Program Jokowi ini berbeda dari program ketahanan pangan di era Soeharto. Dalam konsep ketahanan pangan, seluruh kebutuhan makanan masyarakat Indonesia harus terpenuhi, tak peduli dari mana sumbernya.
Target Jokowi lebih jauh dari itu. Kedaulatan pangan berarti memenuhi kebutuhan pangan dari produksi negeri sendiri. Dengan kata lain, tak ada impor beras, jagung, gula, kedelai, atau bahkan daging.
Visi tentang kedaulatan pangan sudah digembar-gemborkan Jokowi sejak masa kampanye. Ia bahkan mendapat dukungan dari Serikat Petani Indonesia (SPI)—organisasi petani yang mengampanyekan kedaulatan pangan.
Setelah dilantik menjadi presiden, Jokowi menunjuk Amran Sulaiman sebagai menteri pertanian. Keputusan ini sempat membuat sejumlah pihak meragukan visi kedaulatan pangan bisa tercapai. Amran adalah pemilik perusahaan pestisida dan dekat dengan pebisnis di sektor pertanian. Dalam sebuah konferensi pers pada Oktober 2014, Koordinator Advokasi dan Jaringan Bina Desa Ahmad Yaqub menyatakan hal itu bertentangan dengan upaya petani kecil selama ini. Sebelum di Bina Desa, Yaqub aktif di SPI.
Selama ini, lanjut Yaqub, para petani kecil berjuang untuk keluar dari lingkaran racun pestisida (insektisida, herbisida, rodhentisida, fungisida, dan akarisida). Teknologi penggunaan racun pestisida bukan mengatasi masalah tetapi justru menimbulkan masalah ledakan hama dan masalah-masalah baru meliputi lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan sumber daya manusia.
Pada 2014 itu anggaran untuk program kedaulatan pangan mencapai Rp67,3 triliun. Anggaran ini digunakan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas pangan. Dana itu dialokasikan lewat empat komponen, yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, subsidi pupuk, dan subsidi benih.
Tahun ini, anggaran kedaulatan pangan untuk empat komponen itu melonjak hingga 53,2 persen menjadi Rp103,1 triliun. Tahun ini pula seharusnya swasembada sejumlah kebutuhan pangan sudah tercapai. Bagaimana realisasinya?
Impor beberapa komoditas berhasil ditekan, salah satunya jagung. Tahun lalu, pemerintah memang berhasil menekan impor jagung dari 3,6 juta ton pada 2015 menjadi hanya 900 ribu ton pada 2016. Namun, berkurangnya impor jagung ternyata memunculkan masalah-masalah lain.
Menurut Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), penghentian impor jagung ternyata memberikan dampak negatif lain. Sebanyak 483.185 ton jagung impor tertahan di pelabuhan. Harga pakan ternak pun melonjak hampir 20 persen. Data dari Kadin menunjukkan harga jagung saat panen raya pada bulan Maret naik dari Rp4.000 per kilogram menjadi Rp4.500 per kilogram.
Akan tetapi, kenaikan itu bukan semata-mata karena ditutupnya keran impor. Ketua Dewan Jagung Nasional, Tony J. Kristianto, menyebutkan naiknya harga jagung beberapa bulan lalu dipengaruhi oleh beban biaya logistik. Hal itu karena banyak produksi jagung di luar Jawa sedangkan banyak pengusaha yang membeli jagung dari pulau Jawa.
Berkurangnya impor itu memang bisa ditutup dari kenaikan produksi. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi jagung naik 18,11 persen dari 2015 menjadi 23,16 juta ton pada 2016.
Selama tiga tahun ini pula, Pemerintahan Jokowi-JK menyatakan telah berhasil menghentikan impor beras medium, cabai, dan bawang merah.
Data Pemberitahuan Impor Barang (PIB) Ditjen Bea Cukai menunjukkan impor beras pada 2016 sekitar 1,3 juta ton, dan sepanjang Januari hingga Mei 2017, Indonesia masih mengimpor beras 94 ribu ton. Kementerian Pertanian menyatakan impor beras yang cukup besar pada 2016 adalah sisa dari kontrak impor tahun 2015.
Terhitung sejak 2016 lalu, impor beras medium sudah dihentikan. Beras medium adalah beras yang dimakan oleh masyarakat sehari-hari. Ada pula jenis beras khusus yang tidak bisa diproduksi petani dalam negeri—beras yang digunakan dalam nasi biryani di restoran-restoran India, misalnya. Untuk jenis beras khusus ini, Indonesia tentu tidak bisa berhenti mengimpor.
Meski impor sejumlah komoditas berhasil ditekan, tetapi ada juga impor komoditas lain yang masih tinggi. Salah satunya adalah gandum. Menurut data BPS, impor gandum pada periode Januari-November 2016 tercatat sebesar 9,79 juta ton. Angka ini naik signifikan dari 6,77 juta ton tahun sebelumnya.
Indonesia memang tidak bisa menghasilkan gandum dan tak mungkin menghentikan impor gandum. Yang mungkin bisa dilakukan pemerintah adalah menekan konsumsi produk olahan gandum agar Indonesia tak bergantung pada bahan pangan yang tak bisa diproduksi sendiri.
Beberapa bahan pangan pun belum bisa ditingkatkan produksinya untuk menekan impor. Kedelai dan kacang tanah adalah dua di antaranya. Sebagai negara pembuat tempe, Indonesia membutuhkan sekitar 2 juta ton kedelai setiap tahun. Sayangnya, produksi dalam negeri menurut BPS masih kurang dari satu juta ton. Tahun 2014, total produksi kedelai di Indonesia hanya 954.997 ton. Setahun kemudian, angkanya naik, tetapi tak signifikan, hanya 963.183 ton. Tahun 2016, produksi malah turun ke angka 890.000 ton. Tahun ini diprediksi turun lagi menjadi hanya 750.000 ton.
Swasembada kedelai telah dicanangkan sejak 2014, tetapi sampai 2017 ini masih jauh panggang dari api. Setiap tahun, Indonesia lebih banyak mengimpor kedelai dari yang bisa diproduksi. Ini ironi lain di negara produsen tempe. Tahun lalu, misalnya, impor kedelai mencapai 2,3 juta ton. Sampai akhir tahun ini, angka impor kedelai diperkirakan naik menjadi 2,53 juta ton.
Produksi kacang tanah lebih menyedihkan dibanding kedelai. Kalau produksi kedelai sempat naik tipis pada 2015, produksi kacang tanah malah menurun. Tahun 2013, produksi kacang tanah Indonesia bisa menyentuh angka 701.680 ton. Tahun 2014, pada masa awal pemerintahan Jokowi-JK, angkanya turun menjadi 638.896 ton. Tahun 2015, total produksi turun lagi menjadi 605.449 ton.
Padahal kebutuhan kacang tanah menurut Kementerian Pertanian sekitar 700 ribu ton pada 2016. Alhasil, Indonesia masih harus mengimpor kacang tanah. Sepanjang 2014, volume impor kacang tanah tercatat sebesar 253.236 ton. Tahun 2015, meski produksi menurun, tetapi volume impor juga turun tipis menjadi hanya 194.430 ton.
Lahan Petani Minim
Persoalan lain yang masih harus dibenahi adalah ketimpangan dan kepemilikan lahan pertanian, meski problem ini warisan pemerintahan sebelum Jokowi.Menurut laporan INDEF, Rasio Gini lahan mencapai 0,64 pada 2013, naik dari 0,54 pada 1973. Akibatnya, berdasarkan sensus pertanian tahun 2013, sekitar 56,03 persen petani Indonesia adalah petani gurem yang penguasaan lahannya kurang dari 0,5 hektar.
Ketimpangan lahan berdampak pada rendahnya produktivitas dan kesejahteraan petani. Usaha tani juga tidak memenuhi skala ekonomi. Agar memenuhi skala ekonomi, luas lahan padi, jagung, dan kedelai yang ideal adalah satu hektare. Namun, rata-rata luas lahan yang dikuasai petani hanya 0,8 hektare. Di negara-negara tetangga, pemilikan lahan rata-rata petani lebih besar dari itu. Di Thailand, rata-rata sekitar 3,2 hektare, sedangkan di Filipina 2 hektare.
Tingkat kesejahteraan petani yang rendah menjadikan sektor pertanian tidak menarik bagi para angkatan kerja muda. Pada 2012, penduduk yang bekerja di sektor pertanian hanya 35,19 persen dari total tenaga kerja. Tahun lalu, porsinya hanya 31,74 persen. Ketika kebutuhan pangan meningkat, persentase pekerja di sektor pertanian malah menurun.
Pemerintahan Jokowi menargetkan pencetakan lahan baru rata-rata 100 ribu hektare per tahun. Namun, apa yang dicapai kurang dari setengahnya.
INDEF menilai program reformasi agraria pun masih isapan jempol belaka. Ambisi Presiden Jokowi untuk melakukan redistribusi lahan seluas 9 juta hektare sama sekali belum menunjukkan hasil.
“Kebijakan reforma agraria justru disimpangkan menjadi sekadar sertifikasi tanah gratis,” ujar Bhima Yudhistira, ekonom INDEF. Menurutnya, hakikat sertifikasi bukanlah bertujuan mengurangi ketimpangan struktur kepemilikan lahan. Ia justru berpotensi memperparah ketimpangan lahan jika sertifikasi tak tepat sasaran.
Januari tahun ini, dalam Rapat Kerja Nasional, Jokowi kembali menyinggung soal kedaulatan pangan. Ia meminta Kementerian Pertanian "terus bersinergi" dengan kementerian dan lembaga lain untuk mewujudkan salah satu agenda Nawacita: kedaulatan dan kemandirian pangan.
Jokowi meminta Kementerian Pertanian bersama Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi agar memanfaatkan potensi lahan tadah hujan seluas 4 juta hektare dengan membangun embung dan sumber air lain sehingga produksi bisa meningkat.
Jokowi juga mengamanatkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat agar segera melakukan rehabilitasi dan normalisasi sungai untuk irigasi seluas 3 juta hektare. Kementerian BUMN pun diminta untuk terus menggerakkan perbankan menyalurkan Kredit Usaha Rakyat bagi petani untuk perluasan usaha, hilirisasi produk, serta pengembangan karet, kopi, sawit, kakao, dan ternak sapi. Kementerian Perdagangan dan Badan Urusan Logistik juga diperintahkan untuk menyerap produk petani dan secara ketat melakukan stabilisasi harga pangan.
Jokowi tampak masih akan berusaha untuk mencapai kedaulatan pangan. Usaha ini tentu saja sebuah kabar baik bagi Indonesia. Tetapi masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-JK agar Indonesia bisa mandiri dan berdaulat dalam perkara pangan. (Wan Ulfa Nur Zuhra).