Siapa Dalang Peristiwa G30S/PKI
Topik tulisan ini adalah apakah benar Soekarno dalang G30S/PKI dan bukan sekedar bertanggung jawab dalam kedudukannya sebagai Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI? Dalam hal ini, bukti-bukti yang ditemukan setelah peristiwa G30S/PKI pada dasarnya memang membuktikan bahwa Soekarno mendalangi G30S/PKI, dan bukti-bukti tersebut antara lain:
Pertama, berdasarkan kesaksian salah satu korban G30S/PKI, yaitu Jenderal AH Nasution dalam buku berjudul: “Peristiwa 1 Oktober 1965, Kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution,” terbitan Narasi, halaman 29, ditemukan fakta bahwa Panglima Angkatan Udara Omar Dhani telah memberikan laporan kepada Soekarno pada tanggal 28 dan 29 September 1965 bahwa ada gerakan dari unsur-unsur perwira muda angkatan darat untuk menindak Dewan Jenderal. Namun Soekarno tidak melakukan apa-apa. Pengetahuan Omar Dhani mengenai akan berlangsungnya gerakan G30S/PKI ini diperkuat dengan wawancara Omar Dhani dengan tim penyusun buku putih TNI AU atau AURI berjudul Menyingkap Kabut Halim 1965, bahwa Omar Dhani sesungguhnya telah menerima informasi dari Letkol Udara Heroe Atmodjo akan ada gerakan menculik Dewan Jenderal dan membawa mereka menemui Soekarno (halaman 225-227). Hal ini juga diperkuat oleh buku pledoi Omar Dhani, berjudul Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku, halaman 58:
“Secara serius dilaporkan bahwa akan ada gerakan di lingkungan Angkatan Darat. Gerakan itu akan menjemput para jenderal Angkatan Darat, termasuk anggota Dewan Jenderal, untuk dihadapkan langsung kepada Bung Karno…Gerakan ini akan dilakukan oleh para perwira muda yang mendapat dukungan dari bawahan serta para pegawai sipil…”
Informasi ada gerakan G30S/PKI yang diperoleh dari Heru Atmodjo, salah satu anggota gerakan sengaja tidak dilaporkan Omar Dhani kepada Ahmad Yani, selaku panglima angkatan darat dan target G30S/PKI. Hal ini diakui Omar Dhani sendiri: "...oleh karena Heroe unsur pimpinan intel AURI, sebagai Panglima AURI sudah pasti saya harus percaya penuh kepadanya. Info tersebut tidak saya sampaikan kepada angkatan lain sebab ini merupakan urusan internal Angkatan Darat."
(Julius Pour, Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang halaman 96).
Kedua, setelah peristiwa G30S/PKI, Soekarno terus menerus menolak menindak orang-orang yang nyata-nyata terlibat dalam G30S/PKI seperti Brigjend Soepardjo, DN Aidit, Omar Dhani dan lain-lain dengan alasan terbunuhnya enam jenderal, Ade Irma Suryani yang masih kecil dan korban lain adalah sekedar “Een rimpel in de oceaan van de revolusi," atau sekedar persoalan kecil seperti buih ombak di lautan luas. Sebaliknya Soekarno justru bertahan di Halim, yang menjadi markas G30S/PKI dan mengumpulkan pemimpin ABRI ke Halim. Bukan itu saja, tapi Soekarno ternyata memiliki informasi dengan jelas mengenai apa yang terjadi ketika para jenderal dibawa ke Lubang Buaya, seperti diutarakan oleh Brigjend Sucipto:
“Berkatalah Soekarno antara lain kepada Pak Cipto: ‘Cip, kekejaman-kekejaman PKI yang termuat dalam surat-surat kabar itu semuanya tidak benar. Tahukah kamu bahwa penembakan terhadap Jenderal Suprapto, cs adalah atas putusan dari semacam pengadilan rakyat di Lubang Buaya dan dilaksanakan dengan baik dan sopan. Para Jenderal sebelum ditembak matanya ditutup dahulu dengan kain, dan sebelum menembak para penembaknya minta maaf lebih dahulu karena terpaksa melakukan itu demi revolusi…
Mendengar cerita Bung Karno itu, dan mungkin karena terdorong emosinya, maka bagaikan seorang hakim bertanya kepada seorang tertuduh, segera Pak Cip menanya kepada Presiden, dari siapa beliau mendengar atau mengetahui, hal ini. Presiden mencoba mengelakan pertanyaan Mayjend Sucipto itu dengan mengatakan agar Pak Cip jangan begitu emosional…”
(Peristiwa 1 Oktober 1965, Kesaksian Jenderal Besar Dr. A.H. Nasution,” terbitan Narasi, halaman 67 – 69.)
Bukti lain bahwa anggota G30S/PKI melaporkan semua hal mengenai gerakan kepada Soekarno juga didapat dari pernyataan Kolonel Abdul Latief, pemimpin pasukan yang membunuh anak bungsu Jenderal AH Nasution:
"Saya selalu mentaati dan melaporkan segala sesuatu mengenai peristiwa tanggal 1 Oktober 1965 kepada Presiden."
(Julius Pour, G30S, Fakta atau Rekayasa, penerbit Gramedia, halaman 261).
Pada faktanya, Soekarno sama sekali tidak sedih dengan peristiwa G30S/PKI dan hal ini semakin ditunjukan ketika dia tidak menghadiri permakaman korban G30S/PKI dan tingkahnya dalam tayangan TVRI pada hari meninggalnya Ade Irma Suryani tanggal 6 Oktober 1965 di mana Soekarno malah bergurau dengan wartawan, merokok, bersikap tenang dan tertawa terbahak-bahak seolah tidak terjadi apa-apa di Indonesia melukai hati rakyat (Surat Ratna Dewi Soekarno tanggal 6 Oktober 1965).
Ketiga, dari bahan-bahan pemeriksaan Tim Pemeriksa Pusat ditemukan kesaksian ajudan Soekarno bernama, Brigjend Sugandhi mengenai pembicaraannya dengan Sudisman, DN Aidit dan Soekarno pada tanggal 27 Oktober 1965 dan 30 September 1965. Pembicaraan tersebut mengenai temuan Sugandhi mengenai gerakan di beberapa kampung yang membuat sumur dan bagaimana Sudisman mengajak Sugandhi bergabung dengan PKI. Selanjutnya DN Aidit berusaha menenangkan Sugandhi dengan mengatakan bahwa PKI tidak bermaksud coup melainkan sekedar memperbaiki kerusakan yang disebabkan Dewan Jenderal dan mengenai gerakan ini sudah diketahui semuanya oleh Soekarno. Ketika Sugandhi memberitahu Soekarno tentang PKI mau coup, Soekarno malah menjawab:
“Kamu (Sugandhi) jangan PKI-phobi (dengan nada marah)..kamu tahu Dewan Jenderal? Kamu hati-hati kalau ngomong…Wis, kowe ora campur, diam saja kamu. Kowe wis dicecoki Nasution ya?”
(Dokumen No. 5, Pernyataan Brigadir Jenderal H. Sugandhi dari Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965, Sebuah Studi Tentang Konspirasi, Penerbit Buku Obor)
Pada dasarnya pihak angkatan darat dari awal sudah menyimpulkan bahwa tidak mungkin Soekarno tidak tahu rencana gerakan G30S/PKI. Ini seperti isakan tangis Mayjend Mursid ketika bertemu dan memeluk AH Nasution tanggal 3 Oktober 1965 dan mengatakan: "Bapak [Soekarno] mesti tahu..."
(AH Nasution, Jenderal Tanpa Pasukan, hal173).
Keempat, setelah D.N. Aidit dalam pelarian dan menjadi buronan, Soekarno justru berkomunikasi secara rahasia dengan D.N. Aidit melalui surat. Dengan melacak jalur surat tersebutlah akhirnya Angkatan Darat berhasil menemukan lokasi persembunyian D.N. Aidit. Salah satu surat DN Aidit kepada Soekarno tertanggal 6 Oktober 1965 mengkoroborasi pernyataan Brigjend Soegandhi bahwa Soekarno sudah tahu dan merestui G30S/PKI sekaligus membuktikan D.N. Aidit dan PKI adalah pemain pasif dalam G30S/PKI:
“Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang yang berpakaian Tjakrabirawa…Di situ saya diberi tahu bahwa akan diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal. Tanggal 1 Oktober saya diberitahu bahwa tindakan terhadap Dewan Jenderal itu sudah berhasil. Saya bertanya, “Apakah sudah dilaporkan kepada PYM [Paduka Yang Mulia Soekarno]. Dijawab sudah dan beliau merestui.”
“Tanggal 1 Oktober saya diberitahu: Pak Aidit sekarang juga harus ke Jateng dengan plane yang sudah disediakan oleh Pangau [Panglima Angkatan Udara Omar Dhani]. Harap usahakan supaya Yogyakarta dapat dijadikan tempat pengungsian Presiden…”
(Dokumen No. 1, Surat Aidit kepada Presiden Soekarno tanggal 6 Oktober 1965, Victor M. Fic, ibid).
Pernyataan DN Aidit di atas diperkuat oleh pengakuan Mayor Bowo, dan Jenderal Mursyid.
Mayor Bowo adalah bekas ajudan Jaksa Agung Sutardio dan salah satu perwira binaan Biro Chusus PKI, yang turut hadir dalam pertemuan rahasia antara Soekarno dan orang-orang kepercayaannya di Istana Tampaksiring Bali tanggal 25 September 1965 di mana Soekarno menyatakan dia akan memiliki gawean besar. Menurut rencana dia akan memanggil Letjend Ahmad Yani di hadapan para Waperdam dan panglima angkatan lain pada tanggal 28 September 1965 di Istana Negara dengan tujuan menuntut pertanggung jawaban atas Dokumen Gilchrist, dan Dewan Jenderal. Selanjutnya Ahmad Yani akan dituduh sbg penghianat bangsa, diculik dan diajukan ke Mahkamah Militer bertempat di Kompleks PU Halim (Soegiarso Soerojo, ibid, halaman 360 - 361).
Sedangkan Mayjend Mursyid adalah salah satu deputi Ahmad Yani, yang pada tanggal 23 September 1965 menemui Soekarno dan mengatakan bahwa benar ada sejumlah jenderal yang menentang kebijakan Soekarno: "Perintah Bung Karno kepada saya untuk mengecek kebenaran pati-pati AD yang tidak loyal pada Bapak telah saya kerjakan. Ternyata memang benar bahwa jenderal-jenderal yang Bapak sebutkan itu tidak menyetujui politik Bapak dan tidak setia pada Bapak." (Antonie Dake, ibid, halaman 274).
Kelima, Dalam instruksi D.N. Aidit kepada seluruh CBD PKI tanggal 10 November 1965 terungkap bahwa terdapat perjanjian rahasia antara Soekarno dan Republik Rakyat China yang mengawali keterlibatan PKI dalam G30S/PKI. Perjanjian rahasia ini juga melibatkan Soebandrio dan pasca kegagalan G30S/PKI, ternyata Soekarno telah menghianati PKI. Akibat penghianatan tersebut, DN Aidit menyampaikan bahwa bila Soekarno dan Soebandrio terus menghianati PKI maka PKI akan mengumumkan perjanjian rahasia yang dibuat dengan Soekarno dan hal ini berarti lonceng kematian dan kehancuran bagi Soekarno dan Soebandrio.
(Instruksi-instruksi Tetap Central Comite Partai Komunis Indonesia tanggal 10 Nopember 1965, Victor M. Fic, ibid).
Keenam, Bambang Widjanarko, ajudan Soekarno pada saat G30S/PKI terjadi memberikan kesaksian di Teperpu bahwa setelah Soekarno sampai di Halim pada tanggal 1 Oktober 1965, dia menepuk-nepuk bahu Brigjend Soepardjo dan mengatakan: “Je hebt goed gedaan, Kenapa Nasution kok lolos?” (Anda telah melakukan dengan baik. Kenapa Nasution kok lolos?)
(Lihat lampiran berupa Berkas Acara Pemeriksaan atas nama Bambang Widjanarko di Antonie C.A. Dake, Sukarno File, Kronologi Suatu Keruntuhan)
Selain itu, menurut keterangan Bambang Supeno, Komandan Batalyon 530/Para, pasukan G30S/PKI, bahwa pada kesempatan lain setelah Soepardjo membuat laporan, Soekarno meluapkan kemarahan dan menampar Soepardjo seraya mengucapkan umpatan serta rasa kesalnya, "jenderal tai...mengapa kita bisa kalah?"
(Julius Pour, ibid, halaman 177).
Bambang Widjanarko juga bersaksi bahwa pada tanggal 23 September 1965, Soekarno memanggil Jenderal Saboer, Sunarjo dan Soedirgo untuk memberi perintah menindak jenderal-jenderal yang tidak loyal.
(Julius Pour, 103).
Ketujuh, Di Mubes Teknik bertempat di Istora Senayan tanggal 30 September 1965, Bambang Widjanarko bersaksi menyerahkan kepada Soekarno sepucuk surat dari Letkol Untung yang dititipkan melalui Sogol Djauhari Abdul Muchid. Setelah itu Soekarno membaca surat tersebut di beranda luar, mengangguk-anggukan kepala dan masuk kembali ke tempat duduk. Peristiwa ini terjadi hanya satu jam sebelum Letkol Untung dan pasukan G30S/PKI melancarkan operasi mereka.
Keterangan Bambang Widjonarko bahwa Soekarno menerima surat dari Letkol Untung dibenarkan oleh Mangil Martowidjojo, Komandan DKP Tjakrabirawa, pengawal pribadi Soekarno:
"...begitu menerima surat dari Sogol, Bapak memberi isyarat ingin ke belakang. Beliau segera saya antar, diiringi Pak Saelan dan Bambang Widjanarko. Di depan toilet suratnya dibuka. Sesudah selesai dibaca, langsung disimpan dalam saku baju pakaian seragam Panglima Tertinggi yang malam itu beliau pakai. Saat itu Untung memang hadir di Senayan. Bersama anak buahnya, mereka bertugas mengawal Presiden. Saya tidak pernah lupa, Kolonel Saelan malam itu marah kepada Untung karena salah satu pintu Istora tidak dijaga dengan tertib..."
Setelah itu Soekarno berpidato dan mengutip bagian dari Bagavad Gita pada bagian dialog Krishna kepada Arjuna supaya tidak ragu-ragu menjalankan tugas negara dan membunuh siapapun yang menjadi lawannya di medan perang sekalipun orang itu adalah saudaranya sendiri. Kutipan pidato dimaksud diambil dari buku Revolusi Belum Selesai, Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965 – Pelengkap Nawaksara, halaman 44:
“Kresna memberi ingat kepadanya. Arjuna, engkau ini ksatria. Apa tugas ksatria? Tugas ksatria adalah berjuang. Tugas ksatria adalah bertempur kalau perlu. Tugas ksatria adalah menyelamatkan, mempertahankan tanah airnya. Ini adalah tugas ksatria. Ya benar, di sana itu engkau punya saudara sendiri, engkau punya tante sendiri, engkau punya guru sendiri ada di sana, tetapi jangan lupa tugasmu sebagai ksatria. Mereka hendak menggempur negara Pandawa, gempur mereka kembali. Itu adalah tugas ksatria. Kerjakan engkau punya kewajiban sebagai ksatria. Karmane, fadikaraste, mapalesyu, kadatyana. Kerjakan engkau punya kewajiban, tanpa menghitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!”
Kedelapan: beberapa saksi yang diperiksa menyatakan bahwa pada tanggal 4 Agustus 1965, Letkol Untung dipanggil Soekarno ke tempat tidurnya dan disaksikan oleh Brigjend Sabur. Pada kesempatan itu, Soekarno menanyakan kepada Letkol Untung kesiapannya mengambil tindakan kepada Djenderal-djenderal yang tidak loyal. Letkol Untung menyanggupi. (Antonie Dake, ibid, halaman 413). Hal ini juga diungkap Bono alias Walujo, orang ketiga dalam Biro Chusus PKI. Bahwa setelah menghadap Soekarno itu, Untung segera bertemu Bono, yang mana kemudian Bono melaporkan kepada Sjam, dan Sjam kepada DN Aidit (Soegiarso Soerojo, Siapa Menabuh Angin Akan Menuai Badai, halaman 355).
Jenderal tidak loyal dimaksud adalah jenderal angkatan darat yang dituding sebagai Dewan Jenderal yang menurut rumor yang disebar oleh Soebandrio dan BPI, mau melakukan kudeta terhadap Soekarno:
"Soebandrio sangat aktif menyebarkan isyu Dewan Jenderal -- sebuah isyu yang menurut pengakuan di kemudian hari, ia peroleh dari Kepala Staf BPI Brigjen Pol Sutarto...Isyu tersebut sejalan dengan penyebarluasan apa yang ia sebut sebagai Dokumen Gilchrist, di dalam mana disebuttkan adanya our local army friends...Tapi Ladislav Bittman, bekas Kepala Departemen Dinas Intelijen Cekoslovakia, menulis dalam The Deception Game bahwa pemerintahan Praha menjalin hubungan yang kuat dengan Soebandrio."
(B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin, Memori Jenderal Yoga, penerbit PT Bina Rena Pariwara, halaman 192.)
Kesembilan, Hasil temuan intelijen Amerika, CIA, dalam sebuah dokumen rahasia yang sudah dilepas ke publik karena mendapat status declassified menyimpulkan bahwa dari hasil temuan intelijen ditemukan dalang besar G30S/PKI adalah Soekarno.
https://www.cia.gov/library/center-f...2a02p_0001.htm
Kesepuluh, penulis Dokumen Gilchrist yang dijadikan alasan pembenar bagi Soekarno mempercayai rumor Dewan Jenderal ketimbang ucapan Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani di Istana Tampak Siring, Bali, adalah penulis pidato resmi kepresidenan, yaitu Carmel Budiardjo.
http://www.kaskus.co.id/thread/549ca...asia-g30s-pki/
Carmel Budiardjo bernama asli Carmel Brickman, wanita Inggris, isteri Soewondo Budiardjo. Sebagai sesama aktivis mahasiswa komunis, keduanya bertemu di Praha, Cekoslovakia, kemudian menikah di sana tahun 1950. Dua tahun setelah pernikahan, pasangan Indonesia-Inggris tersebut pindah ke Indonesia, menetap di Jakarta.
Soewondo Budiardjo sebagai pengurus HSI (Himpunan Sardjana Indonesia), organisasi sarjana yang dikendalikan PKI, awal tahun 1968 ditahan dengan tuduhan dengan tuduhan terlibat Peristiwa 30 September. Carmel, yang pada masa itu bertugas di Deparlu sebagai penerjemah Soebandrio, beberapa waktu kemudian ikut ditahan, sebagaimana suaminya....Sesudah dibebaskan, Carmel menetap di London, dikenal menerbitkan buletin Tapol yang mengkritisi pemerintahan Presiden Soeharto. Soewondo Budiardjo sendiri pernah ditangkap Jenderal DI Panjaitan karena menyelundupkan senjata chung dari RRC di dalam bahan bangunan untuk pendirian gedung CONEFO.
(Julius Pour, Ibid, halaman 393).
Masih banyak bukti lain, misalnya, yang menyebar isu Dewan Jenderal ke publik untuk pertama kali adalah BPI pimpinan Soebandrio, seorang Soekarnis tulen. Demikian pula adalah Soebandrio yang mengaku memperoleh salinan Dokumen Gilchrist dan menyebarnya ke anggota delegasi Konferensi Asia Afrika di Aljazair dan kemudian dimuat oleh surat kabar Mesir. ,amun demikian untuk tulisan ini sepuluh saja sudah cukup.
Adapun mengenai motivasi Soekarno membunuh jenderalnya sendiri adalah karena pada dasarnya dia menganggap para jenderal angkatan darat itu tidak loyal. Indikasi tersebut didapat Soekarno dari doktrin baru angkatan darat yang dipelopori oleh Ahmad Yani dan Nasution mengenai “bahaya dari utara,” atau negara RRC yang menjadi bahaya utama Indonesia dan bukan Amerika Serikat membuat Soekarno murka karena doktrin tersebut berlawanan dengan garis politik Soekarno khususnya mengenai NEFOS, OLDEFOS dan NEKOLIM. Kemarahan Soekarno diungkap di depan umum dalam acara di Istana Tampak Siring, Bali, tanggal 6 Juni 1945, dengan mengatakan ada jenderal-jenderal pethak yang telah menentang dirinya. Kemarahan itu kembali ditunjukan pada pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1965 yang ditulis oleh Njoto dan Carmel Budiardjo, antara lain:
"Meski kamu jenderal pada masa perjuangan masa kemerdekaan, tetapi kalau hari ini kamu mengacau Nasakom, anti persatuan nasional, anti Nasakom, ...pasti aku tendang keluar.."
Keraguan Soekarno terhadap loyalitas Ahmad Yani sudah mulai dirasakan Yani sejak pertengahan tahun 1963 ketika Yani menyampaikan hal tersebut kepada AH Nasution.
(Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai. Perjalanan Hidup AH Nasution, halaman 141).
Ketakutan Soekarno mungkin semakin menjadi setelah Presiden Aljazair, Ben Bella digulingkan Kolonel Boumedienne, Panglima Angkatan Darat atas dukungan dari CIA, Dinas Rahasia Amerika Serikat pada 20 Juni1965. (Anonymous).