Cari Blog Ini

Kamis, 30 November 2017

Sandiwara Penyanderaan di Papua dan Transformasi dari OPM menjadi KKB

Pertengahan November lalu publik dikejutkan oleh pernyataan aparat polisi soal situasi penyanderaan di lokasi pertambangan ilegal di Tembagapura, Mimika, Papua.

Jumlah sandera mencapai seribuan, menurut klaim polisi. Yang disandera adalah warga pendatang dan tempatan. Penyandera adalah kelompok separatis Papua Merdeka. Pemberitaannya, pada saat itu, akhirnya bergantung dari pernyataan polisi dan pernyataan kelompok separatis. Sukarnya akses ke Mimika membuat peristiwa tersebut masih kelabu.

Wartawan Republika Mas Alamil Huda di Timika dan Fitriyan Zamzami berkesempatan menggali kejadian itu, sejak pekan lalu.

Berikut tulisannya.

REPUBLIKA.CO.ID, MIMIKA -- Di kaki pegunungan Jayawijaya, Papua, ada sebuah danau. Wanagon dia punya nama. Airnya dahulu jernih, bersumber dari lelehan salju di puncak gunung.

Bagi suku Amungme yang bermukim di sekitar lokasi itu, Wanagon juga semacam tempat keramat. Danau ini adalah titik berkumpulnya arwah para leluhur. Arwah-arwah tersebut nantinya membalas kebaikan alam dengan membawa kelestarian dan keberkahan bagi warga Amungme melalui aliran sungai-sungai besar, salah satunya Aijkwa.

Sungai-sungai besar itu kemudian bercabang lagi menjadi sejumlah kali. Di Distrik Tembagapura, membelah Kampung Utikini, Kampung Kimbely, dan Kampung Banti, Aijkwa bercabang menjadi Kali Kabur yang mengular sepanjang lima kilometer.

Sudah sejak lama, yang mengalir dari Wanagon bukan lagi air jernih. Ini karena limbah bekas pengayakan bebatuan di pertambangan PT Freeport Indonesia di Grasberg menimbun danau tersebut.

Wanagon kini jadi salah satu danau paling kritis di Indonesia.
Residu pertambangan yang menimbun itu kemudian ikut mengalir ke sungai-sungai di bawahnya. Termasuk ke Kali Kabur yang bentangan awalnya bermula dari Mile 37 dari pusat pertambangan di Tembagapura hingga Banti.

Masyarakat Mimika menamai wilayah Utikini-Kimbely-Banti dengan sebutan ‘Atas’. Ini berkaitan dengan kondisi geografis dua daerah tersebut. Dua kampung itu membelah bukit-bukit dan dataran tinggi. Ketika warga berpelesiran ke tengah Kota Mimika, mereka disebut sedang ‘turun ke Bawah’.

Terlepas posisi itu, Utikini-Kimbely-Banti bukan wilayah yang sepi betul, terlebih di tepian Kali Kabur. Limbah tambang dari PT Freeport yang masih mengandung sekutip emas mengundang penambang ilegal ke lokasi tersebut tak lama selepas Reformasi pada 1998.

Demam emas dari limbah tambang itu membuat warga dari luar Papua memepaki tepian sungai dan kali di Mimika, termasuk Kali Kabur. Mereka mendulang emas dari kali yang airnya kini kerap tak lebih dari satu meter. Kegiatan ilegal itu, meski berkali-kali sempat ditertibkan, akhirnya menciptakan ekosistem tersendiri.

Banyak warga pendatang tak hanya mendulang emas. Beberapa lainnya berjualan. Mereka berdagang bahan makanan dan bahan pokok lainnya guna kebutuhan pendulang.

Tempat dagangan atau kios-kios ini berdiri di sepanjang jalan di Kampung Banti dan Kimbely di tepi Kali Kabur. Berjejeran dengan tenda-tenda sederhana para pendulang.
Kegiatan mendulang tersebut juga akhirnya dicontoh warga lokal. Etty Waker (29 tahun) seorang warga Kimbely, salah satunya. Lelaki suku Amungme itu menuturkan, ia biasa mencari emas bersebelahan dengan warga pendatang dari Sulawesi dan Jawa di Kali Kabur.

Menurut dia, selama ini jarang ada perselisihan di antara mereka. “Kita ini masyarakat biasa-biasa saja. Kita ini mereka punya saudara,” kata Etty saat ditemui Republika di Mimika, pekan lalu.

Hal serupa disampaikan Obaja Lawame (30 tahun). Ketika ditanyai soal hubungan mereka dengan pendatang, ia lekas menyela. “Tidak-tidak, mereka tinggal dengan kita. Mereka kita punya saudara,” katanya di Gedung Graha Eme Neme Yauware, Mimika.

Lelaki yang juga tokoh masyarakat di Kimbely ini mengatakan, selama beberapa tahun terakhir sejak para pendatang ke kampung halamannya, kehidupan bermasyarakat di antara mereka terjalin cukup baik. Mereka saling mengisi kebutuhan satu sama lain.

Ketua Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) di Mimika, Imam Pradjono, menuturkan, ada 90 warga suku Jawa yang mencari nafkah di dua kampung tersebut. Sebagian besar pendulang, beberapa lainnya berjualan.

“Kita bukan orang baru di sana, sudah cukup lama. Ada yang satu tahun, ada yang lebih dari lima tahun. Mereka ini bersahabat, keluarga kita yang pendatang dengan masyarakat putra daerah yang di Banti dan Kimbely itu keluarga, berbaur. Dengan orang Toraja dan sebagainya juga,” kata dia kepada Republika di Mimika.

Hingga kemudian terjadi insiden pada 21 Oktober 2017. Aparat kepolisian yang sedang berpatroli ditembaki saat melintas di Bukit Sanger, Kampung Utikini. Dua anggota Brimob terluka.

Penembakan kembali terjadi keesokan harinya di lokasi yang sama. Kali ini, baku tembak mengakibatkan anggota Brimob Yon B Mimika bernama Briptu Berry Permana Putra kemudian gugur. Empat anggota Brimob yang mengevakuasi Briptu Berry juga menjadi korban luka.

Pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) mengklaim sebagai dalang penembakan tersebut. Bukan itu saja, mereka juga menjanjikan akan meningkatkan penyerangan di wilayah Tembagapura dengan dalih merongrong keberadaan PT Freeport serta sebagai upaya pembebasan Papua dari NKRI.

Sayap militer OPM tersebut sudah sejak lama beroperasi di pegunungan tengah Papua. Pada 2014-2015, serangan-serangan kian terkonsentrasi di wilayah pedalaman sekitar areal tambang PT Freeport. Kepolisian melansir, selain sejumlah pasukan tewas dari kedua sisi, sebanyak 32 senjata api juga dirampas kelompok bersenjata dari pihak kepolisian pada periode itu.

Komandan Operasi TPNPB-OPM III Timika, Hendrik Wanmang, menyatakan dalam pernyataan resmi, mereka telah menyepakati pada 21 Oktober 2017 untuk membalas perlakuan aparat keamanan Indonesia atas warga Papua. Wanmang jadi salah satu yang menandatangani kesepakatan itu.

Bersamaan itu pula, Imam Pradjono mengklaim, ia kerap mendapat laporan via telepon dari warga Jawa yang berada di Banti dan Kimbely bahwa mereka disatroni kelompok bersenjata. “Kemudian orang Jawa ada yang sempat kena pukul, dompet dirampas, uang diambil, HP diambil dengan tujuan agar tidak bisa komunikasi dengan dunia luar,” ujar Imam.

Juru Bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom tak menampik ada perampasan telepon genggam. Menurut dia, tentara-tentara TPNPB-OPM menyita sementara telepon genggam itu agar para pendulang emas tak menghubungi kepolisian soal keberadaan pasukan mereka.
Terlebih, mereka mendengar kabar bahwa pendulang dari luar disusupi aparat keamanan. “Kami kumpulkan semua HP dan harta sementara saja,” ujarnya kepada Republika via sambungan telepon.

Bagaimanapun, situasi terus memanas. Muncul isu adanya pemerkosaan terhadap seorang perempuan warga pendatang. Pada Sabtu (4/11) hingga Ahad (5/11), terjadi pembakaran terhadap kios-kios warga yang berada di seputaran asrama Polsek Tembagapura di Mile 68.

Tenda-tenda rumah darurat para pendulang emas di pinggiran Kali Kabur, juga dibakar. Polsek Tembagapura, sekira 500 meter dari Utikini-Kimbely-Banti ditembaki. Bendera Bintang Kejora berkibar di salah satu bukit di Banti.

Suasana mencekam di Tembagapura dan sekitar lokasi tambang. Saling buru antara aparat keamanan dan kelompok bersenjata lalu menjadikan akses utama menuju Utikini-Kimbely-Banti tertutup. Bahan makanan tidak bisa masuk. Warga tempatan tak berani keluar.

Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar menyatakan, pada 11 November 2017, Utikini-Kimbely-Banti telah dikuasai kelompok bersenjata. Sekitar 1.300 warga, menurut kepolisian, disandera kelompok bersenjata yang berkekuatan sekitar 100 petempur dibekali 35 senjata api.

Namun, benarkah ada penyanderaan saat itu?

‘Mereka Kita Amankan’ Raut-raut wajah menampakkan ketegangan dan kelelahan begitu turun dari bus. Sejumlah 344 jiwa, mulai dewasa, perempuan, hingga anak-anak kala itu diangkut dengan 10 bus milik PT Freeport Indonesia dari Kampung Banti dan Kimbely.

Ratusan warga yang dievakuasi Satgas Terpadu TNI-Polri pada Jumat (17/11) itu nyaris seluruhnya pendatang. Mereka gabungan dari banyak suku, mulai Jawa, Toraja, hingga Batak dan beberapa lainnya. Hanya seorang pria dan delapan anak-anak asli Papua dalam rombongan itu.

Tak sampai sepekan di Timika, pusat Kota Mimika, mereka langsung dipulangkan ke daerah masing-masing. Kepolisian dan TNI mengklaim, ratusan warga pendatang itu dibebaskan dari penyanderaan oleh kelompok kriminal bersenjata alias KKB.
Namun, ada versi lain yang didapat Republika dari warga tempatan.

“Sandera-sandera itu tipu-tipu,” kata Soli Alom kepada Republika di Graha Eme Neme Yauware, Timika, akhir pekan lalu. Lelaki 28 tahun itu terus mengunyah buah pinang dan kapur sirih sepanjang berbicara dengan Republika .

Soli mengernyitkan dahi mengingat-ingat, warga pendatang yang sebagian berdagang bahan makanan dengan mendirikan kios-kios di tepian jalanan kampung terus menerima ancaman sejak pertengahan bulan lalu. Beberapa melaporkan ada perampasan bahan makanan, uang, hingga telepon genggam. “Mereka takut terus lari ke kita (warga lokal). Mereka juga kita punya saudara,” kata Soli.

Tak jauh dari Soli berdiri, Obaja Lawame ikut menimpali. Warga Kimbely ini menyebut, krisis di Kimbely-Banti dimulai dari kontak senjata aparat TNI-Polri dengan kelompok bersenjata sejak 8 Oktober.

Praktis sejak saat itu, menurut dia, akses utama menuju kampung di sana terblokir. Pedagang tidak bisa mendapat bahan makanan dari “bawah”, sebutan untuk Distrik Timika, dan warga terisolasi tidak bisa ke mana-mana.

Warga bertahan dengan makanan yang tersisa. Pada 22 Oktober, lelaki yang ditokohkan di Kimbely ini mendapat kabar ada anggota Brimob bernama Briptu Berry Permana Putra gugur tertembak.

Sejak saat itulah, menurut dia, keadaan kian tak aman dan semua warga pendatang diajak untuk tinggal bersama warga lokal demi alasan keamanan. “Kita kumpulkan jadi satu tempat, tapi bukan disandera. Kita kasihan mereka, makanya kita amankan di kita punya rumah sambil kita tunggu jalan buka,” ujar Obaja.

Dia mengatakan, situasi itu terus terjadi hingga beberapa pekan selanjutnya. Persediaan makanan kian menipis sehingga mereka harus bertahan berpekan-pekan dalam keterbatasan.

Obaja juga mengiyakan kelompok bersenjata merampas barang dagangan masyarakat di kios, uang, hingga emas hasil pendulangan yang belum dijual. Sebagian warga pendatang, menurut dia, tinggal di daerah yang kerap disebut Longsoran di tepi Kali Kabur. Sementara perkampungan warga tempatan agak masuk ke dataran yang lebih tinggi.

“Orang-orang ini, mereka punya tempat jualan itu, jualan itu di pinggir jalan. Jadi orang OPM naik turun itu selalu ganggu-ganggu. Mereka naik turun ada orang kios dipukul, ditodong, jadi mereka (pendatang) takut. Jadi 300 berapa orang itu kita tampung di rumah kita di dalam,” kata Obaja lebih lanjut.

Ketua majelis gereja di Kimbely, Natanbagai (35 tahun) menekankan, yang terjadi adalah warga asli di Kimbely-Banti ikut mengamankan para pendatang dari gangguan kelompok bersenjata. Selama beberapa pekan dalam situasi yang tidak kondusif, menurut dia, para pendatang bisa merasa cukup aman.

Situasi jadi pelik saat kios-kios warga yang berada di seputaran asrama Polsek di Mile 68, Tembagapura, dibakar. Beberapa kios yang sudah tak berpenghuni dibakar pada Ahad (5/11) dini hari.

“Kalau tidak bawa ini semua bahaya, (persediaan) makanan habis. Masyarakat minta turun karena ada kontak senjata dan bahan makanan habis,” ujar Natanbagai.

Kisah lain pula muncul dari sisi para pendatang. Salah satunya, Desi Rante Tampang (33). Wanita asal Toraja, Sulawesi Selatan, itu mengklaim telah berjualan kelontong di areal pendulangan emas sejak 2014. "Puji syukur kepada Tuhan karena kami sudah berada di tempat yang aman sehingga tidak lagi ketakutan dan terintimidasi," kata Desi setelah dievakuasi pada Jumat (17/11) seperti dilansir Antara .

Ia mengatakan, selama sebulan di “Atas”, kelompok bersenjata senantiasa berpatroli dari rumah ke rumah dengan membawa senjata api dan senjata tajam. Ibu tiga anak itu menuturkan, wajah para anggota kelompok bersenjata tak bisa dikenali karena dilumuri cat hitam.

"Bila malam tiba kami semua dikumpulkan di satu rumah dan bila siang kami kembali ke rumah masing- masing. Bila mereka datang, kami langsung masuk ke dalam ruangan atau kamar karena takut," kata Desi.

Versi Polda Papua, tak hanya intimidasi, warga pendatang juga mendapatkan pelecehan seksual. Kabid Humas Polda Papua Kombes Ahmad Mustofa Kamal menuturkan, warga yang mengalami pelecehan seksual oleh KKB di area Longsoran sebanyak lima perempuan atas nama EK, T, HY, D, dan L. Sementara korban kekerasan seksual di kampung Kimbely atas nama R, MM, LL, S, RK, I, dan ML.

Data warga yang dianiaya dan ditodong dengan senjata api sebanyak 19 orang. Warga yang dirampas telepon genggamnya sebanyak 74 orang dengan jumlah barang bukti 200 unit telepon.

Total uang yang dirampas kelompok bersenjata senilai Rp 107,5 juta. Jumlah paling kecil yang dirampas senilai Rp 500 ribu milik pendatang berinisial P, dan yang paling besar Rp 30 juta miik pendatang berinisial B. Sedangkan total emas yang dirampas seberat 254,4 gram. Yang paling ringan, milik YP seberat 5,4 gram, dan paling banyak milik YM seberat 100 gram.

Situasi yang lebih kompleks disampaikan Ketua Kerukunan Keluarga Jawa Bersatu (KKJB) di Mimika, Imam Pradjono. Dalam tamsil, ia mengatakan, ada sentimen tertentu juga di warga lokal Kimbely dan Banti.

Sejumlah saksi mata juga mengatakan, simpatisan Papua merdeka tak sekadar 20-an orang seperti yang diklaim kepolisian. Jumlahnya ratusan dan sebagian berbaur dengan warga lokal.

“Orang-orang yang di seberang sana, yang sehati, tapi berseberangan pandangan itu menyandera orang kita,” ujar dia kepada Republika . Menurut dia, nyaris sebulan penuh warga pendatang tak boleh bekerja. Tak boleh keluar dari perimeter yang ditetapkan kelompok bersenjata di Kimbely-Banti.

Komandan Operasi TPNPB-OPM III Timika, Hendrik Wanmang mengklaim, yang mereka lakukan hanyalah menjaga agar warga Kimbely-Banti tak masuk dalam wilayah tempur dengan TNI-Polri. Pihak TPNPB-OPM juga menyatakan, kios-kios yang disatroni juga milik mereka yang terindikasi bekerja sama dengan TNI-Polri. Menurut mereka, tak ada pemerkosaan.

Bagaimanapun, pada Jumat (17/11), pihak TNI-Polri merasa cukup. Operasi penyerbuan digelar. Operasi yang kemudian memunculkan versi berbeda pula.

Misteri Dua Jenazah di Bukit Kimbely

Pernak-pernik khas suku-suku di pegunungan Papua menggantung di leher Kamaniel Waker. Mulai dari taring babi hutan hingga tas rajut kecil menghiasi dada pria berumur 49 tahun itu. Ia ditemui Republika ketika tengah mengordinasi para pengungsi di Graha Eme Neme Yauware, Distrik Timika, Mimika, pekan lalu.

Tangannya liat dan berotot sewarna kayu jati, genggamannya keras saat bersalaman. Sorot matanya yang tajam, jenggot lebat di wajah, memunculkan kesan tegas. Namun, ketika diajak berbinjang, keramahannya muncul. Ia beberapa kali tertawa di sela-sela pembicaraan.

“Kalau mereka lapar, saya lapar. Kalau mereka mati, saya mati.” Kamaniel mengingat bagaimana ia harus terus mengulangi kata-kata itu di hadapan saudara-saudara satu sukunya yang telah menggabungkan diri dengan TPNPB-OPM.

Ada keponakannya dan sepupu di antara mereka. Ayub Waker yang disebut memimpin para petempur TPNPB-OPM di Mimika, kata Kamaniel, adalah pamannya.
Sambil pasang badan, Kamaniel mengatakan, ia harus dibunuh dulu sebelum para pendatang beretnis Jawa, Toraja, Buton, Bugis, dan Batak, yang ia lindungi di Kampung Kimbely dan Kampung Banti, Distrik Tembagapura, Mimika, dihabisi kelompok bersenjata.

“Lebih saya mati sama kamu orang, dari pada sama orang lain,” kata Kamaniel kepada kelompok bersenjata. Ia berupaya meyakinkan petempur-petempur TPNPB-OPM, para pendulang emas ilegal tersebut warga biasa. “Mereka kamu orang punya masyarakat, tentara (Indonesia) punya masyarakat.”
Baku buru antara TNI-Polri dengan kelompok bersenjata TPNPB-OPM telah membuatnya dalam posisi sulit sejak pertangahan Oktober lalu. Sebagai kepala suku umum yang melingkupi suku-suku di Mimika, ia wajib melindungi puaknya.

Kamaniel juga merasa berkewajiban melindungi warga pendatang pendulang emas di Kali Kabur yang belakangan kerap diganggu kelompok bersenjata.

Ia meyakini, perang semestinya hanya antara para petempur dari kedua sisi. Warga sipil tak boleh diganggu. Kamaniel mengklaim sempat dicap pengkhianat oleh anggota kelompok bersenjata terkait sikap itu. “Dia orang tembak saya empat kali,” kata Kamaniel kepada Republika .

Kemudian datang pagi hari itu. Pada Jumat (17/11), pukul 07.00 WIT, pasukan TNI memasuki desanya saat anggota TPNPB-OPM yang berjaga-jaga di pintu masuk menuju Utikini dan di dalam Kimbely-Banti mundur ke pos-pos mereka di bukit-bukit yang mengitari kampung.

“Mereka (TNI) kasih tahu masyarakat tidak boleh lari dan harus pasang Merah-Putih,” kata Kamaniel. Pukul 08.00 WIT, kata Kamaniel, sekitar 300 warga pendatang diminta keluar dari rumah-rumah di Kimbely. Warga lokal juga dikumpulkan di lapangan kampung.

Sementara itu, serangan dilancarkan. Kamaniel bersaksi, tentara melepaskan tembakan dengan senjata api ke arah gunung-gunung hingga sekitar pukul 09.00 WIT. “Mereka juga tembak bom pakai meriam,” kata Kamaniel.

Ketakutan, warga kampung tetap di posisi mereka hingga serangan selesai. Aparat kemudian menguasai lokasi sekitar pukul 11.00 WIT. Sebanyak 335 warga non-Papua di Kimbely-Banti beserta satu pria dan delapan anak Papua lalu dievakuasi berjalan kaki keluar kampung dan dijemput menggunakan sejumlah bus di Polsek Tembagapura.

Versi resmi dari Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/Cendrawasih, sekira lima hari sebelum evakuasi 13 personel Kopassus dan 10 personel Kostrad sudah mengintai lokasi. Hadir juga Peleton Intai Tempur Kostrad bersama Batalyon Infanteri 754/Eme Neme Kangasi yang masing-masing berkekuatan 10 personel.

Mereka mengendap dan memantau pergerakan kelompok bersenjata yang disebut membaur dengan warga lokal. Pada Jumat (17/11) pagi, saat anggota kelompok bersenjata naik ke pos masing-masing di bukit, tentara merangsek masuk ke Kimbely dan Banti sembari menghalau kelompok bersenjata dengan tembakan-tembakan.

Sehari setelah evakuasi, aparat kemudian melakukan penyisiran. Dua jenazah di temukan di gunung-gunung yang ditembaki sehari sebelumnya. “Ada dua orang mati ditembak pakai bom,” kata seorang warga Kimbely, Soli Alom (28 tahun), kepada Republika di Timika, pekan lalu.

Pihak Kodam XVII/Cendrawasih mengklaim keduanya anggota kelompok kriminal bersenjata. "Satu orang menggunakan kaos loreng TNI celana hitam sampai lutut, pakai sepatu boot , dan ikat kepala Bintang Kejora. Yang satu lagi, celana selutut tanpa baju, sepatu boot karet, noken Bintang Kejora," tutur Kepala Penerangan Kodam XVII/Cendrawasih Letnan Kolonel Infantri M Aidi.

Sedangkan Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom berkeras, keduanya adalah warga sipil. “Kami mengklarifikasi bahwa mereka adalah warga sipil yang berada di Kimbely. Itu adalah pelanggaran HAM dan Indonesia harus bertanggungjawab,” ujar Sambom dalam pernyataan resmi, pekan lalu.

Menurut Kamaniel, kenyataannya berada di tengah-tengah. Salah satu yang tewas, seingat Kamaniel, adalah Ilame Waker. Ia berusia sekitar 20 tahun. “Dia
bapak ade (paman) punya anak,” kata Kamaniel. Menurutnya, Ilame memang petempur TPNPB-OPM. “Dia pegang senjata.”

Lain halnya dengan korban lainnya, Berina Waker yang seumuran dengan Ilame. Seperti Ilame, Berina juga sepupu Kamaniel. Ia menuturkan, Berina sedianya seorang pendulang emas yang kerap bekerja bersisian dengan para pendatang.

Saat krisis di Kimbely-Banti, Berina beberapa kali naik ke bukit-bukit menemui saudara-saudara anggota kelompok bersenjata. Saat terjadi penyerangan dan evakuasi warga oleh TNI, Berina kebetulan berada di lokasi yang jadi sasaran tembak. “Dia tidak bisa turun.”

Pihak TNI mengklaim, kedua jenazah kemudian diserahkan ke suku mereka untuk dibakar sesuai adat tempatan. Sedangkan menurut Kamaniel, bukan karena ritual jenazah mereka dibakar. “Kulit sudah terkupas semua, tulangnya kelihatan,” kata Kamaniel merujuk kondisi jenazah.

Selepas penemuan jenazah itu, perburuan kelompok bersenjata masih terus dilakukan. Suara-suara tembakan masih kerap terdengar dari Kimbely dan Banti. Tak mau ambil resiko, Kamaniel merayu sekitar 800-an warganya turun mengungsi ke Timika, pusat kota Mimika.

”Babi sama kebun kita tinggal semua,” ujarnya. Meski begitu, ada sebagian yang tak hendak turun dengan dalih menjaga ternak.
Sebagian mengungsi di Graha Eme Neme Yauware, lainnya di ke Kampung Damai di Distrik Kwamki Narama. Mereka menempati Gereja GKII wilayah II Pegunungan Tengah Papua Jemaat Anugerah.

Kamaniel mengatakan, sebagian pengungsi yang tidak memiliki keluarga di Timika akan direlokasi ke lahan di Mile 32, Distrik Kuala Kencana. Situasi di atas yang tak menentu membuat Kamaniel merasa perlu adan tempat baru untuk penghidupan yang lebih layak dan keberlanjutan pendidikan anak-anak Banti, Kimbely, dan sekitarnya.

Namun tak semua warga suku membagi keinginan itu. Belum sepekan, pengungsi sudah merindukan dataran tinggi yang lebih sejuk. “Saya su (sudah) tidak kuat panas di sini,” kata Agustina, seorang warga Kimbely kepada Republika di halaman Gedung Eme Neme Yauware pekan lalu.

Kehidupan di Kampung Kimbely, kata perempuan Amungme berusia 40 tahun itu, adalah surga meski penuh kekurangan. Dia juga memikirkan kelanjutan pendidikan empat anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, yang juga ikut turun ke pengungsian.

Harapannya sederhana, agar kedamaian di kampungnya bisa dipulihkan kembali dengan cara sebaik-baiknya. “Tuhan kasih saya tempat ini (Kampung Kimbely). Tuhan yang kasih kau jaga saya punya gunung,” ujar dia.

Red: Fitriyan Zamzami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar