|
Prof. Rocky Gerung |
Menarik untuk dibahas tayangan ILC (Indonesia Lawyers Club) tvOne edisi Selasa (10/4/2018) yang mengambil judul Prabowo Jokowi Berbalas Pantun. Dalam acara yang dipandu oleh wartawan senior, Karni Ilyas, menunjukkan betapa terbatas kapasitas dan kualitas para pendukung Jokowi, seperti Akbar Faisal (Nasdem), Arya Bima (PDI-P) dan Dwi Ria Latifa (PDI-P). Paparan dan sanggahan mereka selama acara ILC berlangsung justru menunjukkan kedangkalan berpikir dan lemahnya argumentasi para pendukung Jokowi.
Adalah Prof. Rocky Gerung, Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (PPPD) sekaligus Dosen Universitas Indonesia yang membuat ketiga pendukung Jokowi tersebut nampak gagap dan kalah kualitas. Rocky Gerung selalu memberikan pencerahan dan membuka cakrawala berpikir kepada masyarakat Indonesia dalam setiap tayangan ILC maupun ceramah-ceramahnya di acara lain.
Fiksi vs Fakta
Pertama, perdebatan seputar fiksi dan fakta yang ramai di media sosial akibat pidato Prabowo Subianto yang menjadikan buku Ghost Fleet karya PW. Singer dan August Cole, sebagai salah satu referensi. Apa yang disampaikan oleh Rocky Gerung membuka nalar kita, bahwa telah terjadi distorsi terhadap definisi dari kata "fiksi", dimana kata fiksi saat ini di-bully dan dianggap negatif akibat masuk dalam ranah disksui politik. Padahal fiksi adalah baik dan positif.
Kejernihan cara berpikir Rocky Gerung teruji ketika dia menjelaskan arti kata fiksi, perbedaan fiksi dan fakta, termasuk kata fiktif dan faktual. Kesalahan berpikir yang terjadi adalah men-judge bahwa setiap fiksi adalah fiktif. Fiksi (fiction) adalah kata benda yang bermakna literatur. Fiksi sangat bagus, berfungsi sebagai energi untuk mengaktifkan imajinasi, lawan fiksi adalah realitas. Jadi fiksi adalah literatur yang berfungsi mengaktifkan imajinasi, dimana apa yang dituliskan belum terjadi.
Rocky Gerung mengajak peserta ILC berfikir kritis ketika dia menanyakan, apakah kitab suci fiksi atau fakta ?
Dengan definisi diatas, Rocky Gerung berani mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi. Sanggahan dan pertanyaan dari Dwi Ria Latifa dan Arya Bima justru menunjukkan kedangkalan cara berpikir mereka selama ini. Termasuk upaya "penjebakan" oleh Akbar Faisal yang mencoba mengarahkan pada kata kitab suci secara lebih spesifik. Namun bukan Rocky Gerung jika tidak bisa menjelaskan statemennya.
Kitab suci memilik fungsi untuk mengaktifkan imajinasi, yang tidak hanya sebagai prediksi masa depan, namun dalil-dalil dalam kitab suci adalah destinasi (tujuan), yang menuntun para penganut yang meyakini kitab suci tersebut. Bagi sebagian orang, ini mungkin susah dipahami, bahkan pernytaan Rocky Gerung ini berusaha digoreng, diarahkan sebagi delik penistaan agama.
Ketakutan untuk mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi karena kita terlanjur membenabi kata fiksi sebagai sebuah kebohongan atau khayalan. Padahal bohong padan kata yang tepat adalah fiktif, bukan fiksi. Kitab suci memang mengajak kita berimajinasi pada sesuatu yang belum terjadi, meyakini dan menjadikan sebagai destinasi (tujuan dan tuntunan). Sehingga perdebatan seharusnya bukan pada fiksi atau fakta, namun apakah sesuatu itu fiktif atau faktual (kebohongan atau kebenaran).
Berbalas Pidato
Terjadi adu meme dan saling berbalas pidato antara Prabowo Subianto dan presiden Joko Widodo. Menurut Rocky Gerung ada yang palsu pada cara Presiden Jokowi bereaksi (berpidato). Kepalsuan itu terjadi secara pasti karena presiden Jokowi bereaksi terhadap pidato, artinya dia tidak berpidato.
Yang kedua, adalah reaksi Jokowi terhadap hastag "2019 Ganti Presiden" juga menunjukkan kepalsuan, karena hastag tersebut adalah fiksi (sesutu yang belum terjadi), namun ditanggapi secara berlebihan. Menurut Rocky Gerung, seseorang yang bereaksi terlalu keras terhadap sesuatu yang fiksional berarti ada problem di dalam stabilitas psikhisnya.
Jokowi dan Chopper-nya
Touring presiden Joko Widodo dengan mengendarai motor gaya Chopper-nya ke Sukabumi, dan kegiatan lainnya seperti latihan tinju, memanah, serta menonton film yang menjadi viral justru lebih menggambarkan Jokowi sebagai capres yang sedang mencari dukungan daripada sebagai presiden yang melayani rakyatnya. Presiden rasa capres, menurut Fadly Zon.
Rocky Gerung juga menyoroti sebuah momen dimana Jokowi turun ke sawah dan berbincang dengan petani. Jika dulu, Presiden Soekarno turun dari dokar-nya untuk bertemu dengan seorang petani, beliau berbincang tentang hakekat hidup bertani. Dari situlah Bung Karno mendapat inspirasi ideologi yang disebut Marhaenisme. Kita tidak tahu apa yang dibicarakan Jokowi ketika bertemu dengan petani, karena pada kenyataannya pemerintahan Jokowi membuat kebijkan impor beras dan hasil pertanian lainnya.
Secara aturan estetika, orang yang mengendari Chopper seharusnya memiliki berat badan diatas 90 kg, karena penting untuk keseimbangan. Sepeda motor 600 CC ada kepantasan orang yang mengendarainya.
Data dan Kompilasi
Adu data dan angka, serta paparan slide show yang dilakukan oleh Akbar Faisal untuk mendukung argumennya atas keberhasilan pemerintahan Jokowi justru menjadi blunder. Dari awal Akbar Faisal sudah disclaimer bahwa ia bukan ahli ekonomi, bukan ahli statistik dan matematika, maka data dan angka yang disampaikan tidak perlu didengar dan dipercaya.
Rocky Gerung men-skak matt Akbar Faisal ketika berkali-kali melakukan interupsi dengan ungkapan cerdas, bahwa orang yang suka paparan menggunakan Power Point adalah orang yang tidak punya Power dan tidak punya Point.
Apalagi Akbar Faisal menyebutkan bahwa data yang ditampilkan adalah hasil dari kompilasi. Menurut Rocky Gerung, kompilasi adalah kata paling buruk dalam metodologi. Karena kompilasi adalah mencomot data dari sana sini untuk ditampilkan dalam infografis. Dalam infografis hasil kompilasi pasti ada info yang disembunyikan.
HAM dan Isu Lingkungan
Masyarakat dan aktifis kemanusiaan tidak bisa menagih soal HAM (Hak Asazi Manusia) dan Lingkungan Hidup pada pemerintahan Joko Widodo, karena kedua isu tersebut bukan agenda prioritas mereka. Tim pendukung Jokowi pada saat kampanye 2014 menyebutkan bahwa HAM dan Isu Lingkungan bukan agenda prioritas.
Meski Akbar Faisal mendebat edngan mengatakan bahwa dia yang merancang kedua isu tersebut sebagai agenda, namun jejak digital menyebutkan hal yang berbeda, bahwa memang benar, masyarakat tidak bisa berharap kepada pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan masalah HAM dan Lingkungan Hidup.
Padahal HAM dan Lingkungan Hidup adalah dua isu yang diperjuangkan oleh Civil Sciety (masyarakat sipil), sehingga Rocky Gerung merasa heran, mengapa kelompok Civil Society saat ini justru merapat kepada Jokowi dan mencari suaka ke istana. Sungguh ajaib !
Kaos Phobia
Prof. Rocky Gerung menyeru kepada masyarakat untuk menghentikan perdebatan dan ketakutan pada kaos (kaosphobia). Kaos dengan hastag #2019GantiPresiden adalah hak konstitusi serta ekspresi politik dari kelompok oposisi. Politik seharusnya berjalan tidak hanya menunggu 5 tahun. Namun politik oposisi seharusnya berjalan sejak hari pertama presiden dilantik. Jadi ketakutan dan perdebatan seputar kaos dan hastag hanyalah bentuk phobia, kaosphibia.
Phobia adalah ketakutan yang diwariskan oleh nenek moyang kita, karena hidup di masa itu sangat terancam oleh binatang buas. Jadi, phobia adalah jejak DNA dalam diri kita, yang ada terus, positif fungsinya untuk mencegah kita diterkam binatang buas. Reaksi dari phobia dalah berburu, maka dalam arkeologi, nenek moyang kita berburu supaya hilang rasa takut.
Sementara kaos dan hastag bukanlah binatang buas yang mengancam. Maka kelompok yang berburu dan memusuhi kaos dengan hastag #2019GantiPresiden adalah pemburu yang dungu.
Closing Statement Cerdas dengan Novel Kho Ping Hoo
Jadi akar masalah perdebatan ini adalah pemahaman yang keliru pada kata fiksi. Karya fiksi yang paling fenomenal dan legendaris di Indonesia adalah novel yang ditulis Kho Ping Hoo. Kita tahu bahwa Kho Ping Hoo tidak pernah pergi apalagi tinggal di tanah Tiongkok, namun dia mampu menulis dan menggambarkan antropologi Tiongkok dengan sangat lengkap. Kho Ping Hoo juga mampu mendeskrepsikan ilmu silat Tiongkok dengan sangat detail.
Ada kalimat yang sangat bagus dari novel Kho Ping Hoo untuk menggambarkan bahwa fiksi sangat kuat dan membekas. Dalam satu adegan pertarungan silat antara Bu Kek Siansu dengan musuhnya, Kho Ping Hoo menuliskan "Bu Kek Siansu telah menyarungkan pedangnya, sebelum tubuh bedebah itu jatuh ke bumi".
Kalimat fiksi dari Kho Ping Hoo mengaktifkan energi imajinasi kita untuk menggambarkan betapa cepatnya gerakan Bu Kek Siansu sehingga ia telah kembali menyarungkan pedangnya, baru tubuh bedebah itu jatuh ke bumi.
Lantas, sebagain kita bertanya, siapa Bu Kek Siansu dan siapa bedebah yang jatuh ke bumi ?
Mari kita tunggu di tahun 2019 !!!
Arief Luqman El Hakiem