(Memahami Akar Persoalan Timur Tengah - Baca hingga akhir!!! Agar tidak tertipu dengan propaganda "Jangan Suriah kan Indonesia")
Timur Tengah merupakan kawasan yang strategis. Siapa yang menguasai wilayah ini hampir bisa dipastikan akan mendominasi dunia. Ada beberapa alasan mengapa Timur Tengah menjadi wilayah yang strategis bagi dunia. Pertama, secara geo-politik, kawasan Timur Tengah terletak pada pertemuan Eropa, Asia, Afrika sehingga kawasan ini merupakan pintu masuk utama ke ketiga benua tersebut. Timur Tengah juga berbatasan dengan laut Tengah, laut Merah, laut Hitam, laut Kaspia, Teluk Parsi, dan Samudera Hindia. Di kawasan ini juga terdapat jalur-jalur perairan yang strategis, yaitu Selat Bosphorus, Selat Dardanella, Terusan Suez, Selat el-Mandeb, dan Selat Hormuz.
Kedua, kandungan kekayaan alam, terutama minyak. Penemuan minyak di daerah Timur Tengah menambah nilai strategis kawasan ini. Sebab, minyak adalah sumber energi utama bagi industri dunia, terutama Barat, yang belum bisa digantikan oleh sumber energi lainnya. Enam puluh persen cadangan minyak dunia ada di Timur Tengah. Apalagi, biaya eksploitasi minyak di Timur Tengah sangat rendah. Bayangkan, tanpa digali pun, minyak Timur Tengah bisa muncrat sendiri.
Ketiga, faktor ideologi. Timur Tengah merupakan tempat lahirnya agama-agama besar dunia (Yahudi, Nasrani, Islam). Pada masa lampau, persoalan agama ini bisa menjadi sumber konflik lewat intervensi asing. Prancis, misalnya, sering mengklaim sebagai pembela gereja Kristen latin dan Maronit untuk menguasai Suriah dan Lebanon. Rusia selalu membela gereja-gereja Kristen Ortodok.[1]
Pada masa sekarang, dari kawasan ini muncul gerakan-gerakan Islam ideologis yang menentang penjajahan Kolonialis Barat. Potensi kekuatan Ideologi Islam yang besar di daerah ini mengkhawatirkan penjajah Barat. Bisa disebut, gerakan-gerakan Islam pasca keruntuhan Khilafah Islam muncul dari kawasan ini.
Memahami Akar Persoalan di Timur Tengah
Posisi Timur Tengah yang strategis telah membuat daerah ini menjadi daerah rebutan kekuatan-kekuatan politik dunia. Tidak aneh jika wilayah ini terus-menerus didera konflik. Beberapa persoalan penting yang muncul di Timur Tengah saat ini antara lain:
1. Penjajahan Israel terhadap wilayah Palestina
2. Invasi dan pendudukan AS, Inggris, dan sekutu-sekutu imperialisnya.
3. Keberadaan rezim-rezim boneka yang diktator dan monarki represif seperti di Mesir, Suriah, Irak,Yordania, Saudi Arabia, Kuwait, dan lainnya.
4 Ketimpangan Ekonomi di anatara negara-negara Timur Tengah; antara negara kaya dan negara miskin.
5. Konflik antar gerakan Islam dengan rezim sekular yang diktator.
6. Persaingan antara negara-negara imperialis seperti Prancis, Inggris, Jerman, Rusia, dan AS.
7. Konflik perbatasan antar negara Timur Tengah seperti Iran-Irak, Irak-Kuwait, Sudan-Mesir, Yaman-Saudi Arabia, dll.
8. Pergantian kekuasaan antar rezim di Timur Tengah lewat kudeta atau pemberontakan militer.
9. Kelompok-kelompok separatis di beberapa negara seperti Kurdi di Turki dan irak, pemberontak Kristen di Sudan.
Akar Persoalan Timur Tengah
Sesungguhnya persoalan di Timur Tengah saat ini berakar dari imperialisme Barat ke wilayah tersebut sejak masa kemunduran Kekhilafahan Islam. Semua persoalan sekarang, kalau ditarik, pastilah berhubungan dengan sejarah imperialisme Barat di Timur Tengah dan kemunduran Kekhilafahan Islam. Akar persoalan ini secara tepat disimpulkan oleh David Fromkin dalam bukunya, A Peace to End All Peace, “Pembagian bekas Kekaisaran Ottoman setelah Perang Dunia I menjadi biang keladi ketidakpastian politik dan kemelut di Irak modern dan seluruh Timur Tengnah dalam setengah abad belakangan ini.” [2]
Untuk itu persoalan di Timur Tengah bisa dipecahkan dengan melihat tiga persoalan penting:
1. Kemunduran Khilafah Islam yang menjadi penyebab intervensi Asing di Timur Tengah. Dalam masalah ini perlu dilihat bagaimana Khilafah Islam bisa runtuh, termasuk konspirasi di balik keruntuhannya.
2. Imperialisme Barat terutama Inggris, Prancis, Italia, Jerman, Rusia, dan AS yang menjadi pelaku utama. Di sini perlu diperhatikan bagaimana negara-negara itu membagi-bagi kawasan di Timur Tengah untuk penjajahan mereka, termasuk persaingan abadi di antara negara imperialisme itu sendiri.
3. Rezim-rezim sekular, baik bercirikan monarki dengan label relijius (seperti Saudi), kapitalis, maupun sosialis-komunis yang menjadi boneka negara-negara imperialis untuk menjajah kawasan Timur Tengah. Berkaitan dengan rezim boneka, perlu diperhatikan berbagai bentuk pengkhianatan mereka kepada umat, kerjasama mereka dengan negara-negara penjajah, dan kebijakan-kebijakan mereka yang melestarikan penjajah di Timur Tengah.
Masa Kemunduran Khilafah Islam dan Awal Imperialisme
Krisis di Timur Tengah mulai muncul saat Khilafah Islam dalam keadaan mundur. Satu persatu wilayah kekhalifahan Islam dicaplok oleh negara-negara imperialis; terutama Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Rusia. Karena penghalang utama imperialisme Barat pada waktu itu adalah Khilafah Islam, maka target negara-negara imperialis agar penjajahan mereka langgeng adalah meruntuhkan Daulah Khilafah Islam. Untuk itu, strategi umum yang dilakukan adalah lewat perang pemikiran, menciptakan agen-agen mereka di tubuh umat, dan serangan militer.
Secara pemikiran, negara-negara imperialis melakukan pengaburan ide-ide Islam sebagai tatanilai yang menyeluruh dan menyebarkan ide-ide kufur seperti sekularisme, demokrasi, nasionalisme, dan patriotisme. Hukum-hukum Islam yang mulia diserang. Sebaliknya, nilai-nilai sekularisme ditanamkan agar umat tidak menganggap tegaknya pemerintahan Islam sebagai sebuah kewajiban sehingga Khilafah bukanlah merupakan sistem yang harus dipertahankan. Hal ini tentu saja mengguncangkan kepercayaan umat terhadap Khilafah Islam. Ide-ide nasionalisme juga berhasil memecah-belah umat. Perkara inilah yang memudahkan misis ini, di negeri-negeri Islam didirikan pusat-pusat orientalisme dan misionarisme serta sekolah dan perguruan tinggi asing. Dari lembaga-lembaga inilah mereka melakukan serangan pemikiran.
Serangan militer juga dilakukan terhadap wilayah-wilayah Islam. Persekutuan Barat mengepung Kekhilafahan Ustmaniyah dari brbagai penjuru. Dari Utara, Rusia mendesak ke Asia Tengah dan Laut Hitam; merebut semenanjung Crimee (1774), Kaukasus, Turkestan, dan Iran bagian Utara. Dari Selatan dan Timur, Portugis, Belanda, Inggris dan Prancis berbagi jajahan. Dari barat laut, Kerajaan Hasburg merebut Hongaria dan Yugoslavia. Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte menyerbu Mesir (1798), yang kemudian dirampas Inggris (1801). Abad ke 19 Inggris merebut India, Birma, dan Malaysia. Belanda merebut Indonesia. Prancis bergerak di Afrika mencaplok Aljazair (1830), Sahara Tengah dan Tunisia (1881), dan Maroko (1906-1912). Inggris pun bergerak menguasai Mesir (1882), Sudan (1890), Zanzibar, Kenya, dan Uganda. Jerman bergerak ke Kamerun dan Tanganyika. Italia merebut Eritrea (Ethiopia) dan membagi daerah Somalia bersama Inggris.
Sementara itu, wilayah lain memisahkan diri dari Khilafah setelah dipengaruhi ide-ide nasionalisme. Satu persatu wilayah Balkan, Yunani, Bosnia, Macedonia, Albania, dan Thrace melepaskan diri. Bisa disebut, awal abad ke-20, wilayah Kekhilafahan hanyalah Turki saja, itu pun sedang mengalami persoalan berat. Tujuan politik negara-negara imperialis kemudian berhasil dengan dibubarkannya Daulah Khilafah Islam pada tahun 1924.
Kondisi ini diperburuk oleh agen-agen negara-negara imperialis di wilayah Daulah Khilafah yang berkhianat kepada umat dan Daulah Khilafah. Untuk itu negara imperialis merebut orang-orang seperti Ely Smith (Beirut), Muhammad Ali (Kairo), dan Ibrahim Pasha (Suriah). Satu persatu wilayah Kekhilafahan melepaskan diri dengan cara bersekutu dengnan penjajah. Bersekutu dengan Inggris, keluarga Saud memberontak rerhadap Khilafah. Kamal Attaturk menggerogoti Khilafah Islam dari dalam dengan bekerjasama dengan Inggris. Raja Hussain dan anaknya Abdullah menjadi pemimpin Transyordanoa dengan bantuan Inggris. Pola pengkhianatan seperti ini menjadi bentuk umum untuk menghilangkan pengaruh Khilafah Islam di Timur Tengah.
Pasca Perang Dunia I dan Runtuhnya Khilafah Islam
Situasi pasca PD I yang menempatkan Khilafah Ustmaniyah sebagai pihak yang kalah perang, menyusul kemudian dibubarkannya Khilafah Islam, telah memperluas peluang negara-negara imperialis untuk memperkokoh penjajahan di negeri-negeri Islam. Strategi umum yang dilakukan olehnegara-negara imperialis itu adalah membagi-bagi daerah Khilafah Islam dan membangkitkan nasionalisme di kawasan tersebut agar tidak kembali bersatu di bawah naungan Khilafah Islam. Meskipun sebenarnya ada persaingan di antara negara-negara imperialis tersebut, mereka menyadari perlunya pembagian jatah bekas wilayah Daulah Khilafah Islam. Sebab, konflik internl antar mereka jelas akan menyulitkan mereka sendiri. negara-negara imperialis kemudian membuat berbagai perjanjian untuk membagi-bagi wilayah Daulah Khilafah. Beberapa perjanjian penting antara lain Perjanjian Konstantinopel (18 Maret 1915), Perjanjian London (26 April 1915), dan Perjanjian Sykes-Picot (16 Mei 1916).
Dalam perjanjian rahasia Konstantinopel antara Rusia dan Inggris-Prancis disepakati hal-hal pokok antara lain: tempat-tempat ibadah Islam (Makkah dan Madinah) jangan dikuasai oleh Turki, namun bersama dengan Arab ditempatkan di bawah pemerintahan bebas; Konstantinopel harus menjadi pelabuhan bebas bagi sekutu; Rusia juga mengakui hak-hak Inggris dan Prancis di Turki Asia.[3]
Sebagai balasan atas masuknya Italia ke blok sekutu, Italia diberi kedaulatan penuh atas kepulauan Dodecanese yang strategis di pantai Turki. Italia juga mendapat jatah wilayah Libya.
Perjanjian Sykes-Picot merupakan perjanjian yang sangat penting bagi negara penjajah. Dalam perjanjian itu Rusia memperoleh provinsi-provinsi Khilafah Ustmainiyah seperti Erzerum, Trebizond, Van, dan Bitlis; mendapat bagian timur Kurdistan. Prancis memperoleh daerah Suriah, Adana, dan bagian selatan yang terbentang dan Aintab dan Mardin sampal ke perbatasan Rusia. Di sebelah utara, Prancis memperoleh wilayah yang terbentang dari Ala Dagh sampai ke Egin Kharput (Sisilia). Inggris juga memperoleh bagian selatan Mesopotamia, Baghdad, dan pelabuhan Haifa serta Acre di Palestina; Palestina juga diinternasionalisasikan.[4]
Berdasarkan Konperensi San Remo (24 April 1920), Palestina kemudian diserahkan ke Inggris. Sementara Prancis mendapatkan Suriah dan Lebanon. Perjanjian ini juga mengatur pembagian sumber-sumber minyak antar negara penjajah di Mesopotamia.[5]
Salah satu peristiwa penting yang lain adalah surat dari Kementerian luar Negeri Inggris, Arthur James Balfour, kepada pimpinan Zionis Inggris, Lord Rothschild, pada 2 November 1917. Surat ini menjadi dasar pengakuan Inggris terhadap keberadaan negara Zionis di Palestina. Deklarasi yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Balfour ini kemudian diadopsi oleh LBB (League of Nations) untuk memberikan mandat resmi kepada Inggris menguasal Palestina. Dengan demikian, pembentukan negara Zionis Israel di Palestina merupakan tanggung jawab pemerintah Inggris. Negara Israel inilah yang kemudian menjadi penyebab konflik berkepanjangan krisis dl Timur Tengah. Pasca Perang Dunia II dan Perang Dingin
Kolonialisasi di eks wllayah Kekhilafahan Islam menghádapi tantangan besar dengan bangkitnya semangat kemerdekaan dan anti penjajahan di negeri-negeri tersebut. Mau tidak mau, Inggris, Prancis, dan Italia harus menerima kenyataan ini. Pilihan mereka dua:
memberangus gerakan-gerakan kemerdekaan, yang tentu saja akan menghabiskan energi dan dana yang besar, atau memberikan kemerdekaan kepada negara-negara tersebut sembari tetap menanamkan pengaruhnya. Negara-negara penjajah tersebut sebagian besar memilih jalan yang kedua. Untuk bisa tetap menanamkan pengaruhnya di negara-negara yang akan dimerdekakan tersebut, dilakukan strategi umum antara lain:
Memastikan negara merdeka tersebut berasaskan sekularisme dan demokrasi, atau monarki; asal bukan pemerintahan Islam. Sebab, bentuk pemerintahan Islam akan mengurangi pengaruh mereka nantinya, bahkan mengancam penjajahan mereka (Hal yang sama mereka terapkan terhadap Afganistan dan Irak sekarang).
Memastikan bahwa para penguasa baru negara merdeka tersebut berasal dari kelompok nasionalis-sekular atau sosialis-komunis, bukan kelompok Islam. Tidak mengherankan kalau banyak penguasa Timur Tengah pasca kemerdekaan adalah mereka yang merupakan alumni pendidikan Barat yang berpaham ideologi sekular. Ini juga penting untuk menjadikan mereka pemerintahan boneka (mirip dengan pembentukan pemerintahan Afganistan atau Irak sekarang).
Memberangus setiap gerakan Islam yang menginginkan penegakan syariat Islam dan pemeintahan Islam karena dapat menjadi ancaman ideologis yang nyata bagi penjajah dan rezim-rezim bonekanya.
Membuat organisasi-organisasi regional berbasiskan kesatuan regional. Dibuatlah liga Arab (1945), Persekutuan Regional Afrika Utara, dan Konfederasi Negara-negara jazirah Arab yang mencakup Mesir dan Yaman; negara-negara Teluk disatukan dalam Gulf Co-operation Council (GCC), termasuk OKI. Semua itu ditujukan agar menjadi penghalang bersatunya kaum Muslim atas dasar Islam.
Menciptakan potensi konflik di negeri-negeri tersebut, baik antar kelompok (Islam-Sekular, Syiah-Sunni, dan lain-lain) maupun lewat konflik perbatasan (border dispute); juga menciptakan dan memelihara rezim-rezim diktator. Konflik ini kemudian dijadikan media untuk bisa melakukan intervensi.
Menimbulkan ketergantungan negara-negara yang baru merdeka tersebut secara ekonomi kepada negara-negara penjajahnya, antara lain dengan memberikan pinjaman utang dan kebijakan ekonomi yang liberal.
Kondisi seperti ini dimanfaatkan secara ‘licik’ oleh AS dan Rusia yang muncul menjadi negara adidaya baru pasca PD II. Untuk bisa menanamkan pengaruhnya di wilayah tersebut, AS dan Rusia mendorong kemerdekaan negeri-negeri Islam tersebut. Konflik berikutnya berbentuk persaingan antar AS, Rusia, serta negara-negara penjajah lama seperti Inggris dan Prancis. AS dan Rusia kemudian menggunakan semangat kemerdekaan dan anti penjajahan tersebut untuk menggusur pengaruh Inggris dengan mengganti rezim-rezim boneka mereka. Terjadilah berbagai kudeta yang dilakukan oleh agen-agen AS di Timur Tengah antara lain: Raja Idris di Libya yang pro AS dikudeta oleh Khadafi yang dekat dengan Inggris; Raja Farouk (pro Inggris) di Mesir dikudeta oleh Gamal Abdul Nasser (pro AS); Raja Faisal (pro Inggris) di Irak dikudeta oleh Abdul Karim Kassim dalam sebuah revolusi tahun 1958.
Persaingan antar negara imperialis untuk mendudukkan agen-agen boneka mereka jelas menimbulkan berbagai gejolak di Timur Tengah yang tiada henti-hentinya. Sekali lagi, hal ini memperjelas bahwa justru imperialisme Baratlah yang menyebabkan krisis berkepanjangan di Timur Tengah.
Muncul pula persaingan Blok Komunis yang dipimpin oleh Rusia dan Blok Kapitalis yang dipimpin oleh AS selama era Perang Dingin. Negara-negara di Timur Tengah kembali menjadi sasaran rebutan kedua kubu. Lebanon, Yordania, Maroko, Tunisia, Arab Saudi, dan Kuwait cenderung ke Blok Barat. Beberapa pihak seperti Irak, Suriah, dan Yaman Selatan memiliki hubungan yang erat dengan Rusia. Namun demikian, aliansi seperti ini lebih bersifat pragmatis, karenanya akan cenderung berubah-ubah.
Strategi penting lain yang dilakukan oleh negara-negara imperialis ini adalah menciptakan Negara Israel di bumi Palestina. Sebagai penguasa awal di Palestina, Inggris memiliki kepentingan besar untuk mendukung berdirinya negara Israel di Palestina. Keberadaan negara Isreal jelas akan menimbulkan konflik dan ketidakstabilan yang terus-menerus di Timur Tengah. Krisis tersebut jelas akan menyedot energi dan dana dari umat Islam. Hal ini bisa mengalihkan kaum Muslim dari upaya memikirkan kembali penegakkan Daulah Khilafah yang dibubarkan tahun 1924.
Krisis ini juga dimanfaatkan oleh kelompokkelompok nasionalis Arab untuk kepentingan mereka. Penjajahan Palestina oleh Israel dijadikan faktor untuk membangkitkan sentimen nasionalisme Arab. Rezim Arab, yang merupakan bentukan penjajah Barat, juga menjadikan isu Palestina sebagai alat untuk memperkokoh kedudukan mereka di mata rakyat Arab. Meskipun hanya retorika, terkesan rezim Arab tersebut membela Palestina.
Untuk mengalihkan krisis di Palestina ini dan persoalan umat Islam secara keseluruhan, dibentuklah PLO dalam Konferensi Liga Arab di Aljazair (1964). Persoalan Palestina kemudian diserahkan penyelesaiannya hanya kepada PLO. PLO merupakan rancangan Inggris. Hal ini tampak jelas dari syarat yang dibuat oleh Inggris, yakni PLO hanya memiliki satu tujuan: mendirikan Negara nasionalis Palestina. Hal ini jelas tertuang dalam pasal 1 Piagam Palestina yang menyatakan Palestina adalah tanah air rakyat Arab Palestina. Dipertegas pula dalam pasal 8 yang menyatakan perjuangan sekarang adalah tahap perjuangan nasional untuk pembebasan Palestina.[6]
Direkayasa pula berbagai perang dengan Israel dengan berbagai tujuan antara lain untuk menunjukkan kepedulian rezim Arab tersebut terhadap Palestina. Kenyataan sebenarnya adalah pengkhianatan. Sebenarnya, tidak pernah terjadi perang yang habis-habisan. Empat perang yang pernah terjadi—1948, 1956, 1967, 1973—semuanya berakhir cepat dan dihentikan dengan intervensi internasional. Jadi, kebijakan politik rezim Arab memang bukanlah perang, tetapi diplomasi internasional.[7]
Fakta yang terjadi kemudian adalah penyerahan wilayah kaum Muslim kepada Israel dengan alasan kalah perang. Dalam perang tahun 1967, Raja Husein dari Yordania menyerahkan Tepi Barat Yordan kepada Israel tanpa berperang. Pada tahun yang sama, Gamal Abdul Nasser menyerahkan Gurun Sinai dan Jalur Gaza. Hafedz Assad dari Suriah menyerahkarn Dataran Tinggi Golan.
Dari kekalahan perang yang direkayasa ini pun dibuat mitos bahwa Israel tidak akan pernah terkalahkan. Hal ini kemudian dijadikan legalisasi rezim-rezim Arab untuk tidak berperang melawan Israel. Oleh sebab itu, seakan-akan perdamalan dengan Israel adalah sesuatu yang tidak bisa ditotak. Padahal, nyata-nyata tujuan dari berbagai perdamaian itu justru untuk mengokohkan keberadaan negara Israel.
Sama halnya dengan Inggris, AS juga memanfaatkan krisis Palestina untuk lebih memperkokoh panjajahannya di kawasan ini. Kepentingan yang pertama adalah mengalihkan musuh kaum Muslim kepada Israel. Padahal, musuh yang sebenarnya adalah AS yang terus-menerus mendukung negara Israel. Krisis Palestina yang berkepanjangan ini juga dijadikan alat oleh AS untuk menanamkan pengaruhnya. AS seakan-akan tampil bagaikan pahlawan yang mengajukan perdamaian dalam masalah ini. Maksud sebenarnya adalah untuk selalu berperan dalam krisis di Timur Tengah.
Bisa disimpulkan, keberadaan negara Israel jelas-jelas merupakan bagian dari strategi Barat untuk mendominasi Timur Tengah. Tidak aneh kalau AS demikian membela mati-matian keberadaan negara Israel. Berulang-ulang masalah ini diungkap oleh pejabat AS dari masa ke masa, tidak peduli siapa presidennya. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Menlu Collin Powel di depan komite anggaran Senat pada 5/3/2001, “Israel adalah sahabat dan sekutu yang kuat bagi bangsa Amerika dan pemerintahan AS; menjamin keamanan Israel adalah proritas utama; akan tetap seperti itu bagi pemerintahan yang sekarang.”
Collin mengulangi dukungan abadi AS kepada Israel saat berpidato di depan komite kerjasama AS-Israel untuk urusan umum (AIPAC) pada 8/3/2001 di Washington, “Sungguh, kami telah berada di pihak Israel sejak berdirinya dan kami akan selalu bersama Israel dalam sepanjang sejarahnya.” [8]
Pasca Perang Dingin dan Serangan WTC
Surutnya pengaruh komunis bersamaan dengan runtuhnya negara Rusia pada mulanya dianggap akan memberikan peluang bagi perdamaian di Timur Tengah.Sebab, salah satu konflik yang ada adalah persaingan antara Blok Barat dan Timur di kawasan ini. Namun, bagi AS sebagai pemimpin Blok Barat ternyata lain. Berkurangnya pengaruh Rusia justru dijadikan sebagal peluang oleh AS untuk menjadikan dirinya sebagai kekuatan tunggal dunia. Untuk itu, AS harus menghalangi setiap kemungkinan munculnya pesaing baru bagi dominasi AS di dunia internasional. AS kemudian merancang sebuah tatanan dunia baru (a new world order), dengan AS sebagai satu-satunya penguasa dunia. Serbuan Irak ke Kuwait menjadi momen penting bagi AS untuk mewujudkan ‘keinginan’ tersebut. AS kemudian seakan tampil sebagai pemimpin dunia yang memimpin koalisi negara-negara di dunia untuk menghukum Irak.
Masalah Irak ini kemudian menjadi ‘Pearl Harbour’ atau WTC 911’-nya Timur Tengah. Artinya, Irak dengan keberadaan diktator Saddam Hussein, merupakan ‘entry point’ yang baik bagi AS untuk melegalisasi setiap tindakan penjajahannya di Timur Tengah, seperti yang ditulis dalam sebuah dokumen:
Selama beberapa dekade, AS berupaya memainkan peranan yang lebih permanen dalam keamanan kawasan Teluk. Selagi konftik berkepanjangan dengan Irak memberikan pembenaran, kebutuhan akan hadirnya pasukan AS di Teluk melebihi isu rezim Saddam Husein. (Rebuilding America’s Defences:Strategies, Forces and Resources for a New Century).[9]
Setelah Invasi AS ke Kuwait, AS semakin memantapkan kehendaknya untuk mewujudkan tatanan dunia dengan AS sebagai pemimpin tunggal. Goerge Bush Senior kemudian mengumumkan visinya bagi sebuah Tatanan Dunia Baru. Berkaitan dengan ini, Pentagon, dalam pedoman bagi perencanaan pertahananan AS pada Februari 1992, mempertegas kebijakan luar negeri AS untuk menghalangi munculnya pesaing baru Amerika dari manapun. Dinyatakan, "Our first objective is to prevent the re-emergence of a new rival either on the territory of the former Soviet Union or elsewhere, that poses a threat on the order…. And requires that we endeavor to prevent any hostile power from dominating a region… These regions include Western Europe, East Asia, the territories of the former Soviet Union and Southwest Asia.” [10]
Inilah yang kemudian menjadi kebijakan umum AS di Timur Tengah sebagai penguasa tunggal dan dominan di sana. Menguasai Timur Tengah menjadi lebih mendesak saat krisis energi mengancam AS saat ini. Sebab, sebagai negara industri, AS sangat bergantung pada kelancaran suplai minyak yang ada di Timur Tengah. Menurut pakar perminyakan, Dr. Kurtubi, kebutuhan minyak AS sangat besar: 26% dari konsumsi dunia. AS membutuhkan 20 juta barel perhari. Produksi minyak dalam negeri AS hanya sekitar 8 juta barel perhari. Sisanya, AS mengimpor dari luar, sebagian besar dari Timur Tengah. Masih menurut Dr Kurtubi, kalau AS tetap berproduksi pada 8 juta barel perhari, minyak yang ada diperut buminya akan habis dalam waktu 10 tahun.[11]
Sejak dulu kebijakan AS yang sudah merupakan kebijakan hidup-mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah menjamin suplai minyak dari Timur Tengah agar tetap ke tangan AS. Pada tahun 1953, Dewan Keamanan Nasional mengatakan, “Kebijakan Amerika Serikat adalah mempertahankan sumber minyak di Timur Tengah agar tetap berada di tangan Amerika.” (Mohammad Haekal, Cutting the lions Tail; Suez Through Egyptian Eyes, 1986, hlm. 38).[12]
Untuk itu, beberapa langkah penting yang dilakukan oleh AS adalah:
1. Memperluas basis mititernya di Timur Tengah dengan mendirikan pangkalan-pangkalan militer.Invasi AS ke Irak (1991) benar-benar dimanfaatkan oleh AS untuk memperluas pangkalan militer mereka sehingga hampir di seluruh negara di kawasan Timur Tengah, AS memiliki pangkalan militer. Lewat basis militer inilah AS sukses menginvasi Irak.
2. Menyegarkan rezim-rezim lama dengan membentuk rezim baru yang lebih pro AS. Isu yang diangkat adalah senjata pemusnah massal, mendukung terorisme (khususnya Al-Qaida), demokratisasi, rezim diktator, atau mengancam kepentingan nasional AS. Saddam Hussain adalah salah satunya. Banyak pihak yang tahu bahwa AS-lah yang memperkuat rezim Saddam dengan dana dan bantuan militer saat perang melawan Iran. Namun, Saddam perlu disegarkan dengan rezim baru yang lebih pro AS. Ini juga untuk menghilangkan kesan bahwa AS terus-menerus mendukung rezim diktator.Apalagi AS melihat pergantian rezim di Irak akan lebih memaksimalkan pemanfaatan minyak Irak bagi kepentingan AS. Penyegaran rezim ini kemungkinan besar akan dilakukan AS terhadap negara-negara lain seperti Iran dan Suriah.
3. Mengopinikan demokratisasi Timur Tengah. Demokratisasi adalah nilai yang sering dijadikan alat penjajahan oleh AS. Alasan demokratisasi akan dilakukan oleh AS untuk mengganti rezim-rezim Arab yang diktator (tidak peduli meskipun sebelumnya rezim ini didukung oleh AS). Dengan alasan ini, AS senantiasa bisa mengancam pergantian rezim di negara-negara Arab seperti Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, Suriah, dan Iran.
4. Menekan dan memberangus potensi kekuatan politik Islam. Bagaimanapun AS sangat menyadari bahwa satu-satunya kekuatan di dunia ini yang sanggup mengimbangi AS adalah kekuatan politik Islam. Kekhawatiran ini berulang-ulang disampaikan cendekiawan AS seperti Huntington maupun para potitisi AS seperti Henry Kissinger. Tidak aneh, kalau AS menolak mentah-mentah pendirian pemerintahan Islam pasca invasi AS di Irak. AS tentu saja tidak peduli meskipun hal itu dituntut oleh masyarakat Irak. Keberadaan pemerintahan Islam jelas akan memperkuat pengaruh politik Islam yang memang memiliki ciri utama menentang penjajahan terhadap kaum Muslim. Meskipun AS mensponsori terbentuknya pemerintahan yang demokrasi di Irak atau di negeri Muslim yang lain, AS tetap akan menekan gerakan Islam lewat rezim-rezim bonekanya.
5. Memperkecil pengaruh negara-negara Eropa dan Rusia di Timur Tengah. Hal ini dilakukan AS dengan mengganti rezim-rezim yang dia anggap lebih menjalin hubungan dengan negara Eropa ataupun Rusia. Dekatnya Saddam Hussein ke Eropa dan Rusia pada akhir-akhir kekuasaannya bisa jadi dianggap mengancam pemaksimalan kepentingan AS di Irak yang kemudian memperkuat alasan AS untuk menginvasi Irak. Ke depan, negara-negara yang memiliki hubungan dekat dengan Inggris ataupun Prancis besar kemungkinan akan terus-menerus digoyang oleh AS.
Pengkajian ulang strategi AS pasca Perang Dingin ini tampak jelas dalam sebuah dokumen Strategi Keamanan Nasional (National Security Strategy-NSS) yang diterbitkan bulan September 2002. Di sana disebutkan adanya tiga prinsip penting doktrin Bush: Pertama, mempertahankan kepemimpinan AS di dunia. Kedua, melakukan pre-emptive attack terhadap ancaman potensial bagi AS. Ketiga, mempromosikan prinsip demokrasi liberal.[13]
Kesimpulan
Dari uraian di atas jelaslah bahwa solusi yang mengakar dan akan menyelesaikan berbagai konflik di Timur Tengah adalah dengan mengembalikan Daulah Khilafah Islam dan mengganti rezim-rezim sekular boneka Barat. Inilah satu-satunya cara yang bisa menghalangi dan menghentikan penjajahan negara-negara imperialis di tubuh umat Islam.
Catatan Kaki
[1] Lihat Kirdi Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, CSIS, halaman 5
[2] Ibid.. halaman 11
[3] Lihat Kusnanto Anggoro dalam artikelnya di Kompas 24/3/2003
[4] Lihat George lenczowski dalam Timur Tengah dl Tengah Kancah Dunia (The Middle East in World Affairs) halaman 46
[5] Ibid,. hataman 48
[6] ibid, .halaman 61
[7] Lihat Kirdi Dipoyudo, Timur Tengah dalam Pergolakan, CSIS, halaman 181
[8] Lihat Khilafah Megazine edisi suplemen 7Agustus 1994 dengan judul Conspiracies: Past and Present
[9] Lihat booklet terjemahan Hibut Tahrir pada 8 Mei 2001 dengan judul Politik Amerika di Bawah Pemerintahan Bush halaman 13
[10] Lihat buku Senjata Pemusnah Massal dan Kebijakan Luar Negeri Kolonialis penerbit PTI halaman IX
[11] Lihat Khilafah.com 04/05/2003 dengan judul Islamic State, the Strategic threat to US Hegomony
[12] Lihat wawancara Sabili dengan Dr. Kurtubi, SE, Msc, MSp.
[13] Lihat buku Senjata Pemusnah Massal dan Kebijakan luar Negeri Kolonialis penerbit PTI halaman 111
Ibid,. halaman 109-110