Cari Blog Ini

Minggu, 28 Agustus 2016

Memimpin adalah Menderita

Memimpin adalah Menderita

KEBUMEN- (8/8/2016) Leiden is Lijden _Memimpin adl Menderita_ Bila ditelusuri, istilah tersebut akan kita temukan dlm karangan Mohammad Roem yg mengisahkan kepemimpinan dan keteladanan Haji Agus Salim. Karangan itu berjudul "Haji Agus Salim, Memimpin Adalah Menderita" (Prisma No. 8, Agustus 1977) mengisahkan dlm percakapannya dg Mohammad Roem dan Haji Agus Salim, Kasman Singodimedjo mengatakan memimpin itu adl jalan yg menderita. Bahasa Belandanya "Een leidersweg is een lijdensweg". Leiden is lijden. Dlm Bahasa Belanda ada dua kata yg berbunyi sama, namun ditulis berbeda: leiden (memimpin) dan lijden (menderita).

Mohammad Roem mengenang Haji Agus Salim sosok yg dikenal pandai tentang agama Islam dan mahir menggunakan berbagai bahasa ini, sebagai potret pemimpin yg mau menderita. Menderita yg dimaksud, hidup serba dipenuhi kekurangan dan keterbatasan secara materi.

Tentang kesederhanaan Agus Salim, Roem mencatat, bahwa rumahnya, seperti rumah perkampungan, sama sekali tidak mencerminkan seorang tokoh terkenal seperti qt bayangkan. Agus Salim sendiri tidak punya tempat tinggal tetap, sehingga ia dan keluarganya hidup berpindah-pindah. Padahal Agus Salim adalah sosok yang menentukan dalam Syarekat Islam, sebuah organisasi politik dan pergerakan yang berpengaruh pada masanya, dan kalangan pemuda-pemuda Muslim Jong Islamieten Bond, suatu perkumpulan elite Muslim terpelajar pada masanya.

Apa makna dari memimpin itu menderita? Pemimpin harus rela berkorban lebih besar ketimbang yg dipimpin. Pemimpin selalu dituntut untuk memiliki tanggung jawab lebih. Pemimpin tidak boleh mengeluh, optimis dan pantang menyerah --termasuk kala sudah powerless sekalipun. Jalan penderitaan yang dimaksud ialah jalan kesederhanaan dan jalan kemanusiaan. Ato jalan pedang spt yg ditempuh Miyamoto Musashi dlm novel Jepang karangan Eiji Yoshikawa.

Manusiawi sekali --bahkan ketika orang banyak menghujatnya dan melupakannya. Pemimpin ialah yang mengamalkan prinsip peribahasa yg sudah cukup populer dikenal di sini, "berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Pemimpin ideal adl pemimpin yg berproses dan mengalami fenomena pasang naik dan pasang surut sepanjang sejarah kepemimpinannya. Ia bukan pemimpin yang instan. (M Alfan Alfian, Pelita Hati).

Bahkan sejarah para Nabi pun bukan perjalanan yg jauh dari menderita, terutama ketika mereka memimpin umatnya dan membentuk komunitas ilahiah. Para Nabi bahkan butuh waktu lama dan penuh cobaan untuk mendapatkan pengikut. Lihat Nabi Nuh AS, hampir 1000 th menyeru kpd ketauhidan, namun hanya mendapatkan kurang dr 100 pengikut. Nabi Musa AS yg harus menempuh perjalanan dr Mesir smp Syam dg perilaku ummatnya yg menjengkelkan.

Juga Nabi Muhammad SAW, yg menempuh penderitaan sejak sblm diangkat sbg Nabi dan Rasul. Terlahir sbg anak yatim, usia 6 th ditinggal ibunya, 8 th ditinggal kakeknya, hingga hidup bersama pamannya Abu Thalib smp menikah. Menjalani 13 th fase dakwah di Makkah dg penuh pertentangan. Dimusuhi kerabatnya, diusir dr kampung halaman, diancam hendak dibunuh dan diasingkan di sebuah lembah tanpa makanan dan minuman selama hampir dua tahun.

Memimpin adl Menderita. Kredo Agus Salim itu seperti air jernih yang mengalir dari hulu sungai ketulusan zamannya. Segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”

Zaman sudah terjungkir. Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini, ”Memimpin adalah menikmati”. Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos).

Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan. (Yudi Latif, Makrifat Pagi).

Malu rasanya melihat perilaku pemimpin2 qt saat ini. Bukan kinerja dan pelayanan yg mjd prioritas, tp kemewahan dan pencitraan yg senantiasa mereka pertontonkan. Perilaku busuk dan kotor dg bongkar pasang koalisi mjd hal biasa utk melanggengkan kekuasaan. Tuntutan fasilitas mulai dr kendaraan, perumahan, tunjangan komunikasi dan uang saku mjd hal yg selalu mereka ributkan. Sementara isak tangis rakyat yg kelaparan, masyarakat yg tergusur dan pemuda yg kehilangan pekerjaan hanya dianggap sbg dengungan nyamuk yg menjengkelkan. Menghamburkan uang rakyat atas nama kunjungan kerja dan studi banding tdk lebih hanya sekedar jalan2 tanpa hasil yg berarti.

Jk pemimpin qt saat ini jauh dr jalan penderitaan, maka jgn harap ada keberhasilan. Krn kemajuan dan kesuksesan hanya bisa didapatkan dg kerja keras dan keprihatinan. Contoh lah Amirul Mukminin, Umar bin Khattab yg menolak menikmati makanan yg dikirim Gubernur Mesir, Amr bin Ash kala itu, dg mengatakan,"Kenyangkan dulu rakyatmu, sehingga jk org paling miskin sdh menikmati makanan spt ini baru aku, Amirul Mukminin bersedia memakannya".

Duhai para penguasa bumi Pertiwi, 71 tahun sudah qt merdeka, sdh waktunya qt bangkit dan bersatu mjd bangsa yg besar dan bermartabat, dimana rakyatnya hidup aman dan sejahtera. Semuanya harus dimulai dr perilaku pemimpin yg peduli dan melayani. Yg amanah dan tdk serakah. Yg lemah lembut kpd rakyat nya namun tegas kpd asing penjajah. Yg berani menderita demi kehormatan dan kewibawaan bangsa, bukan yg merendah dan menjilat hanya demi bantuan dan pinjaman. Jayalah Indonesia, sejahtera bangsaku. MERDEKA...!!!

Salam #DamaiIndonesiaKoe (Arif Yuswandono).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar