Cari Blog Ini

Selasa, 24 Juli 2018

JOKOWI GAGAL CAPAI TARGET KEDAULATAN PANGAN


Presiden Joko Widodo mencantumkan kedaulatan pangan sebagai salah satu program prioritas dalam Nawacita. Tahun 2014, saat baru menjabat sebagai presiden, Jokowi menargetkan swasembada sejumlah komoditas pangan strategis seperti padi, jagung, kedelai, dan gula bisa terlaksana dalam tiga tahun. 

Program Jokowi ini berbeda dari program ketahanan pangan di era Soeharto. Dalam konsep ketahanan pangan, seluruh kebutuhan makanan masyarakat Indonesia harus terpenuhi, tak peduli dari mana sumbernya. 

Target Jokowi lebih jauh dari itu. Kedaulatan pangan berarti memenuhi kebutuhan pangan dari produksi negeri sendiri. Dengan kata lain, tak ada impor beras, jagung, gula, kedelai, atau bahkan daging. 

Visi tentang kedaulatan pangan sudah digembar-gemborkan Jokowi sejak masa kampanye. Ia bahkan mendapat dukungan dari Serikat Petani Indonesia (SPI)—organisasi petani yang mengampanyekan kedaulatan pangan. 

Setelah dilantik menjadi presiden, Jokowi menunjuk Amran Sulaiman sebagai menteri pertanian. Keputusan ini sempat membuat sejumlah pihak meragukan visi kedaulatan pangan bisa tercapai. Amran adalah pemilik perusahaan pestisida dan dekat dengan pebisnis di sektor pertanian. Dalam sebuah konferensi pers pada Oktober 2014, Koordinator Advokasi dan Jaringan Bina Desa Ahmad Yaqub menyatakan hal itu bertentangan dengan upaya petani kecil selama ini. Sebelum di Bina Desa, Yaqub aktif di SPI. 

Selama ini, lanjut Yaqub, para petani kecil berjuang untuk keluar dari lingkaran racun pestisida (insektisida, herbisida, rodhentisida, fungisida, dan akarisida). Teknologi penggunaan racun pestisida bukan mengatasi masalah tetapi justru menimbulkan masalah ledakan hama dan masalah-masalah baru meliputi lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan sumber daya manusia.

Pada 2014 itu anggaran untuk program kedaulatan pangan mencapai Rp67,3 triliun. Anggaran ini digunakan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan. Dana itu dialokasikan lewat empat komponen, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, subsidi pupuk, dan subsidi benih. 

Tahun ini, anggaran kedaulatan pangan untuk empat komponen itu melonjak hingga 53,2 persen menjadi Rp103,1 triliun. Tahun ini pula seharusnya swasembada sejumlah kebutuhan pangan sudah tercapai. Bagaimana realisasinya?

Impor beberapa komoditas berhasil ditekan, salah satunya jagung. Tahun lalu, pemerintah memang berhasil menekan impor jagung dari 3,6 juta ton pada 2015 menjadi hanya 900 ribu ton pada 2016. Namun, berkurangnya impor jagung ternyata memunculkan masalah-masalah lain.

Menurut Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), penghentian impor jagung ternyata memberikan dampak negatif lain. Sebanyak 483.185 ton jagung impor tertahan di pelabuhan. Harga pakan ternak pun melonjak hampir 20 persen. Data dari Kadin menunjukkan harga jagung saat panen raya pada bulan Maret naik dari Rp4.000 per kilogram menjadi Rp4.500 per kilogram. 

Akan tetapi, kenaikan itu bukan semata-mata karena ditutupnya keran impor. Ketua Dewan Jagung Nasional, Tony J. Kristianto, menyebutkan naiknya harga jagung beberapa bulan lalu dipengaruhi oleh beban biaya logistik. Hal itu karena banyak produksi jagung di luar Jawa sedangkan banyak pengusaha yang membeli jagung dari pulau Jawa.

Berkurangnya impor itu memang bisa ditutup dari kenaikan produksi. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi jagung naik 18,11 persen dari 2015 menjadi 23,16 juta ton pada 2016. 

Selama tiga tahun ini pula, Pemerintahan Jokowi-JK menyatakan telah berhasil menghentikan impor beras medium, cabai, dan bawang merah.

Data Pemberitahuan Impor Barang (PIB) Ditjen Bea Cukai menunjukkan impor beras pada 2016 sekitar 1,3 juta ton, dan sepanjang Januari hingga Mei 2017, Indonesia masih mengimpor beras 94 ribu ton. Kementerian Pertanian menyatakan impor beras yang cukup besar pada 2016 adalah sisa dari kontrak impor tahun 2015. 

Terhitung sejak 2016 lalu, impor beras medium sudah dihentikan. Beras medium adalah beras yang dimakan oleh masyarakat sehari-hari. Ada pula jenis beras khusus yang tidak bisa diproduksi petani dalam negeri—beras yang digunakan dalam nasi biryani di restoran-restoran India, misalnya. Untuk jenis beras khusus ini, Indonesia tentu tidak bisa berhenti mengimpor. 

Meski impor sejumlah komoditas berhasil ditekan, tetapi ada juga impor komoditas lain yang masih tinggi. Salah satunya adalah gandum. Menurut data BPS, impor gandum pada periode Januari-November 2016 tercatat sebesar 9,79 juta ton. Angka ini naik signifikan dari 6,77 juta ton tahun sebelumnya. 

Indonesia memang tidak bisa menghasilkan gandum dan tak mungkin menghentikan impor gandum. Yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah menekan konsumsi produk olahan gandum agar Indonesia tak bergantung pada bahan pangan yang tak bisa diproduksi sendiri. 

Beberapa bahan pangan pun belum bisa ditingkatkan produksinya untuk menekan impor. Kedelai dan kacang tanah adalah dua di antaranya. Sebagai negara pembuat tempe, Indonesia membutuhkan sekitar 2 juta ton kedelai setiap tahun. Sayangnya, produksi dalam negeri menurut BPS masih kurang dari satu juta ton. Tahun 2014, total produksi kedelai di Indonesia hanya 954.997 ton. Setahun kemudian, angkanya naik, tetapi tak signifikan, hanya 963.183 ton. Tahun 2016, produksi malah turun ke angka 890.000 ton. Tahun ini diprediksi turun lagi menjadi hanya 750.000 ton. 

Swasembada kedelai telah dicanangkan sejak 2014, tetapi sampai 2017 ini masih jauh panggang dari api. Setiap tahun, Indonesia lebih banyak mengimpor kedelai dari yang bisa diproduksi. Ini ironi lain di negara produsen tempe. Tahun lalu, misalnya, impor kedelai mencapai 2,3 juta ton. Sampai akhir tahun ini, angka impor kedelai diperkirakan naik menjadi 2,53 juta ton. 

Produksi kacang tanah lebih menyedihkan dibanding kedelai. Kalau produksi kedelai sempat naik tipis pada 2015, produksi kacang tanah malah menurun. Tahun 2013, produksi kacang tanah Indonesia bisa menyentuh angka 701.680 ton. Tahun 2014, pada masa awal pemerintahan Jokowi-JK, angkanya turun menjadi 638.896 ton. Tahun 2015, total produksi turun lagi menjadi 605.449 ton. 

Padahal kebutuhan kacang tanah menurut Kementerian Pertanian sekitar 700 ribu ton pada 2016. Alhasil, Indonesia masih harus mengimpor kacang tanah. Sepanjang 2014, volume impor kacang tanah tercatat sebesar 253.236 ton. Tahun 2015, meski produksi menurun, tetapi volume impor juga turun tipis menjadi hanya 194.430 ton.

Infografik Menakar kebijakan pangan jokowi

Lahan Petani Minim

Persoalan lain yang masih harus dibenahi adalah ketimpangan dan kepemilikan lahan pertanian, meski problem ini warisan pemerintahan sebelum Jokowi. 

Menurut laporan INDEF, Rasio Gini lahan mencapai 0,64 pada 2013, naik dari 0,54 pada 1973. Akibatnya, berdasarkan sensus pertanian tahun 2013, sekitar 56,03 persen petani Indonesia adalah petani gurem yang penguasaan lahannya kurang dari 0,5 hektar.

Ketimpangan lahan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kesejahteraan petani. Usaha tani juga tidak memenuhi skala ekonomi. Agar memenuhi skala ekonomi, luas lahan padi, jagung, dan kedelai yang ideal adalah satu hektare. Namun, rata-rata luas lahan yang dikuasai petani hanya 0,8 hektare. Di negara-negara tetangga, pemilikan lahan rata-rata petani lebih besar dari itu. Di Thailand, rata-rata sekitar 3,2 hektare, sedangkan di Filipina 2 hektare.

Tingkat kesejahteraan petani yang rendah menjadikan sektor pertanian tidak menarik bagi para angkatan kerja muda. Pada 2012, penduduk yang bekerja di sektor pertanian hanya 35,19 persen dari total tenaga kerja. Tahun lalu, porsinya hanya 31,74 persen. Ketika kebutuhan pangan meningkat, persentase pekerja di sektor pertanian malah menurun.

Pemerintahan Jokowi menargetkan pencetakan lahan baru rata-rata 100 ribu hektare per tahun. Namun, apa yang dicapai kurang dari setengahnya. 

INDEF menilai program reformasi agraria pun masih isapan jempol belaka. Ambisi Presiden Jokowi untuk melakukan redistribusi lahan seluas 9 juta hektare sama sekali belum menunjukkan hasil. 

“Kebijakan reforma agraria justru disimpangkan menjadi sekadar sertifikasi tanah gratis,” ujar Bhima Yudhistira, ekonom INDEF. Menurutnya, hakikat sertifikasi bukanlah bertujuan mengurangi ketimpangan struktur kepemilikan lahan. Ia justru berpotensi memperparah ketimpangan lahan jika sertifikasi tak tepat sasaran. 

Januari tahun ini, dalam Rapat Kerja Nasional, Jokowi kembali menyinggung soal kedaulatan pangan. Ia meminta Kementerian Pertanian "terus bersinergi" dengan kementerian dan lembaga lain untuk mewujudkan salah satu agenda Nawacita: kedaulatan dan kemandirian pangan. 

Jokowi meminta Kementerian Pertanian bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar memanfaatkan potensi lahan tadah hujan seluas 4 juta hektare dengan membangun embung dan sumber air lain sehingga produksi bisa meningkat.

Jokowi juga mengamanatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat agar segera melakukan rehabilitasi dan normalisasi sungai untuk irigasi seluas 3 juta hektare. Kementerian BUMN pun diminta untuk terus menggerakkan perbankan menyalurkan Kredit Usaha Rakyat bagi petani untuk perluasan usaha, hilirisasi produk, serta pengembangan karet, kopi, sawit, kakao, dan ternak sapi. Kementerian Perdagangan dan Badan Urusan Logistik juga diperintahkan untuk menyerap produk petani dan secara ketat melakukan stabilisasi harga pangan.

Jokowi tampak masih akan berusaha untuk mencapai kedaulatan pangan. Usaha ini tentu saja sebuah kabar baik bagi Indonesia. Tetapi masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-JK agar Indonesia bisa mandiri dan berdaulat dalam perkara pangan.  (Wan Ulfa Nur Zuhra).

sumber : tirto.id

KETAHANAN PANGAN DAN KEDAULATAN PANGAN


KONSEPSI SERIKAT PETANI INDONESIA (SPI) TENTANG KEDAULATAN PANGAN
A. Kebangkitan Perjuangan Kedaulatan Pangan di Dunia
Persoalan pangan bagi bangsa indonesia, dan juga bangsa-bangsa lainnya di dunia ini adalah merupakan persoalan yang sangat mendasar, dan sangat menentukan nasib dari suatu bangsa. Ketergantungan pangan dapat berarti terbelenggunya kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap suatu kelompok, baik negara lain maupun kekuatan–kekuatan ekonomi lainnya. La Via Campesina (organisasi perjuangan petani internasional) sebagai organisasi payung Serikat Petani Indonesia (SPI) di tingkat Internasional telah memperkenalkan konsep kedaulatan pangan (Food Sovereignty) bagi umat manusia di dunia ini pada World Food Summit (WFS) yang dilaksanakan pada bulan November 1996 di Roma, Italia.
Kedaulatan Pangan adalah konsep pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga—yang berdasarkan pada prinsip solidaritas.
Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan secara mandiri dan hak untuk menetapkan sistem pertanian, peternakan, dan perikanan tanpa adanya subordinasi dari kekuatan pasar internasional. Terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah:
  1. Pembaruan Agraria;
  2. Adanya hak akses rakyat terhadap pangan;
  3. Penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan;
  4. Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan;
  5. Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi;
  6. Melarang penggunaan pangan sebagai senjata;
  7. Pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian.
Selain ketujuh syarat tersebut, praktek untuk membangun kedaulatan pangan harus dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar sebagaimana pada diagram di bawah ini :
Dalam perkembangannya, perjuangan mewujudkan kedaulatan pangan ini semakin massif. Salah satu momentum penting dalam perjuangan kedaulatan pangan ini terjadi pada Juni 2002, pada pertemuan World Food Summit Five Years Later di Roma. Dalam pertemuan ini sejumlah organisasi sosial yang mewakili petani kecil, buruh tani, nelayan, masyarakat adat bersama sejumlah NGO membentuk International Planning Committee for Food Sovereignty (IPC). IPC berperan untuk memfasilitasi dialog antara masyarakat sipil dan FAO dalam mewujudkan kedaulatan pangan.
Konsep kedaulatan pangan pun semakin dikembangkan dan mendapat dukungan yang meluas. Pada tahun 2007 diadakanlah konferensi internasional Kedaulatan Pangan di Nyeleni, Mali. Konferensi ini semakin menguatkan pemahaman dan perjuangan gerakan sosial mewujudkan kedaulatan pangan menjadi alternatif menjawab permasalahan pangan dan pertanian global.
Selanjutnya pasca krisis pangan yang melanda seluruh dunia di awal tahun 2008, terjadi reformasi besar di dalam tubuh Komite Ketahanan Pangan PBB (CFS) akibat tekanan dan kritik masyarakat sipil. Pada sidang ke-35 Komite Ketahanan Pangan bulan Oktober 2009, secara resmi CFS membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat sipil untuk terlibat dan memainkan peranan penting dalam menyusun kebijakan untuk menghapuskan kelaparan di dunia. CFS bertugas mengatasi kelaparan dunia dengan gerakan petani sebagai salah satu anggota pada Advisory Committee-nya. Ini menjadi jalan yang membuka dialog antara petani kecil dan petani korban dengan institusi-institusi seperti FAO (Food and Agriculture Organization), WFP (World Food Program), dan IFAD(International Fund for Agricultural Development).
Hal ini dimanfaatkan gerakan petani dan masyarakat sipil lainnya untuk memasukkan sebuah alternatif sistem pangan yang demokratis – sepertiyang didiskusikan dalam Komisi FAO untuk Ketahanan Pangan Dunia– yangharus dilaksanakan agar negara-negara dan masyarakat di sekuruh dunia memiliki hak untuk melaksanakan kedaulatan pangan. Solusi sejati mengatasi krisis pangan berarti bahwa petani kecil, dan bukan perusahaan transnasional, harus mendapatkan kontrol atas sumberdaya agraria yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan yaitu, tanah, air, benih dan pasar lokal. Akhirnya konsep kedaulatan pangan menjadi alternatif bagi kebijakan ekonomi di banyak negara.
 B. Kebangkitan Perjuangan Kedaulatan Pangan di Indonesia
Di tingkat nasional perjuangan kedaulatan pangan pun mulai semakin masif. Pendidikan di tingkat organisasi tani menjadi hal yang signifikan untuk memperkuat perjuangan kedaulatan pangan ini. Hal ini penting untuk memperkuat tekanan rakyat dalam perubahan kebijakan pangan dan pertanian di tingkat nasional hingga daerah.
Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan tercapai apabila petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi serta berbagai kebijakan yang mendukungnya dalam bingkai pelaksanaan pembaruan agraria. Hal ini perlu disertai dengan melaksanakan pertanian rakyat yang berkelanjutan bukan saja untuk memperbaiki kualitas tanah, lingkungan dan produksi yang aman bagi kesehatan manusia. Program tersebut hendaknya dijalankan dengan sungguh-sungguh sembagai upaya untuk melepas ketergantungan terhadap perusahaan-perusahaan transnasional penghasil input pertanian.
Gerakan kedaulatan pangan mulai meluas di Indonesia terutama sejak tahun 2002. Karena meskipun krisis pangan belum terjadi, namun tanda-tanda kegagalan konsep ketahanan pangan yang dijalankan FAO sudah mulai terlihat. Karena itu berbagai inisiatif sudah dilakukan gerakan rakyat  di Indonesia seperti membangun koalisi penegakan kedaulatan pangan. Pergerakan ini mendapat respons positif dari kalangan partai, dengan adanya aksi di ruang parlemen untuk penolakan atas impor beras di Indonesia. Kemudian berbagai seminar juga dilakukan oleh kalangan partai untuk memahami sebab-sebab terjadinya ketergantungan pangan, seperti yang dilakukan oleh PDI-P pada tahun 2006 di Bali.
Di tingkat parlemen, ketergantungan pangan dan tak sanggupnya Indonesia menghasilkan produksi pangan dalam negeridijawab oleh DPR dengan keluarnya UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan untuk mencegah konversi lahan pertanian ke non pangan. Krisis pangan tahun 2008 menyadarkan banyak kalangan bahwa untuk memperkecil ketergantungan pangan di Indonesia, harus lebih luas lagi upaya yang harus dilakukan.Tidak cukup hanya sekedar mencegah konversi lahan, tapi harus lebih luas lagi, mengatur soal perdagangan pangan.
Atas desakan dari gerakan rakyat, diantaranya pada 24 Februari 2011, SPI bersama sejumlah organisasi tani lainnya, organisasi sosial lain, LSM, hingga para akademisi menggagas suatu Petisi Kedaulatan Pangan Rakyat IndonesiaPetisi Kedaulatan Pangan ini bertujuan untuk memperkuat dan memperluas desakan kepada pemerintah untuk mengubah sistem pangan dan pertanian yang ada saat ini demi melindungi dan memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia.
Kebangkitan perjuangan kedaulatan pangan ini juga mulai terlihat dengan adanya respons  di tingkat legislasi dengan perubahan UU Pangan No. 7/1996 guna menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan kepada setiap warga negara. Sejumlah organisasi terkait yang berkompeten – diantaranya SPI, Indonesia Human Right Commission for Social Justice (IHCS), Solidaritas Perempuan (SP), Bina Desa dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) – jugatelah menyampaikan naskah akademik untuk perubahan Undang-undang tersebut. Langka ini melahirkan UU Pangan No. 18 tahun 2012 yang berisi tentang prinsip-prinsip kedaulatan pangan. Kemudian untuk memperkuat posisi hak asasi  petani petani sebagai kekuatan utama untuk memproduksi pangan,  SPI dan gerakan sipil lainnya melalui proses panjang sejak tahun 2000, akhirnya  berhasil mendorong parlemen untuk mengeluarkan UU N0. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.  Tidak berhenti gerakan rakyat di Indonesia juga melakukan upaya pengaturan kembali atau mencabut undang-undang sektoral yang saling bertabrakan dan tidak menguntungkan rakyat dan negara Indonesia, seperti UU Perkebunan No.18/2004, UU Pengelolaan Sumber Daya Air No.7/2004, UU Kehutanan No. 19/2004, dan  UU Penanaman Modal No. 25/2007.
Kedaulatan pangan saat ini telah memasuki era baru, setelah Jokowi-JK – Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia 2014-2019) – memasukkan kedaulatan pangan ke dalam satu diantara sembilan cita-cita politik yang harus dilaksanakannya. Karena itulah rakyat tani yang merupakan pihak pengusul dan menjadi kelompok terbesar pendukung pemenangan Jokowi-JK dalam kampanye pemilihan presiden-wakil presiden, harus turut memastikan bahwa janji pelaksanaan kedaulatan pangan tersebut benar-benar bisa diwujudkan.
sumber : spi.or.id

