Cari Blog Ini

Senin, 31 Desember 2018

Waspada, Operasi GM Dibalik Surat Terbuka Untuk HM Amien Rais

Goenawan Mohamad


Setelah berhasil mengobok-obok dan mencaplok Jawa Pos, Goenawan Mohamad (GM) sekarang mengalihkan operasinya dengan mengobok-obok PAN (Partai Amanat Nasional).

Modusnya tidak jauh beda. Dengan mengaku sebagai PAN pendiri, GM, bersama Abdillah Toha, Albert Hasibuan, Zumrotin, dan Toety Herati menyatakan prihatin terhadap perkembangan PAN, terutama karena kiprah Amien Rais yang super-kencang di oposisi anti-Jokowi. GM dan kawan-kawan pun mendesak Amien Rais mundur.

Pasti banyak yang heran mengapa GM tiba-tiba mengklaim haknya sebagai pendiri PAN. Pasti banyak yang bertanya apa kontribusinya terhadap PAN.

Pertanyaan itu juga yang banyak muncul ketika tahun 2017 yang lalu GM mengobok-obok Jawa Pos (JP) dan kemudian mencaploknya dan menempatkan anaknya, Hidayat Jati, di posisi puncak JP setelah mendongkel Azrul Ananda, anak Dahlan Iskan.

JP memang anak Tempo yang saham utamanya dimiliki Ciputra. Dahlan memang anak buah GM. Tapi peran GM dalam membesarkan JP bisa dibilang nol. Artinya, tanpa campur tangan GM pun JP tetap besar.

Awalnya GM malu-malu kucing, dan malah marah-marah ketika muncul berita anaknya akan menggantikan posisi Azrul Ananda. Tapi belakangan setelah ombak reda, Hidayat Jati bin Goenawan Mohamad menjadi penguasa baru JP.

Jelas bin terang motifnya soal perut. Bisnis GM dan keluarganya lagi bangkrut, makanya cari cara untuk mencaplok JP.

Azrul Ananda memang gagal menangani JP, antara lain, karena tidak punya kapasitas leadership yang cukup dan terlalu cepat dikarbit oleh Dahlan Iskan.
Sementara Hidayat Jati belum terdengar kiprahnya di media. Kapasitasnya hampir pasti tak cukup untuk mengelola JP Group yang super-kompleks. Ia
gagal menyelamatkan Femina Group, yang bisa dibilang ecek-ecek dibanding JP Group. Karenanya sulit mengharapkan dia mampu memimpin JP.

Dahlan Iskan dan orang-orangnya di JP terlalu cerdik untuk bisa ditundukkan begitu saja. Dan, terbukti, sekarang praktis GM hanya kebagian pepesan kosong di JP.

Kapal besar JP Group telah pecah dan sebagian besar sudah memisahkan diri dari kapal induk. Kelompok Fajar Group di Indonesia bagian timur sudah memerdekakan diri dan membentuk grup sendiri di bawah bendera FIN (Fajar Indonesia Network) di bawah Alwi Hamu. Alwi menempatkan anaknya, Agus Salim, sebagai nakhoda FIN.

Di wilayah Indonesia barat, perahu JP retak dan kelompok WSM (Wahana Semesta Merdeka) memerdekakan diri, dan menguasai jaringan media di Sumatera sampai Jawa Barat di bawah kendali Suparno Wonokromo

Di Jakarta, Margiono dengan Rakyat Merdeka Group sudah sejak lama terlibat perang dingin dengan JP di bawah Azrul Ananda. Hidayat Jati pasti tak bakal berani berurusan dengan Margiono Rakyat Merdeka Group sudah pasti bebas merdeka dari JP.

Indopos yang jadi satelit JP di Jakarta juga lepas. Kelompok televisi di bawah Mahesa Samola--anak mendiang Eric Samola pendiri JP Group-- juga tak bakal mudah dikendalikan.

Raja-raja kecil di daerah, seperti Rida Kaliamsi di Riau dan Zainal Muttaqin di Kalimantan, sudah pasti tak bakal bisa disetir oleh GM dan anaknya. Praktis sekarang GM hanya kebagian JP dan radar-radar di Jatim dan Jateng. Dibanding dengan empire JP Group yang membentang dari Aceh sampai Papua, apa yang didapat GM bisa dibilang tulang belulang saja.

Upaya menjinakkan JP sudah terasa sejak pemilihan gubernur DKI 2017. GM tak segan turun tangan mencampuri urusan redaksi kalau berita-berita JP memusuhi Ahok. Ia menelepon dan memarahi redaktur JP.

Dahlan Iskan dianggap berbahaya karena (pernah) punya ambisi politik. Ia dihabisi, dikriminalisasi, sahamnya dipreteli.
JP, mungkin, bisa dikuasai. Tapi perlawanan yang dilakukan terhadap GM dan Ciputra sangat cantik tapi mematikan.

Dahlan sekarang memilih duduk manis sambil senam pagi tiap hari. Ia sudah cukup berbakti kepada GM. Sudah 30 tahun ia menjadi angsa bertelor emas.
 Ibarat pepatah "kebo nyusu gudel" Dahlan sudah menyusui GM sejak Tempo dibredel Orde Baru, 1994 sampai sekarang. Tiap tahun Dahlan nyetor dividen miliaran ke GM.
Lunas sudah utang budi Dahlan kepada GM.

Kita tinggal lihat bagaimana kelanjutan operasi GM di PAN sekarang ini. Naga-naganya, motifnya tidak bakal jauh dari urusan perut. (dad)

Senin, 03 Desember 2018

Rest In Paece Pers Indonesia


Tanda-tanda pers Indonesia sedang melakukan bunuh diri massal, semakin nyata. Pemberitaan media massa tentang Reuni 212 yang berlangsung di Monas Ahad (2/12), membuka tabir yang selama ini coba ditutup-tutupi. Kooptasi penguasa, kepentingan idiologi, politik dan bisnis membuat pers menerapkan dua rumus baku,  framing dan black out.

Peristiwa besar yang menjadi sorotan media-media internasional itu sama sekali tidak “menarik” dan tidak layak berita,   bagi sebagian besar media nasional yang terbit di Jakarta.

Sejumlah pembaca Harian Kompas pada Senin (4/12) pagi dibuat terkejut ketika mendapati  koran nasional itu sama sekali tidak memuat berita  jutaan orang yang berkumpul di Monas. Halaman muka Kompas bersih dari foto, apalagi berita peristiwa spesial tersebut.

Setelah dibuka satu persatu, peristiwa super penting itu ternyata terselip di halaman 15. Dengan judul “Reuni Berlangsung Damai”  Kompas hanya memberi porsi berita tersebut dalam lima kolom kali seperempat halaman,  atau sekitar 2.500 karakter. Tidak ada foto lautan manusia yang menyemut dan memadati kawasan Monas dan sekitarnya.

Bagi Harian Kompas peristiwa itu tidak penting dan tidak ada nilai beritanya (news value). Halaman 15 adalah halaman sambungan, dan topiknya tidak spesifik. Masuk kategori berita dibuang sayang. Yang penting ada. Karena itu namanya halaman “umum.” Masih untung pada bagian akhir Kompas mencantumkan keterangan tambahan “Berita lain dan foto, baca di KOMPAS.ID.

Kompas memilih berita utamanya dengan judul “Polusi Plastik Mengancam.” Ada dua berita soal plastik, dilengkapi dengan foto seorang anak di tengah lautan sampah plastik dalam ukuran besar. Seorang pembaca Kompas yang kesal, sampai membuat status “Koran Sampah!”

Halaman muka Harian Media Indonesia milik Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh juga bersih dari foto dan berita Reuni 212. Mereka memilih berita utama dengan judul “ PP 49/2018 Solusi bagi Tenaga Honorer.”

Harian Sindo Milik Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoe memilih berita utamanya “ Pesona Ibu Negara di Panggung G-30” dengan foto-foto mereka dalam ukuran besar.  Koran  Tempo memilih berita utama “Menuju Ekosistem Digital” yang ditampilkan dalam seluruh halamannya.

Hanya Koran Rakyat Merdeka, Republika yang memuat berita dan foto peristiwa Reuni 212 di halaman muka.  Rakyat Merdeka menulis Judul “212 Makin lama, Makin Besar Kenapa Ya?.” Republika menulis  Judul  “Reuni 212 Damai.”  Sementara Harian Warta Kota memuat foto lepas,  suasana di Monas dengan judul berita yang dengan berita utama yang sangat besar “Ketua RW Wafat Usai Reuni.”

Agenda Setting

Dengan mengamati berbagai halaman muka media,  kita bisa mendapat gambaran apa terjadi di balik semua itu? Media bersama kekuatan besar di belakangnya, tengah melakukan agenda setting.

Mereka membuat sebuah skenario menenggelamkan peristiwa Reuni 212, atau setidaknya menjadikan berita tersebut tidak relevan. Operasi semacam ini hanya bisa dilakukan oleh kekuatan besar, dan melibatkan biaya yang cukup besar pula.

Target pertama black out sepenuhnya. Jangan sampai berita tersebut muncul di media.  Untuk kasus pertama ini kelihatannya tidak ada media yang berani mati dan mengabaikan akal sehat.

Reuni 212 terlalu besar untuk dihilangkan begitu saja. Kasusnya jelas berbeda dengan unjukrasa Badan Eksekutif Media Se-Indonesia (BEMSI), dan ribuan guru honorer yang berunjuk rasa ke istana beberapa waktu lalu. Pada dua kasus itu mereka berhasil melakukan black out.

Target kedua, kalau tidak bisa melakukan black out, maka berita itu harus dibuat tidak penting dan tidak relevan. Apa yang dilakukan Kompas, dan Media Indonesia masuk dalam kategori ini.

Target ketiga, diberitakan, namun dengan _tone- yang datar dan biasa-biasa saja. Contohnya pada Republika. Meski dimiliki oleh Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, harap diingat latar belakang koran ini adalah milik umat.  Tidak mungkin mereka menempatkan berita ini di halaman dalam, apalagi menenggelamkannya.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi, bila  Republika berani mengambil posisi seperti Kompas? Ketika Erick memutuskan bersedia menjadi ketua tim sukses saja banyak pembaca yang sudah mengancam akan berhenti berlangganan. Apalagi bila sampai berani melakukan blac out dan framing terhadap berita Reuni 212. Wassalam.
Target keempat tetap memberitakan, tapi dengan melakukan framing, pembingkaian berita. Reuni memakan korban. Contohnya adalah Warta Kota yang membuat judul “Ketua RW Wafat Usia Reuni.” Berita ini jelas terlihat sangat dipaksakan. Satu orang meninggal di tengah jutaan orang berkumpul, menjadi berita yang menarik dan penting? Sampean waras?

Hal yang sama jika kita amati juga terjadi di media online, dan televisi. Hanya TV One yang tampaknya mencoba tetap menjaga akal sehat di tengah semua kegilaan.

Tidak perlu orang yang punya pengalaman di media untuk memahami semua keanehan yang kini tengah melanda sebagian besar media arus utama Indonesia.

Berkumpulnya jutaan orang dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dan juga kota-kota dunia di Lapangan Monas, apalagi pada masa kampanye, jelas merupakan berita besar. Tidak alasan untuk tidak memuat, apalagi mengabaikannnya.

Bagi kalangan media peristiwa itu jelas memenuhi semua syarat kelayakan berita.  Mau diperdebatkan dari sisi apapun, pakai ilmu jurnalistik apapun, termasuk ilmu jurnalistik akherat, atau luar angkasa (kalau ada), Reuni 212 jelas memenuhi semua syarat.

Luasnya pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), aktual (kebaruan), dampak (impact), masalah kemanusiaan (human interest) dan keluarbiasaan (unusualness), adalah rumus baku yang menjadi pegangan para wartawan.

Permainan para pemilik dan pengelola media yang berselingkuh dengan penguasa ini jelas tidak boleh dibiarkan. Mereka tidak menyadari sedang bermain dengan sebuah permainan yang berbahaya. Dalam jangka pendek  kredibilitas media menjadi rusak. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan. Mereka akan ditinggalkan.

Di tengah terus menurunnya pembaca media cetak, tindakan itu semacam bunuh diri, dan  akan mempercepat kematian media cetak di Indonesia. Dalam jangka panjang rusaknya media dan hilangnya fungsi kontrol terhadap penguasa, akan merusak demokrasi yang kini tengah kita bangun.

Masyarakat, aktivis, wartawan, lembaga-lembaga kewartawanan seperti PWI, AJI, IJTI, maupun lembaga-lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers  tidak boleh tinggal diam. Terlalu mahal harga yang harus dibayar bangsa ini, karena medianya larut dalam konspirasi dan dikooptasi. [rmol]