Cari Blog Ini

Senin, 17 Juli 2017

MENGAPA UANG RUPIAH BARU TIDAK LAKU DI LUAR NEGERI

Sahabat Indonesia, saya ajak Anda semua mengambil dan membandingkan uang pecahan rupiah kita yang lama dan baru, kemudian cermati dan bandingkan.

Anda akan menemukan beberapa perbedaan yang menjadi tanda tanya besar. Ada apa ini? Benarkah ini sebabnya ada berita yang menyebutkan bahwa pecahan rupiah yang baru tidak diakui sebagai alat transaksi di luar negeri ?

Perbedaan uang pecahan rupiah lama dan baru yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi,

1. Uang rupiah yang lama ditandatangani oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) dan salah satu Deputy BI sedangkan uang baru ditandatangani Gubernur BI dan Menteri Keuangan.
Semua uang yang baru ada campur tangan pemerintah dalam tanda tangan, selama ini tidak pernah menteri keuangan ikut ttd pada uang kertas rupiah.

2. Uang baru mencantumkan tulisan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan menghilangkan tulisan Bank Indonesia (hanya ada dicantumkan di muka belakang).

3. Pada uang lama tertulis:
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BANK INDONESIA MÈNGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI
Pada uang baru tertulis:
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA MENGELUARKAN RUPIAH SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI

Silahkan cermati perbedaannya.
Biasanya yang mengeluarkan uang adalah BI, namun uang kertas baru yang mengeluarkan RUPIAH adalalah NKRI bukan Bank Indonesia, jelas tidak ada colatteral, diluar prosedur dan ilegal.

Selama ini kewenangan BI tidak ada dalam struktur pemerintah, tidak di bawah kendali pemerintah, ini fakta, uang kertas keluaran baru tidak sah karena yang menerbitkan bukan BI.

Uang yang dikeluarkan BI masih diterima di luar negeri, tapi Rupiah yang dikelurakan Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak diterima di luar negeri. Rupiah terbitan NKRI berlaku lokal.

Kita berhak tahu, mengapa ini bisa terjadi ?
Apa dasar hukum yang melandasi perbedaan tersebut ?
Apa maksud pemerintahan Jokowi dengan semua ini ?

Saya hanya bertanya karena kebodohan dan ketidaktahuan saya. Terimakasih

Arief Luqman El Hakiem

Jumat, 14 Juli 2017

Karikatur PKI 1964

Jakarta -(14/7/2017) Harian BERITA INDONESIA pada 20 Juni 1964 menampilkan KARIKATUR yang menggambarkan KELICIKAN PKI menyingkirkan LAWAN-LAWANNYA SATU DEMI SATU, dengan POLITIK ADU DOMBA, INTRIK dan INTIMIDASI.

Gambar karikatur ini kembali diposting akun fanpage NU Garis Lurus pada Kamis (13/7/2017) untuk kembali MENGINGAT SEJARAH DAN MEWASPADAI jangan sampai terulang kembali.

"Karikatur PKI tahun 1964. Setelah merangkul NU utk menendang lawan politiknya, akhirnya PKI menendang NU yang membuat marah seluruh pesantren di Nusantara. Skenario bisa saja diulang kembali?! Semoga Allah menggagalkannya..." tulis fp NU Garis Lurus.

Link: https://www.facebook.com/SelamatkanNU/photos/a.467428803396195.1073741826.467428066729602/970287599776977

Postingan ini mendapat tanggapan luas warganet.

"Sebenarnya,..saat ini memang sedang terulang kembali sejarah tsb, cuma saja kali ini tentu tdk segampang dulu, kenapa..? karena di dalam tubuh NU hanya segelintir yg telah hanyut dalam rekayasa makhluq entah itu PKI atau bukan, yang jelas generasi muda NU saat ini lebih cerdas dan berhati-hati mengikut elitnya,...lantas ada yg bertanya, apa anda punya bukti..? maka saya akan jawab dengan tegas, saya buktinya...!!! dari kakek nenek saya NU, bapak dan ibu NU, dan saya.. NU garis lurus," ujar Alkhalwaty Bakkah.

"Banyak yang tidak sadar para pemimpin NU dan warganya akan sejarah masa lalu yg bisa saja berulang dimasa sekarang," timpal Muhsinsyah Mukhtar.

"Mari waspada...umat islam haruslah bersatu...ingat sejarah...saat itu DN aidit menyatakan pro pancasila, ternyata sebaliknya...maka NU harusnya mawas diri dan mulai merapatkan barisan dgn ormas islam lain supaya tidak disusupi lagi seperti dulu...semoga," harap Adam Bishawa.

"Sejarah selalu terulang. Dan hari ini terjadi, ormas2 yg kritis dibubarkan sedangkan ormas yg loyal dngan pemerintah dzolim diajak kerja sama. NU pimpinan SAS," komen Abdillah Azzam Ristanto.

"PKI paling handal dalam menyusup.. Ingat sejarah sudah membuktikan!!! Presiden sokarno tk bisa berbuat apa2, masyumi bubar.. Bagi saudaraku yang tidur dalam buaian tentu tak dapat merasakan, tak peduli siapa orangnya dari presiden aparat maupun rakyat jelata, sedangkan orang yang selalu terjaga dari buaian maka tentu ia dapat merasakan gejala itu walaupun tanpa harus selalu ada bukti. Penyakit muncul itu didahului gejala bukan bukti, bukti muncul setelah ada gejala. Renungkan saudaraku..!!! Semoga kita jadi masyarakat waspada dan cerdas!!!" ujar Ali Imron.

href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhS9b6VDVM9jSiEvlnEg8AIHhnrsSqlVcB-ImjV0tVL5VLiJ2MnHz3AOxeOCBw6DW6V4Q5Cm1rEZPq-QWt62EUdnHN_at4ceeczKFcnyqlLhJVVKLhqEcxqSzLwvdv8nsfnERdi3BD7M6ee/s1600/pki4.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">

Peringatan dari karikatur itu ternyata benar. Tak ada setahun dari diterbitkannya karikatur, PKI melakukan penyerangan terhadap kyai, santri dan pesantren.
Salah satunya yang dikenal dengan TRAGEDI KANIGORO pada 13 Januari 1965.

Masih lekat di ingatan Masdoeqi Moeslim peristiwa di Pondok Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, pada 13 Januari 1965. Kala itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia dan 127 peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh. Tiba-tiba sekitar seribu anggota PKI membawa berbagai senjata datang menyerbu. Sebagian massa PKI masuk masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke karung.

"Selanjutnya dilempar ke halaman masjid dan diinjak-injak," kata Masdoeqi saat ditemui Tempo di rumahnya di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, pekan lalu.

Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di depan masjid. "Saya melihat semua panitia diikat dan ditempeli senjata," tutur Masdoeqi, yang kala itu masuk kepanitiaan pelatihan.

Dia menyaksikan massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke luar rumah.

Selanjutnya, massa PKI mengikat dan menggiring 98 orang, termasuk Kiai Jauhari, ke markas kepolisian Kras dan menyerahkannya kepada polisi. Menurut Masdoeqi, di sepanjang perjalanan, sekelompok anggota PKI itu mencaci maki dan mengancam akan membunuh.

Mereka mengatakan ingin menuntut balas atas kematian kader PKI di Madiun dan Jombang yang tewas dibunuh anggota NU sebulan sebelumnya. Akhir 1964, memang terjadi pembunuhan atas sejumlah kader PKI di Madiun dan Jombang.

"Utang Jombang dan Madiun dibayar di sini saja," ujar Masdoeqi, menirukan teriakan salah satu anggota PKI yang menggiringnya.

Kejadian itu dikenal sebagai Tragedi Kanigoro pertama kalinya PKI melakukan penyerangan besar-besaran di Kediri. Sebelumnya, meski hubungan kelompok santri dan PKI tegang, tak pernah ada konflik terbuka.

Meski tak sampai ada korban jiwa, penyerbuan di Kanigoro menimbulkan trauma sekaligus kemarahan kalangan pesantren dan anggota Ansor Kediri, yang sebagian besar santri pesantren. Memang kala itu para santri belum bergerak membalas. Namun, seperti api dalam sekam, ketegangan antara PKI dan santri makin membara.

Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Idris Marzuki, mengakui atmosfer permusuhan antara santri dan PKI telah berlangsung jauh sebelum pembantaian.

"Bila berpapasan, kami saling melotot dan menggertak," katanya.

Kubu NU dan PKI juga sering unjuk kekuatan dalam setiap kegiatan publik. Misalnya ketika pawai memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus, rombongan PKI dan rombongan NU saling ejek bahkan sampai melibatkan simpatisan kedua kelompok. Kondisi itu semakin diperparah oleh penyerbuan PKI ke Kanigoro.

Link: https://m.tempo.co/read/news/2012/10/01/078432924/tragedi-kanigoro-pki-serang-pesantren

PKI akhirnya melakukan kudeta berdarah pada 30 September 1965 yang dikenal dengan G 30 S/PKI dimana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan.

JAS MERAH !!!

JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH...

Sumber portal-islam.id

Senin, 10 Juli 2017

Kontroversi Diakhiri Oleh Putusan Pengadilan Oleh : Yusril Ihza Mahendra

Saya pernah mengalamai kontroversi sangat hebat tahun 1998 ketika Pak Harto panggil saya bersama Saadillah Mursyid alm, untuk tangani pengunduran diri beliau.

Maka saya tangani proses pengunduran diri itu dalam waktu 10 jam dan BJ Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden. Besoknya saya diserang habis oleh puluhan guru besar mulai dari Prof Emil Salim sampai Prof Soebroto, Prof A Muis, Prof Philipus Hadjon, Prof Dimyati Hartono dll.

Tapi ketika saya tantang debat di kampus tak seorangpun yang berani. Sampai akhirnya saya bawa pisau ke UNHAS dan saya tancapkan di meja menantang Prof Muis untuk tikam2an, jangan cuma berani maki2 saya di koran Fadjar, tapi tiga kali difasilitasi untuk debat oleh Jusuf Kalla di Al Markaz, 1 kali di Universitas 45 kalau tidak salah, dan terakhir di kampus FH Unhas, tapi Prof Muis tidak berani datang.

Hanya Prof Ismail Suny yang bela saya. Mrk bilang Suharto berhenti tdk sah dan Habibie jg tidak sah jd Presiden. Debat sangat keras. Akhirnya saya katakan yang bilang tdk sah silahkan bawa ke pengadilan.

Maka 100 orang advokat yang mengatasnamakan pengacara reformasi gugat masalah keabsahan tsb ke PN Jakarta Pusat. Saya menghadapi mereka sendirian di pengadilan. Tiga bulan sidang, PN Jakpus memutuskan menolak gugatan para penggugat seluruhnya.

Dalam pertimbangan hukum majelis hakim menyatakan bahwa proses berhentinya Pak Harto dan adalah sah, demikian pula pengucapan sumpah BJ Habibie sebagai Presiden baru di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung adalah sah. Waktu itu saya tanya Sdr Suhana Natawilana, salah seorang dari 100 advokat reformasi itu, apakah akan banding.

Mereka bilang akan pikir2 dulu dan nyatanya tdk banding, lalu putusan inkracht. Jadi perdebatan sah tidak sahnya berhentinya Pak Harto dan kabsahan BJ Habibie akhirnya dikuatkan dengan putusan pengadilan.

Sekarang saya sarankan KPK, kalau terus menerus mengatakan Pansus Angket KPK yg dibentuk DPR tidak sah, lawan dong ke pengadilan, bukan dengan cara menggalang opini dengan menciptakan berbagai stigma kepada mereka yang mengatakan Pansus itu sah.

Itu maksud saya menyarankan agar KPK jangan bermain politik, tapi lawan dengan hukum secara gentlemen. Dan itu akan menjadi contoh bernegara yg benar dan memberikan pendidikan politik kepada rakyat agar menjadikan hukum sebagai mekanisme penyelesaian konflik secara adil, argumentatif, adil dan bermartabat.

====================================

#LanjutkanPANSUSKPK
#TolakPenggalanganOpini
#WaspadaPengalihanIsu

Penyiraman Air Keras, Pembacokan dan Quo Vadis Penegakan Hukum di Indonesia

Jakarta- (10/7/2017) Publik tanah air dikejutkan dengan tragedi yang menimpa Hermansyah, Pakar bidang Informasi dan Teknologi dari ITB (Institut Teknologi Bandung). Hermansyah yang pernah diundang satu televisi swasta nasional, untuk mengisi talkshow ILC 'Membidik Habieb Rizieq' pada Selasa (6/6/2017), lalu, mengalami penganiayaan di Tol Jagorawi pada Ahad (9/7) dinihari.

Hermansyah rencananya akan dijadikan saksi ahli dalam kasus dugaan chat mesum yang melibatkan FH dan HRS. Pihak penasihat hukum FH, Aziz Yanuar, SH telah menyampaikan hal itu kepada penyidik Polda Metro Jaya, Selasa (04/07) lalu. Peristiwa nahas tersebut membuat Hermansyah batal menjadi saksi ahli untuk dimintai keterangan oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya.

Kasus penganiayaan yang menimpa Hermansyah menambah daftar kasus kriminal yang menimpa pihak yang terlibat dalam penegakan hukum di tanah air.

Sebelumnya, pada Selasa (11/4) penyidik senior KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Novel Baswedan juga mengalami tindak penganiayaan dengan disiram air keras sepulang dari menjalankan sholat subuh di depan rumahnya.

Diketahui, Novel sedang menangani kasus besar korupsi diantaranya kasus korupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan banyak pembesar negeri ini.

Keberadaan seorang penyidik dan saksi, baik saksi fakta maupun saksi kunci sangat penting dalam proses penegakan hukum. Seorang saksi dapat menentukan nasib seseorang, karena menjadi pertimbangan utama majelis hakim dalam memutuskan perkara. Dalam banyak kasus, seorang saksi mendapat ancaman dan menjadi target pembunuhan, tujuannya jelas, agar dia tidak bersaksi di pengadilan.

Di tahun 1994 Jet Li merilis sebuah film tentang perlindungan terhadap saksi yang berjudul "The Bodyguard From Beijing". Film bercerita tentang Michelle Yeung (Christy Chung) pada suatu hari tanpa sengaja menyaksikan sebuah pembunuhan yang dilakukan oleh seorang usahawan korup.

Tidak pelak Michelle pun menjadi buruan para pembunuh profesional yang dikirim oleh usahawan tersebut agar tidak dapat menjadi saksi yang memberatkannya.

Kepolisian Hongkong meminta bantuan Pemerintah China daratan untuk membantu  melindungi saksi Michelle. Pemerintah Cina pun mengirimkan seorang pengawal, John Chang / Allan (Jet Li) dari satuan polisi elit Beijing untuk membantu pengawalan Michelle.

Di Indonesia sendiri perlindungan terhadap saksi sudah menjadi perhatian meski belum maksimal. Adanya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam proses penegakan hukum.

Namun dengan adanya kasus Hermansyah dan Novel Baswedan, harus menjadi perhatian tersendiri bagi aparat keamanan negeri ini. Negara harus hadir ke tengah masyarakat untuk menjamin rasa aman dan percaya diri, ketika seorang warga hendak tampil menjadi saksi dalam suatu persidangan.

Dampak negatif dari kasus ini adalah munculnya ketakutan dan keengganan dari masyarakat untuk bersaksi dalam kasus yang membawa resiko keselamatan diri atau keluarga. Bagi aparat penegak hukum seperti penyidik, jaksa maupun hakim, kasus ini juga bisa membawa efek trauma, terutama bagi keluarga.

Jika hal ini dibiarkan terus berlanjut, maka menjadi awal babak kelam penegakan hukum di tanah air. Aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian harus mulai menyusun skala prioritas pengamanan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Mungkin perlu disusun SOP (Standar Operating Procedure) untuk melindungi para saksi maupun calon saksi, penyidik, jaksa termasuk juga hakim.

Kasus penyiraman dan pembacokan adalah bentuk intimidasi dan teror yang sesungguhnya terhadap penegakan hukum. Sekarang saatnya pihak kepolisian mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan mengusut secara cepat dan transparan, sehingga segera terungkap siapa dalang, pelaku dan motif dari semua kasus tersebut.

Kelambatan aparat kepolisian dalam menangani kasus teror seperti ini akan menjadi alasan bagi masyarakat untuk membawa pada asumsi-asumsi liar yang justru memperkeruh suasana. Faktor politis dan ideologis akan lebih kental dan menarik menjadi bahan diskusi dari pada kasus itu sendiri.

Fakta bahwa penegakan hukum di Indonesia masih timpang, terkesan tajam ke bawah tumpul ke atas akan mendapat pembenaran jika polisi lambat menangani perkara Hermansyah.

Semoga di usianya yang menginjak 71 tahun, Korps Bhayangkara mampu membuktikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat yang terpercaya. Semua aparat kepolisian sudah dididik dan dibekali pelatihan yang memadai sehingga makin profesional, peralatan canggih dan modern juga dimiliki institusi polri, anggaran yang cukup besar selalu digelontorkan pemerintah dalam alokasi APBN-nya.

Wajar jika masyarakat menuntut kinerja yang gesit dan memuaskan dari jajaran Korps Tribrata. Polisi, saatnya kembali kepada khitahnya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat yang siaga sepanjang waktu untuk menjamin rasa aman masyarakat. (Arief Luqman El Hakiem /Maspolin/ Bhayangkara Indonesia News).

Senin, 03 Juli 2017

"Konflik Hubungan TNI dan POLRI, Grand Design untuk Pelemahan NKRI".

Assallamu’alaikum Wr.Wb. Terima kasih atas waktu yang diberikan kepada saya. Pada kesempatan ini apa yang akan saya sampaikan adalah pendapat pribadi saya. Jangan dianggap ini sebagai pendapat TNI. Apa yang akan saya sampaikan pada kesempatan ini adalah hasil analisa saya terutama menyangkut persoalan skema pelemahan internal NKRI, yang kini muncul kepermukaan menjadi skema konflik TNI-Polri.

Kalau boleh saya katakan, apa yang dihasilkan oleh Reformasi 1998, menurut saya adalah sebuah penyimpangan. Karena reformasi itu hadir begitu cepat, sedang kita sendiri belum siap. Sehingga perjalanan reformasi ini kemudian “dibajak” oleh orang-orang yang telah siap finance dan programnya. Mereka adalah empat belas menteri yang mengkhianati Pak Harto. Merekalah yang kemudian menjadi “lokomotif” yang menyalip di tengah jalan. Bahkan Amin Rais menjadi begitu gagah perkasa seakan seorang pahlawan reformasi. Dan apa yang saya katakan ini pada waktu yang bersamaan mungkin tidak akan diterima oleh kalangan tertentu. Ketika NKRI didorong menjadi negara federal, saya sudah tahu dia corongnya siapa! Ini yang saya lihat. Bahkan saya cukup terkejut ketika Nurcholis Majid (Cak Nur) pun ikut menyuarakan.

Kembali kepada TNI dan Polri. Saya merasakan ini memang suatu kesengajaan. Kalau mau jujur saya katakan bahwa TNI dan Polri merupakan suatu badan yang berbeda. TNI itu adalah suatu institusi kombatan (tempur). Sedangkan Polri itu bukan institusi kombatan. Polri adalah non kombatan.

Polri itu sebetulnya hanya menangani apa yang disebut dengan crime justice system, atau yang lebih kita kenal dengan Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat (Tramtibmas). Tapi apa lacur pikiran kita dibelokkan sehingga dengan serta merta kita ikut latah dengan istilah pertahanan dan keamanannya TNI, seakan sama dengan istilah keamanannya Polri. Itu tidak betul. Keamanan ini security. Security as a whole include di dalamnya.

Dahulu masalah itu diributkan oleh Departemen Pertahanan dan Keamanan, itu sudah betul. Ironisnya sekarang setelah institusi TNI-Polri dipisah kok seakan semua setuju. TNI sebagai kombatan sudah kembali ke barak, dan meninggalkan sosial politiknya. Tapi ketika saya tanya, apakah Polisi Back to barrack? Tidak. Bahkan Polisi dipersenjatai seperti kombatan.

Ketika saya masih menjadi Irjen Dephan, saya habis-habisan menentang ini. Kenapa minta senjata AK? AK 97 adalah senjata kombatan bukan senjata Polisi. Senjata Polisi hanyalah untuk memberikan peringatan dan untuk membela diri. Makanya Polisi di Inggris senjatanya pakainya pentungan. Di Indonesia, Polisi malah dipersenjatai, pangkatnya persis pangkat tentara. Jenderal itu pangkat tentara bukan pangkat polisi. Kalau pangkat Polisi yang betul ya Inspektur, Komisaris, Ajun, sampai dengan Super Intendan. Tapi kita tidak, kita perkuat pangkat sama dengan Jenderal. Brimob disusun sampai susunan tempur, dulu saya sampai terkejut ketika hendak diberikan tank.

Jadi kita tidak tahu lagi mana yang kombatan dan mana yang non kombatan. Pada waktu acara di Kampus UNAIR, yang dihadiri pula oleh beberapa petinggi Polisi, saya sampaikan kalau nanti sistemnya seperti ini, polisi yang tidak Back to barrack. Kalau tidak back to barrack nanti kewenangan Polisi melampaui kapasitasnya. Siap tidak siap, mau tidak mau, nanti akan jadi tirani baru. Nah apa yang sekarang kita rasakan ini harus diwaspadai. Apalagi DPR sekarang tidak mengerti mana ketahanan mana keamanan sehingga secara membabi buta menyatakan keamanan tugas polisi, pertahanan tugas TNI, ini yang saya kira harus kita pelajari lebih mendalam.

Kalau kita belum bisa mendefinisikan dengan benar fungsi dan peran TNI-POLRI, maka sulit bagi kita mengandalkan keterlibatan mereka untuk memperkuat NKRI.

Kenapa saya katakan polisi kewenangannya melampaui kapasitasnya? Pertama, polisi di bawah presiden melampaui kapasitasnya, di negara yang paling maju dimanapun tidak ada

polisi di bawah presiden. Ini kewenangan melampaui kapasitasnya. Apalagi sekarang kita melihat kalau sidang kabinet, Polri hadir, panglima TNI juga hadir. Bagaimana kita tidak mengatakan bahwa TNI dan Polri tidak terlibat dalam politik?!

Sekali lagi saya katakan pendapat saya, kalau salah dibuang, kalau benar saya kira bisa kita lanjutkan.

Untuk itu, sekarang bagaimana solusi untuk mendinginkan ini. Sulit. Kalau kita berkaca pada sistem yang ada ini memang sulit. Belum lagi ada kata kecemburuan sosial, anak-anak saya itu kalau cerita diam-diam dan dibelakang. Saya tanya, “Le, kenapa kamu tidak akur dengan polisi? Bagaimana ndan, kita itu gajian satu bulan sekali dia gajian tiap hari.” ini guyonan tapi menyengat. Karena masalah itu, kita paten-patenan.

Tahun 1998 yang kita selamatkan mereka. Ditahun itu kalau Polisi diuber-uber, kita yang selamatkan. Sampai Brimob yang ada di perempatan, bila tidak ada Marinir, sudah habis itu.

Jadi, itu yang saya terus ingat. Itu salah satu kelebihan. Ada satu kapasitas lagi, Polisi mengurus mobil, BPKB, STNK, itu kan pajak-pajak mobil. Itu sebetulnya sektor keuangan, ranahnya Depkeu, bukan ranahnya polisi.

Waktu saya Irjen ditahun 2000, ada lima (persoalan, red) yang diribut-ributkan, ada di Tempo. Lucu kalau saya ingat itu. Pertama, gedung PTIK, lahan PTIK yang akan dirilslah. Padahal menurut peraturan pemerintah harus izin ada izin Presiden, Sekeu, Departemen Keuangan. Dia mau rislah, dananya mau diambil sebagian untuk membuat Markas Besar Polisi, yang waktu itu terbakar.

Kedua, masalah mobil Timor. Mereka membeli mobil Timor 1033 dengan harga 60 juta, padahal saya marinir membeli mobil timor dari Mas Bambang 24,550 juta.

Ketiga, masalah senjata. Dia mengajukan kepada Dephan, Pak Yuwono, minta 16.000 membeli senjata AK 97 dengan harga 63 juta. Beliau minta disposisi kepada saya. Saya lalu menghadap. Saya katakan, bahwa Senjata AK 97 ini dengan harga 7 juta. Lebih aneh lagi kok minta 16 ribu. Seingat saya, Marinir, anak buah saya cuma 16 ribu. Dan seingat saya Brimob itu tidak sampai sepertiga Marinir. Selebihnya senjata untuk siapa? Padahal proses pengajuan senjata itu dilihat dari klasifikasi senjatanya. Klasifikasi dilihat mana yang rusak berat, sedang, ringan. Keuangan kita hanya mencapai itu. Untuk rusak berat yang dibeli, itu yang rusak berat. Rusak ringan maupun rusak sedang masih dikalibrasi dengan depo senjata, yang ada di angkatan masing-masing.

Keempat, dana operasional SIM dan STNK. Dana ini adalah dana publik, uang rakyat. Polisi tidak boleh mengatur itu. Seharusnya SIM dan STNK ini dikerjakan oleh Depkeu dan Sekeu Departemen Perhubungan. Bukan oleh polisi. Ini yang harus diluruskan. Harus di reformasi. Kalau Mabes Polri perlu anggaran, dia harus mengajukan daftar usulan pembangunan kepada pemerintah. Pemerintah kemudian mengalokasikan dana sesuai kemampuan, dana harus masuk pemerintah dulu tidak boleh langsung dikelolahartanyaukan sampai angka 45-46 Miliar. Saya kemudian cek ke Singapura alat komunikasi dengan spesifikasi dan merek ini berapa harganya untuk sekian unit. Saya dapatkan harga tidak sampai 5 M. Lalu terjadi kehebohan. Bahkan sampai bocor ke media. Saya lalu bilang kepada Pak Yuwono, “Kalau kebocoran itu berasal dari saya, hari ini saya siap untuk dipecat.”

Bagaimana mengetahui bocor atau tidaknya di wartawan. Oh gampang Pak, saya kalau membuat laporan tebusannya itu ada nomornya. Jadi nomor 1 adalah bapak Menhan, nomor 2 ini, lihat saja di wartawan pak itu jatuh dicopy nomor berapa. Kalau itu copy ada di dalam lingkungan Dephan, saat itu saya berhenti. Dan ternyata kebocoran itu ada di pihak Polisi sendiri, karena saat itu ada persaingan tahta kepolisian.

Ini ilustrasi saya yang bisa disampaikan terkait hubungan antara TNI dan polisi. Dan hal ini memang harus diselesaikan. Polisi kita sudah diciptakan seperti TNI. Unit non kombatan sudah kita jadikan seperti kombatan. Dan mereka sendiri sudah nikmat dan sulit untuk bisa kita ubah.

Tampaknya Polisi sudah merasa nyaman dengan Sistem ini. Saya kira satu-satunya jalan adalah merangkul kembali Polisi da

n TNI dalam satu badan dan harus kita pikirkan kemana larinya? Atau posisi yang kedua mereka dikembalikan kepada Departemen Dalam Negeri seperti yang diwacanakan oleh Jokowi-JK.

Mereka dulu paparan di Dephan, pokoknya kalau Mas Harto sudah pindah dari Dephan, kita akan paparan ulang di Dephan. Setelah saya tidak di Dephan lagi, konsep itu diterima oleh DPR. Itu yang saya takutkan.

Makanya sistem ini terus berjalan. Apakah ini merupakan skema pelemahan NKRI? Menurut saya ya. Sulit kita pungkiri kalau hal ini bukan merupakan bagian dari grand desain untuk pelemahan Republik ini.

Saya melihat bahwa pelemahan Republik ini sudah sejak tahun 1955. Sejak maklumat wakil presiden nomor 50. Disitulah saat Indonesia dimasuki oleh alam liberal. One man one vote.

Disinilah awal kita meninggalkan amanah founding fathers kita yang terdiri dari berbagai suku. Maaf kalau saya katakan, terserah mau dinilai apa saya nanti. Maklumat Wapres itu wujud daripada pengkhianatan. Seperti kami di TNI, dalam kesatuan Batalyon, ada keluar perintah Wakil Komandan Batalyon. Wadanyon baru bisa memberikan perintah pada pasukan saat Komandan Batalyon mati. Begitu juga di Republik ini, maklumat Presiden harusnya baru bisa keluar bila Presiden sudah mati.

Kita sudah meninggalkan kebersamaan. Kita sudah meninggalkan semangat gotong royong. Kalau kita bicara gotong royong, bukan hanya sekedar pilar bangsa kita tapi juga dasar bangsa. Dimana dari dasar negara tersebut, ditegakkanlah pilar-pilar tersebut. UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Disitulah tiga pilar itu berdiri. Jadi bukan empat pilar berdiri disitu.

Sekarang kita sudah tahu kelemahan-kelemahan kita? Seperti pelajaran budi pekerti apakah masih diajarkan di sekolah? Sayang sudah dihapus. Padahal budi pekerti itu adalah bagian yang paling dasar dari Pancasila. Kita sudah tidak mengenal lagi gotong royong. Termasuk pelajaran ilmu bumi sudah tidak diajarkan lagi. Supaya apa? Supaya warga negara kita, anak bangsa kita tidak mengenal lagi tanah airnya.

Saya terperangah pada saat ada perlombaan di televisi, dimana pelajar-pelajar SMA sebagai pesertanya tidak tahu Pontianak itu ada dimana. Ya Allah, Ya Rabbi. Itu juga bagian dari pelemahan.

Seperti halnya Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, masa dia katakan Banjarnegara di Jawa Barat. Nah itu adalah produk. Kalau dia katakan, dia adalah tokoh Pancasila, rasanya tidak percaya saya. Saya kira itu pelemahan.

Apakah nanti TNI dan Polri bersatu lagi dalam rangka penguatan NKRI, kita bisa kaji lagi. Yang jelas, seperti kita saksikan sekarang ini mereka sudah memberikan kontribusi kepada pelemahan NKRI. Karena memang sudah samar wilayahnya. Samar sektornya. Ini kombatan, non kombatan atau dua-duanya kombatan. Sehingga sekarang bisa gagah-gagahan, mau bedil-bedilan ayo mari. Selama belum mengerahkan tank, loe punya senjata, gue juga punya.

Inilah satu hal yang bisa saya sampaikan. Kedepan saya optimis mereka mampu secara internal menyelesaikan ini. Apabila semua pemimpin kita menyadari bagaimana problema kita dan yakin bisa kita atasi dengan sebaik-baiknya.

Saya melihat hanya ada dua jalan bagi Polisi, pertama kembali kepada Dephan, atau kembali kepada Depdagri. Yang pertama tidak populer, apalagi sekarang sedang didengungkan civil society itu bagian di luar ABRI. Padahal kalau kita gali lebih dalam, civil society itu include di dalamnya TNI. Karena TNI itu juga bagian dari rakyat. Rakyat yang bertugas untuk pertahanan namanya TNI. Bidang pemerintahan namanya Pamong, bidang hukum adalah Hakim dan Jaksa semua itu dalam rangka civil society. Itu yang kita tanamkan kepada anak-anak kita. Namun saya tetap memberikan suatu optimisme kepada kita semua, bahwasannya NKRI Insya Allah, jika kita sadar, kita tetap bisa mempertahankannya. Kita tetap memilih NKRI daripada kita memilih 47 negara bagian. Terima kasih.

(Disampaikan oleh Letjen Marinir (Purn)  Suharto, Mantan Komandan Korps Marinir Angkatan Laut ke-12.