanegara adalah korban konspirasi dan permufakatan jahat antara pribumi pengkhianat dan penjajah keparat, Belanda (VOC).

PANGERAN DIPONEGORO BISA DITANGKAP, JUSTRU SETELAH DIJEBAK DI MEJA PERUNDINGAN

Perang adalah tipu muslihat..!

Pangeran Diponegoro pun tertipu! Ia diajak berunding oleh penjajah Belanda. Ketika beliau datang, muncul dari persembunyiannya, tanpa senjata, ia langsung ditangkap.

Tak ada meja perundingan seperti yang dijanjikan. Yang ada "Jebakan Batman".

Belanda menyebutnya "Gefangennahme von Prinz Diponegoro". Beliau ditangkap oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830.

Perang Jawa yang berjalan lima tahun(1825- 1830), dipimpin langsung Pangeran Diponegoro yang bersurban dengan pekik "Allahu Akbar" ini, mampu menggerakkan perlawanan rakyat Jawa.

Lima tahunan Jawa membara. VOC terancam bangkrut. Hutang luar negeri semakin banyak. Cuma dengan kecurangan beliau bisa dikalahkan.

Sejarawan De Steurs mencatat dari pihak Belanda jatuh korban 12.749 serdadu yang meninggal di rumah sakit. Serta 15.000-an orang tewas dan hilang dalam pertempuran. Sekitar 8000 di antaranya adalah tentara yang langsung didatangkan dari Negeri Belanda.

Perang ini mengerikan dan berbiaya besar. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan uang f.5.000.000 (lima juta gulden) setiap tahun. Biaya paling besar adalah untuk bahan makanan dan upah pegawai.

Karena begitu besarnya pengeluaran, Komisaris Jenderal De Bus de Gisignies menekan Jenderal De Kock agar melakukan penghematan dan segera mengakhiri perang. Saat itu, pemerintah Hindia Belanda sudah defisit f. 18.000.000 (18 juta gulden).

Menanggapi tekanan Du Bus, De Kock seperti dicatat E.S de Klerk, menjawab: “Kami berperang ini tidak hanya melawan pemberontak Pangeran Diponegoro saja, akan tetapi kami melawan seluruh rakyat Jawa yang jumlahnya dua juta.”

Pemberontakan Diponegor ini, oleh sejarawan Belanda disebut "Java Oorlog" (Perang Jawa) adalah perang dahsyat yang melelahkan kedua belah pihak.

Akhirnya, ya itu tadi, Pangeran Diponegoro, bisa dikalahkan hanya dengan tipu muslihat.

Pangeran yang juga Ulama yang disegani ini, setelah ditangkap, kemudian ia diserahkan kepada penguasa saat itu, Jenderal De Kock.

Jenderal jangkung, kurus dan kerempeng ini paling sok-sok-an: penuh pencitraan terhadap kaum pribumi, seolah-olah ia berada di pihak rakyat. Tapi sejatinya ia adalah penjajah ulung yang selalu tebar fitnah, hoax dan aksi tipu-tipu.

Pangeran Diponegoro yang dicintai rakyat, bahkan diframing sedemikian rupa hingga akhirnya ia dibenci rakyat Jawa.

Begitulah perang ..!

Awal Kemerdekaan RI, penyair Melayu, Tan Malaka berseru: "Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang mau menggarong rumahnya."

Jangan pulang dulu dalam perang dan jangan gampang termakan iming-iming pihak penguasa. Karena perang adalah tipu muslihat. Tak cuma playing victim. Tapi segala cara akan digunakan penguasa untuk memadamkan perlawanan rakyat dalam aksi bela ulama, Pangeran Diponegoro.

Belajarlah pada tragedi Pangeran Diponegoro di Jawa abad ke-19 lalu, yang hanya bisa dikalahkan karena dikhianati dan ditipu oleh penguasa kafir.

Pelajaran dari kelicikan penjajah Belanda, dipahami betul oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Beliau tidak pernah mau berdamai dan berunding dengan penjajah Belanda. Meski harus bergerilya, terlunta-lunta keluar masuk hutan diatas tandu, Pak Dirman tetap melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Pak Dirman juga seorang panglima perang, ahli strategi dan seorang santri bahkan ulama besar yang selalu shalat di awal waktu.

Pak Dirman tidak pernah mau berunding dan berkompromi dengan penjajah. Pak Dirman juga tidak pernah ditangkap dan tidak pernah mengendurkan perlawanan. Pilihannya jelas, merdeka atau mati !

Perang, bagaimanapun.. adalah tipu muslihat ..!

Dan politik adalah perang total, yang menguras banyak energi. Fisik, mental, darah bahkan nyawa dan air mata.

Jadi politik pun penuh tipu muslihat, kecurangan dan kelicikan !

Pakar hukum tata negara, Dr. Refly Harun, memprediksi bahwa pemilu /Pilpres 2019 akan menjadi gelaran perang politik paling curang dalam sejarah Indonesia. Akan menjadi pertarungan licik, selicik-liciknya. Dan yang paling berpotensi berbuat curang serta licik adalah penguasa. Karena mereka memiliki segala sarana dan prasarana untuk curang.

Waspada, para politisi dari kelicikan dan tipu muslihat musuh !!!

Selamatkan Indonesia dari politisi busuk dan licik !!!

#2019Pilpres
#2019RakyatBebasMemilih
#KamiTidakTakut
#KamiTidakBodoh
#KamiTidakDiam

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Senin, 11 Juni 2018

NGAJI POLITIK

"as siyasah juz un min ajzais syari'ah"
(Politik adalah bagian dari beberapa bagian syariat /Islam)

Malam ini saya berkesempatan mendengar taushiyah luar biasa dari Al Mukarom Romo Kyai Haji Yusuf Chudhori, pengasuh pondok pesantren API (Asrama Perguruan Islam) Tegalrejo, Magelang. Bukan taushiyah biasa menurut saya, namun sebuah pencerahan yang membuka wawasan dan menjawab keraguan yang selama ini berkecamuk dalam benak saya, mungkin juga kebanyakan umat Islam lainnya.

Ngaji Politik menurut saya, karena topik yang dibahas perihal politik (as siyasah) dalam pandangan para ulama dan kyai, khususnya para kyai NU (nahdhiyin). Gus Yusuf, sapaan akrabnya, adalah putra dari tokoh NU (Nahdlatul Ulama)  dan kyai kharismatik, Simbah Kyai Chudhori Al Maghfurlah, pendiri ponpes API Tegalrejo, Magelang. Adik dari KH Abdurrahman Chudhori (almarhum), yang juga kyai kharismatik, dan tokoh nasional.

As siyasatu juz un min ajzais syari'ah begitu Gus Yusuf di awal taushiyahnya, yang dihadiri para santri ponpes Mbathil, Tanjungsari, Buluspesantren dan para alumni ponpes Tegalrejo. Politik adalah bagian tak terpisahkan dari banyak bagian dalam syariat Islam. Maka mempelajari, mengerti dan memahami politik wajib hukumnya bagi kaum muslim.

Bukan berarti kaum muslim harus jadi politisi, atau pengurus partai politik, atau menjadi pejabat politik. Namun sudah dianggap cukup dengan mengerti dan memahami serta memilik sikap politik. Jika umat Islam sudah meninggalkan politik maka Islam dan kaum muslim akan dimakan oleh politik. Maksudnya dirugikan, dipermainkan dan bisa jadi Islam /umat Islam akan dihancurkan oleh kebijakan atau keputusan politik.

Politik itu seni dan strategi, yaitu seni MENGATUR dan DIATUR, seni MEMIMPIN dan DIPIMPIN, strategi MEMILIH dan DIPILIH, strategi MENDUKUNG dan DIDUKUNG, juga strategi MEREBUT dan MEMPERTAHANKAN kekuasaan.

Kaum muslim harus mengetahui dengan benar bagaimana cara mengatur pemerintahan ketika jadi pejabat, dan seni menegur (mengkritik /mengingatkan) seorang pemimpin ketika menjadi rakyat. Umat Islam juga harus menguasai strategi merebut kekuasaan dengan benar dan mempertahankannya.

Bukan semata-mata kekuasaan atau jabatan, namun kekuasaan yang membawa kemanfaatan, kemaslahatan dan keberkahan. Yang membawa kebahagiaan, keselamatan dan kesejahteraan rakyat di dunia dan akhirat (fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah).

Maka bagi umat Islam, nasbul imamul 'adil waajibun (memilih /mengusahakan pemimpin yang adil atau amanah adalah wajib hukumnya). Umat Islam tidak boleh golput dalam pemilu (baik Pilgub maupun Pilpres). Karena membiarkan terpilihnya pemimpin yang zhalim dan fasik, pemimpin yang membawa mafsadat (kerusakan) adalah dosa besar.

Tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik, tahun yang menentukan arah masa depan Jawa Tengah dan negara Indonesia. Tanggal 27 Juni 2018 masyarakat Jateng akan menentukan siapa yang akan memimpin provinsi ini dalam lima tahun ke depan (Pilgub). Kemudian 19 April 2019 rakyat Indonesia akan memilih Presiden dan Wakil Presiden juga anggota legslatif yang akan menentukan nasib bangsa ini lima tahun yang akan datang (Pilpres /Pileg).

Sebagai umat terbesar di negeri ini dan ormas Islam terbesar, warga nahdhiyin hendaknya bisa menjadi penentu warna politik dan kebijakan pemerintahan dengan mendudukan orang-orang adil dan amanah pada kursi kekuasaan.

Bahkan secara khusus, Ketua Umum PBNU, KH Said Agil Siradj, ketika berkunjung ke kantor PWNU Jawa Tengah, menyeru kepada para kyai, para ulama dan warga NU baik struktural maupun kultural untuk "ja'alal imamla 'adil" (berupaya secara sungguh-sungguh mewujudkan /menjadikan pemimpin-pemimpin yang adil). Yang amanah, yang mencintai rakyat, mencintai para ulama /kyai, mencintai petani dan nelayan, jauh dari perilaku maksiat, tidak tersandung kasus pidana terutama korupsi dan memperjuangkan nilai-nilai agama, serta setia kepada Pancasila dan UUD 1945.

Jadi kepada rakyat Indonesia dan masyarakat Jawa Tengah, khususnya yang selama ini menyatakan ndherek dhawuh para kyai, para ulama dan masyayikh, serta tokoh-tokoh NU... sampean semua dapat salam dari Gus Yusuf Tegalrejo, Magelang.

Begitulah pesan Gus Yusuf dan wasiat para kyai sepuh NU yang beliau sampaikan di sela-sela jagongan selepas mengisi taushiyah. Kami sempat makan malam bersama dengan para kyai yang lain, menyantap hidangan pra-sahur sambil jagongan gayeng membahas dinamika politik Jawa Tengah juga nasional.

Jadi, UMAT ISLAM HARUS MELEK POLITIK dan MEMILIKI SIKAP POLITIK...!!!

Salam Perubahan...
Salam Jateng Baru...
Salam Indonesia Baru...

#2018PilgubJateng
#2018JatengBaru
#2018JatengMaju
#2018JatengBersih
#2018JatengMuktiBareng
#2019PilpresPileg

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

@ Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia (12 Juni 2018)

Sabtu, 09 Juni 2018

AKSI BELA PANCASILA ala Jokowi (ABP Jilid I-III)


Bulan Juni adalah bulan istimewa bagi bangsa Indonesia. Dua tokoh besar yang sangat sentral dalam sejarah negeri ini lahir pada bulan ini. Pertama adalah Ir Soekarno, Sang Proklamator, Presiden Republik Indonesia pertama lahir pada bulan Juni, tanggal 6 tahun 1901. Kedua adalah Jenderal Besar HM Soeharto, Bapak Pembangunan, Presiden RI kedua juga lahir pada bulan Juni, tanggal 8 tahun 1921. Dan bulan Juni juga disebut bulan Pancasila, karena 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Bagi warga ibukota, bulan Juni lebih istimewa lagi, karena pada 22 Juni 1527 Fatahillah, panglima perang Kesultanan Demak Bintoro berhasil mengusir tentara Portugis dari Sunda Kelapa untuk kemudian membangun kota baru bernama Jayakarta, yang sekarang kita lebih dikenal sebagai Kota Jakarta. Mungkin ini juga yang menginspirasi Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, untuk memimpin 300 pasukan Satpol PP melakukan penyegelan dan penutupan ratusan bangunan tak berijin di pulau-pulau reklamasi Teluk Jakarta pada Kamis 7 Juni kemarin.
Khusus terkait Pancasila, setiap bulan Juni dalam tiga tahun terakhir ini Presiden Joko Widodo selalu membuat kebijakan baru dan selalu menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat, khususnya di kalangan akademisi dan politisi.
Secara pribadi, saya menyebut terobosan Jokowi ini sebagai Aksi Bela Pancasila (ABP), Jilid I sampai III, yaitu ABP tahun 2016, 2017 dan 2018.
Bukan tanpa dasar saya memilih istilah Aksi Bela Pancasila (ABP), karena dalam jejak digital berbagai alasan lahirnya kebijakan presiden terkait Pancasila adalah adanya ancaman terhadap ideologi negara ini. Dalam berbagai kesempatan Jokowi selalu mengatakan bahwa Pancasila terancam, ada sekelompok orang atau ormas eyang berniat mengganti dasar negara. Pernyataan presiden dikuatkan oleh Menkopolhukam, Wiranto, juga oleh Ketua MPR, Zulkifli Hasan beberap tahun sebelumnya.
Tiga jilid ABP ala Jokowi berdasar tahun adalah sebagai berikut ;
ABP Jilid I : Tahun 2016, Penetapan Hari Jadi Pancasila
Terobosan pertama Pesiden Jokowi adalah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila (HLP), yaitu setiap tanggal 1 Juni. Hari tesebut kemudian ditetapkan sebagai hari libur, namun instansi pemerintah diwajibkan menyelenggarakan upacara bendera.
Tak pelak keputusan penetapan 1 Juni sebagai HLP tersebut memunculkan pro kontra di tengah masyarakat. Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Dr. Refly Harun adalah dua pakar hukum tatanegara yang memiliki pendapat berbeda soal HLP. Mereka lebih sepakat tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila (HLP).
Refly Harun menganggap penetapan 1 Juni 1945 sebagai HLP sangat kental nuansa politisnya dari pada fakta sejarah. Keputusan ini dianggap mengesampingkan peran tokoh lain yang sama-sama berpidato mengusulkan rumusan konsep dasar negara pada Sidang Pleno BPUPKI, 29 Mei - 1 Juni 1945 di Jakarta, yaitu MR Soepomo dan MR Mohammad Yamin.
Sementara Prof. Yusril menyatakan bahwa 18 Agustus 1945 lebih tepat dijadikan sebagai HLP, karena saat itulah PPKI memutuskan secara final rumusan Pancasila dan menetapkan sebagai dasar negara yang baru saja diproklaimirkan.
ABP Jilid II : Tahun 2017 Pekan Pancasila "Saya Indonesia, Saya Pancasila"
Setahun setelah 1 Juni ditetapkan sebagai HLP, pemerintahan Jokowi memperingatinya dengan kegiatan Pekan Pancasila dan beredar foto presiden dengan jargon "Saya Indonesia Saya Pancasila" (SISP). Foto dan jargon ini diikuti oleh jajaran menteri, pejabat setingkat menteri, para ketua lembaga negara, para kepala daerah dan beberapa kelompok masyarakat.
Berbagai kegiatan juga diselenggarakan dalam Pekan Pancasila tahun 2017. Presiden juga membentuk lembaga penjaga ideologi Pancasila yaitu UKP-PIP (Unit Kerja Presiden - Pembinaan Ideologi Pancasila) dengan Perpres No. 54 Tahun 2017.
Sebulan berikutnya, Juli 2017 Jokowi mengelurkan Perpu No. 2 tentang Ormas (Organisasi Masyarakat) yang kemudian disetujui oleh DPR sebagai Undang-Undang pada bulan Juli tahun yang sama. Korban Perpu Ormas yang petama adalah HTI yang dibubarkan karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Jargon SISP dan Perpu Ormas juga menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Secara bahasa SISP dianggap tidak tepat, mestinya "Saya Indonesian (Orang Indonesia), Saya Pancasilais". Jargon ini juga menimbulkan persepsi bahwa yang tidak memasang foto dengan kalimat tersebut dianggap tidak Indonesia dan tidak Pancasilais.
Bagi kalangan akademisi, Perpu Ormas dan UKP-PIP diduga akan digunakan oleh pemerintah Jokowi sebagai alat untuk membungkam dan melumpuhkan lawan-lawan politiknya. Perpu Ormas dan tafsir tunggal Pancasila oleh UKP-PIP berpotensi menimbulkan gesekan di tengah masyarakat.
ABP Jilid III : 2018 BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila)
Juni tahun ini, 2018, Jokowi juga menggelar Aksi Bela Pancasila Jilid yang ke-3, yaitu dengan membentuk BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) berdasar Perpres No. 7/2018 yang merupakan metamorfosa dari UKP-PIP, kemudian dilengkapi dengan Perpres No. 42/2018 tentang hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi para pegawainya.
Keberadaan BPIP dan besaran hak keuangan pegawainya yang fantastis juga menimbulkan polemik hebat di tengah masyarakat. Sejarah membuktikan, bahwa ketika Pancasila di-capture- oleh penguasa dan ditafsirkan secara tunggal dengan dibentuk lembaga penjaga maka akan dijadikan sebagai alat penggebuk dan pembunuh lawan-lawan politik.
Era Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) dimana Soekarno mengangkat diri sebagai Presiden sumur hidup, Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertiggi ABRI dan bergelar Paduka Yang Mulia, atas nama Pancasila pemerintahan saat itu membubarkan Masyumi dane PSI (Partai Sosialis Indonesia) serta membkukan Partai Murba.
Atas nama Pancasila dan revolusi, Soekarno juga menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh bangsa seperti Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Anak Agung Gde Agung, Prawoto Mangkusasmito dan Buya Hamka. Roem dan Sjahrir adalah tokoh yang ikut terlibat mendirikan negara ini bersama Soekarno, namun keduanya berakhir di penjara kawan karibnya.
Bahkan seniman, sastrawan serta musisi juga banyak yang ditangkap atas nama Pancasila pada masa Orde Lama, seperti Pramoedya Ananta Tur dan grup band Koes Bersaudara.
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto juga membentuk lembaga penjaga Pancasila, yaitu BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Lembaga ini bertahan cukup lama sejak 1979, dan berhasil menanamkan ideologi Pncasila sebagai tuntunan moral masyarakat yang terangkum dalam Butir-Butir Pancasila.
Namun tetap saja ada sisi kelam, ketika pemerintah Orde baru menangkap dan mengibiri hak politik beberapa orang karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Pemerintahan SBY relatif aman dan stabil dari hiruk pikuk Pancasila. Karena sepuluh tahun masa pemerintahannya fokus pada pembangunan dan pengentasan kemiskinan. SBY dan jajaran pendukungnya tidak mengklaim paling Pancasila dan tidak membentuk lembaga untuk menafsirkannya.
BPIP bentukan Jokowi justu menimbulkan gejolak dan polemik hebat di tengah masyarakat. Tidak hanya soal hak keuangan yang fantastis, namun juga secara administrasi negara, keberadaan BPIP dianggap bermasalah. BPIP terkesan hanya sebagai wadah untuk menghimpun para pendukungnya, sebagai wujud terimakasih dan alat untuk melapangkan jalan mempertahankan kekuasaan.
Prof Salim Said, Dr Refly Harun dan Prof Suteki adalah kalangan akademisi yang tidak setuju adanya BPIP. Bahkan beberapa organisasi profesi berniat mengajukan gugatan atas dibentuknya BPIP. Salah satunya dalah MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia). MAKI menganggap pembentukkan BPIP cacat hukum dan melanggar konstitusi.
Demikian tiga jilid ABP (Aksi Bela Pancasila) pada era Jokowi yang justru menimbulkan gesekan dan berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan.
Salam Indonesia Raya,
Salam Bhineka Tunggal Ika,
Salam Pancasila,

Arief Luqman El Hakiem 
Pegiat Media dan Pengamat Kebijakan Publik












Kamis, 07 Juni 2018

KORUPSI & DESAKRALISASI PARPOL


Saya merasa perlu mengomentari dan menulis secara khusus untuk memberikan pencerahan kepada sedulur ngopi saya Pakde Hargo Yohanes, dan teman medsos Om Wisnu Haryoko, mungkin juga penting buat rekan Netizens lainnya, tentang Partai Politik dalam kaitannya dengan korupsi. Kalau tidak salah keduanya adalah ASN (Aparatur Sipil Negara) Kabupaten Kebumen.
Memang benar, banyaknya kader parpol yang terjerat kasus korupsi sedikit banyak mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap keberadaan parpol. Wajar jika ada sebagian masyarakat yang kemudian skeptis, tidak percaya dan menganggap parpol itu tidak penting.
Bahkan, Pakde Hargo Yohanes dalam beberapa komentar dan pernyataan menyebutkan bahwa Parpol hanya sebatas kendaraan politik untuk meraih kekuasaan atau kursi dewan. Statemen ini menurut saya berbahaya dan perlu diluruskan, agar tidak menggelinding menuju desakralisasi parpol yang bermuara pada apatisme publik terhadap parpol.
Menurut saya, keberadaan parpol dalam sistem demokrasi sangat vital dan fundamental. Kerja dan perjuangan anggota parpol adalah mulia dan suci. Karena menjadi bagian dari elemen bangsa dalam membentuk pemerintahan yang adil dan amanah sebagai syarat terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan beradab.
Secara detail, apa itu pengertian, tugas pokok dan fungsi serta segala pernak pernik parpol, bisa dibaca rinciannya di UU No. 2 Tahun 2008 kemudian diubah dengan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Menurut Miriam Budiardjo, Partai Politik adalah sebuah kelompok yang terorganisir yang anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Pada Pasal 10 UU No.2 Tahun 2008, tujuan partai politik ada 3, yaitu : (1) Untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. (2) Untuk memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara. (3) Untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara.
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, Parpol adalah instrumen utama pada gelaran Pemilu (Pilpres, Pilkada dan Pileg). Tanpa parpol tidak akan ada Pemilu. Tanpa Pemilu tidak ada pemimpin (Presiden, Gubernur, Bupati /Walikota, dan anggota dewan) yang legitimate. Tanpa pemimpin yang legitimate, apa jadinya negara ini.
Apakah akan dikembalikan kepada jaman kerajaan dimana tahta penguasa diwariskan secara turun temurun sebatas pada keluarga istana ? Dimana sabda raja adalah undang-undang yang bersifat mutlak dan mengikat ?
Bahwa hari ini kita melihat kegagalan parpol menjaga kehomatannya, ini yang menjadi PR bersama, yang harus dibenahi dan diperbaiki bersama. Banyaknya kader parpol yang terlibat dalam permufakatan jahat perampokan uang negara, adalah tugas kita semua untuk meluruskannya.
Ketika hanya satu dua kader yang tersangkut pidana korupsi, itu layak disebut kasus. Namun jika kader yang terjerat korupsi mencapai belasan bahkan puluhan, maka ini adalah fenomena. Gejala akut yang harus ditangani segera.
Ada yang salah dalam sistem pembinaan internal partai, mulai dari perekrutan, pengkaderan, perencanaan karir, bahkan mungkin pengelolaan keuangan partai.
Dua kasus terkini yang menimpa PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) adalah contoh nyata kegagalan partai melakukan pembinaan. Tasdi, Bupati Purpalingga yang terkena OTT KPK, bukan kader sembarangan, dia adalah Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) 3 periode. Kemudian M Samanhudi Anwar, Walikota Blitar, juga Ketua DPC. Keduanya adalah pimpinan tertinggi partai di tingkat cabang (Kabupaten/Kota).
Seharusnya sebuah parpol memiliki sistem pembinaan dan screening yang ketat sehingga orag-orang yang menduduki jabatan puncak di tiap level adalah pribadi-pribadi yang berkarakter dan terjamin integritasnya. Hal ini bisa terwujud jika setiap parpol memiliki sistem pembinaan berjenjang dan terukur. Harus ada pendidikan politik, wawasan kebangsaan, moral ethics dan pembangunan karakter secara terstruktur yang dilakukan oleh Parpol.
Sekelas ormas atau organisasi mahasiswa memiliki pembinaan yang berjenjang, masa parpol tidak ada. Di HMI kita mengenal ada LK (Latihan Kader), di KAMMI ada DM (Daurah Marhalah), di IMM ada DA (Darul Arqam), dan sebagainya. Lulusan tiap jenjang pembinaan adalah para kader yang dijamin kualitas dan integritasnya.
Juga ada reward and pushment yang diberikan kepada para kader atas kinerja serta kontribusinya pada partai. Tidak fair rasanya jika ada kader partai yang berjasa bertahun-tahun membesarkan partai, tiba-tiba dipecat dengan tidak hormat ketika tersandung sebuah kasus. Mestinya partai juga ikut bertanggung jawab dan memberikan pendampingan, sehingga si kader tidak merasa sendirian dan ditinggalkan.
Jangan muncul kesan bahwa parpol hanya mau enaknya saja. Menerima dengan suka cita sumbangan keuangan, menyanjung dan membangga-banggakan ketika berprestasi, namun mencampakkan begitu saja ketika jatuh dan terjerat kasus korupsi.
Secara administrasi negara, mestinya ada sistem sanksi yang tegas kepada parpol yang kadernya tersandung kasus, terutama tindak pidana korupsi. Misalnya dalam bentuk pemotongan bantuan, pembatasan kegiatan dan kampanye, denda hingga pembubaran sebuah parpol jika dirasa sudah keterlaluan.
Organisasi semacam FIFA atau PSSI juga menerapkan sistem sanksi tanggung renteng bagi klub atau kelompok supporter yang melanggar disiplin. Sebuah klub bisa terkena sanksi denda, pertandingan tanpa penonton, pindah lokasi pertandingan, hingga dibekukan ketika ada oknum supporternya yang bertindak anarkis. Sebuah klub harus menanggung akibat ulah suppoternya.
Demikian juga parpol, juga harus menanggung akibat ulah kader atau kelompok simpatisannya. Disamping sanksi sosial, tidak dipilih pada saat Pemilu, juga harus ada sanksi secara undang-undang. Karena bisa jadi, alasan seorang kader melakukan korupsi karena besarnya upeti yang harus disetorkan ke partai secara periodik, maupun pada saat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah maupun calon anggota dewan.
Tahun 2018 dan 2019 adalah momentum perbaikan partai dan saatnya masyarakat memberikan sanksi kepada partai-partai yang kadernya tidak berintegritas dan tidak amanah.
Saatnya Anda semua memilih dan menentukan arah perjalanan negeri ini, pada ajang Pilkada Serentak 2018 dan Ajang Pemilu 2019...

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik