Saudaraku, syahdan, empat orang sahabat menemukan sekeping mata uang. Orang pertama, seorang Persia, berkata, ”Dengan uang ini aku akan membeli anggur.” Orang kedua, seorang Arab, menyatakan keberatannya, ”Tidak, kita harus membeli inab.” Orang ketiga, seorang Turki, mengatakan, ”Aku menginginkan uzum.” Sedangkan yang terakhir, seorang Yunani, mengatakan bahwa ia tidak tertarik pada pilihan ketiga orang sebelumnya. ”Aku, katanya, ”ingin stafili.”
Ketika pertengkaran sedang memuncak, lewatlah seorang arif bijaksana yang segera berseru untuk mendamaikan. ”Aku bisa memenuhi keinginan kalian semuanya dengan uang yang kalian temukan itu. Syaratnya, kalian harus percaya dengan sepenuh hati. Sekeping uang ini akan menjadi empat, dan kalian berempat akan rukun kembali.”
Orang bijak itu lantas pergi dan membeli buah anggur. Begitu kembali, keempat orang sahabat itu sama-sama girang. Ternyata, semua mereka, dengan bahasanya masing-masing, telah menyatakan kebutuhannya akan hal yang sama, yaitu anggur.
Maulana Jalal ad-Din Rumi menceritakan kisah di atas dalam Matsnawi-nya sebagai tamsil tentang orang-orang yang terperangkap dalam kerangkeng kata-kata harfiyah dan penampakkan lahiriyah, tanpa mengerti kedalaman arti dan substansinya.
Bandingkan sindiran ini dengan muatan pesan pada anekdotnya yang lain. Alkisah, seorang penyair Arab membacakan puisi di hadapan sang raja yang tak berbahasa Arab. Pada bagian yang menimbulkan kekaguman, raja menganggukkan kepalanya; pada bagian yang membangkitkan ketakjuban, ia memandang secara terpukau dan pada bagian yang membangkitkan kerendahan hati, raja mengelus dadanya.
Komunitas istana kebingungan dan berkata, ”Raja kita tidak pernah tahu bahasa Arab sepatah kata pun. Bagaimana mungkin dia menunjukkan isyarat yang tepat, kecuali benar-benar memahami bahasa Arab dan menyembunyikannya dari kita selama ini? Apabila kita pernah berkata tak sopan dalam bahasa Arab, celakalah kita!”
Untuk menyelidikinya, para pembesar istana meminta seorang budak kesayangan raja untuk mencari tahu. Suatu kali, saat jeda di tengah keasyikan berburu, si budak bertanya tentang hal itu. Raja tertawa dan berkata, ”Demi Tuhan, aku sama sekali tidak tahu bahasa Arab. Aku menganggukkan kepala dan menyaratakan kesepakatan, benar-benar disebabkan maksud yang terkandung dalam puisi itu, bukan karena kata-kata yang diucapkannya.
Kisah tersebut memberi iktibar bahwa ”hal yang utama” yang harus ditangkap untuk menerobos hambatan harfiah adalah maksud. Puisi hanyalah ”cabang” dari ”yang utama”. Apabila tidak ada maksud, dia tidak akan pernah menggubah puisi. Jika seseorang telah mengutamakan maksud dan makna terdalam, tak ada lagi ke-dua-an yang tersisa. Ke-dua-an terletak di dalam cabang, sedangkan akarnya yang paling utama tetap satu. Seperti kata Empu Tantular, bhinneka tunggal ika, tan hana dharmma mangrwa, berbeda-bedana mun satu, tiada kebenaran bermuka dua.
Masalahnya, kehidupan modern dengan segala ornamen dan gemerlap penampakannya seringkali menyilapkan manusia dari maksud perjalanan, terperangkap dalam kerlap-kerlip lampu dan peta jalan. Adapun ilmu pengetahuan, yang mestinya memandu manusia menyingkap kulit zahiri guna menemukam biji hikmah di jantung batini, kian hari kian terjerat oleh pukau lahiriyah.
Untuk merengkuh kembali inti hikmah yang hilang, kita harus menyelam di level kesadaran yang lebih dalam, agar bisa mikraj dari kesadaran personal menuju transpersonal.
Dalam level kesadaran transpersonal, kehidupan dialami sebagai pola interkoneksi yang tak terputus dari segala kehidupan. Kesadaran seseorang dan keterlibatannya langsung dengan kehidupan berkembang dari pernik-pernik eksistensi sehari-hari menuju eksistensi kosmik yang lebih luas.
Dalam keluasan kesadaran kosmik, manusia bisa melihat betapa kesalingtergantungan tidak bisa dipisahkan dari kesatuan. Satu dalam semua, semua dalam satu. Kesatuan tak dapat eksis tanpa perbedaan. Dengan begitu, manusia bisa membuka diri penuh cinta dengan yang lain; mensyukuri perbedaan untuk saling mengarifkan.
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)