Minggu, 08 Juli 2018

REUNI AKTIFIS 9 MINUS 8

Beberapa orang yang menamakan diri sebagai aktifis 98 kemarin Sabtu (7/7) menggelar acara yang diberi label Rembug Nasional di JI-Expo Jakarta.

Acara yang diinisiasi oleh Faizal Assegaf, Adian Napitupulu dan kawan-kawan dihadiri pula oleh Presiden Joko Widodo dan beberapa politis.

Sah-sah saja Adian Napitupulu mengklaim dan mencatut nama aktifis 98 meski tidak semua tokoh kunci dalam Gerakan Reformasi tahun 1998 hadir dan mendukung acara tersebut. Justru di lapangan nampak beberapa orang yang sama sekali tidak terlibat dalam aksi mahasiswa 1998.

Dari dokumentasi yang beredar di media nampak beberapa orang yang dipastikan bukan aktifis 98. Mereka para lansia, anak-anak dan beberapa politisi yang tidak pernah tahu untuk apa mereka dikumpulkan. Bahkan tercyduk beberapa peserta mengenakan identitas partai politik tertentu.

Sebagai bagian dari pergerakan mahasiswa 1998, saya lebih suka menyebut acara mereka sebagai Konsolidasi Kekuasaan yang digagas oleh para Aktifis 9 Minus 8. Adian Napitupulu yang politisi PDI-P membajak nama Aktifis 98 untuk memuaskan syahwat pribadinya.

Ada beberapa alasan kenapa saya menyebut demikian ;

1. Gerakan 1998 adalah gerakan moral yang dimotori oleh para mahasiswa menyikapi situasi tanah air waktu itu. Aksi mahasiswa yang dimotori oleh BEM dan organisasi mahasiswa seperti KAMMI, HMI, IMM, PMII dan sebagainya bukan gerakan politik.

2. Rembug Nasional kemarin Sabtu (7/7) juga tidak layak disebut sebagai rembug nasional, tapi lebih layak disebut sebagai konsolidasi mempertahankan kekuasaan Jokowi dan kelompoknya.

3. Pernyataan sikap yang dihasilkan adalah omong kosong dan hanya propaganda yang lebih merupakan pernyataan politik Faizal Assegaf, Adian Napitupulu dan kawan-kawan.

4. Penolakan Adian Napitupulu dan kawan-kawan terhadap Otoriterianisme, Militerisme dan praktek KKN hanya pencitraan. Fakta 4 tahun sebagai partai pendukung pemerintah berbanding terbalik.

5. Isu HAM bukan prioritas Pemerintahan Jokowi, makanya selama 4 tahun tidak ada progress penanganan kasus HAM, Trisakti, Kematian Munir dan tragedi 98.

6. Dukungan Jokowi 2 periode jelas melanggar konstitusi, karena saat ini Jokowi adalah Presiden definitif, bukan Capres. Dan belum tentu Jokowi maju lagi sebagai Capres Agustus besok.

7. Dukungan kepada pemerintahan Jokowi atas nama mengemban tugas negara bukan karakter asli gerakan mahasiswa. Karena gerakan mahasiswa adalah Gerakan Moral yang mengawal dan mengontrol jalannya pemerintahan.

8. Tuntutan tanggal 7 Juli sebagai Hari Bhineka Tunggal Ika hanya karena ada acara Adian Napitupulu dan kawan-kawan sangat naif dan tendensius. Dimana letak urgensi dan dasar filosofisnya ? Acara deklarasi dukungan politik kug dijadikan hari penting ?

Jadi, acara yang disebut rembug nasional oleh Adian Napitupulu dan Faizal Assegaf kemarin hanyalah akal-akalan sekelompok orang yang harus kekuasaan dan trik menggaet anggaran hingga 10 miliar.

Semoga para aktifis 98 yang tidak minus menyadari dan mengetahui hal ini.

Salam Revolusi Sampai Mati !

#KamiTidakTakut
#KamiTidamDiam
#KamiBebasMerdeka

Jakarta, 8 Juli 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik juga Aktifis 98 UNS Solo