Cari Blog Ini

Senin, 03 Oktober 2016

Jakarta Butuh Pemimpin yang Beradab

Saudaraku, dalam tradisi besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif:   keberadaban   (civility),   kemuliaan   (nobility),   dan keteraturan (order). Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama “polisi” (police), yang masih satu rumpun dengan kata "poli" (polite), yang berarti tertib sosial- santun berkeadaban.

Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. "Menjadi manusia beradab," ujar   Fernand   Braudel,   "berarti   memuliakan   tingkah   laku,   menjadi   lebih tertib-taat   hukum   (civil)  dan   ramah   (sociable)."   Max   Weber mendefinisikan   kota   sebagai   “suatu   tempat   yang   direncanakan   bagi   kelompok berbudaya dan rasional.”

Mendekati konstruksi ideal tentang kota, Jakarta pada mulanya dibangun dengan bayangan seperti itu. Modal awalnya adalah tempat yang lapang dan molek. “Segala hal di Batavia," puji WA van Rees (1881), "lapang, terbuka, dan elegan." Tiga abad sebelumnya,   Tomé Pires melukiskan  tempat ini  sebagai, "sebuah pelabuhan yang indah, salah satu yang terbaik di Jawa".

Pada   1808,   Herman   Willem   Daendels   ditunjuk  Pemerintahan Napoleon menjadi Gubernur   Jenderal   dengan   misi,   "menjaga   Batavia   dari   serangan   Inggris".   Ia tinggalkan Batavia tua di dataran rendah pelabuhan, lantas merancang kota Batavia baru di dataran lebih tinggi bagian selatan.   Rancangan kota ini dikerjakan secara sungguh-sungguh,   sehingga   dinamai   Weltevreden   (Menteng),   artinya   ’sungguh memuaskan’, ‘tertata baik’.

Dengan penataan yang baik dan memuaskan, Batavia sebagai the Queen of the East menjadi Mooi Indie berjiwa kosmopolitan. Meski harus diakui, di sana ada masalah yang  imbasnya masih kita warisi. Masalah utamanya diisyaratkan Clifford Geertz dalam  The   Social   History   of   an   Indonesian   Town  (1965).   Dalam   desain   kota kolonial,   ada   kesenjangan   antara   sektor   komersial   padat   modal   di   tangan   orang asing dan sektor subsisten padat karya di tangan penduduk lokal.

Di sini, terjadi segregasi secara radikal di antara sektor ekonomi, sosial, dan budaya modern dan tradisional. Implikasinya, gejala urbanisasi di Indonesia bukan proses konversi dari desa ke kota melalui perubahan secara gradual dari nilai dan institusi yang ada.

Sifat   kosmopolitanisme   yang   muncul   bukan   hasil   pencanggihan  tradisi parokial dari elemen-elemen utama dalam masyarakat setempat, tetapi merupakan intrusi aneka kelompok  asing yang  berwatak kosmopolitan  ke dalam  kepompong lokal. Dengan kata lain, gejala urbanisasi itu datang sebagai tekanan dari luar bukan berkembang secara organik dari dalam.

Akibatnya,   kolonialisme   berlalu   dengan   meninggalkan   jejak   fisik,   tetapi   tak mewariskan rasionalitas dan mentalitas kemodernannya. Di sana ada ruang hampa, karena tampilan luar modernitas kita tiru tanpa penguasaan sistem penalarannya. Dibawah   gedung-gedung   pencakar   langit   dan   apartemen   mewah,   mentalitas   udik bertahan, menjadikan kota bak hutan beton tanpa jiwa.

Dalam kota hampa seperti itu, pemerintah menyeret warganya untuk melakukan pemujaan terhadap budaya kedangkalan. Rasionalitas birokrasi diruntuhkan lemahnya sistem pelatihan dan perekrutan pegawai yang buruk.

Situasi ini diperparah oleh berimpitnya penguasaan birokrasi dengan kepentingan penguasa alat-alat   produksi   (kapitalis),   yang   menghancurkan   perencanaan   dan   rancang-bangun   perkotaan.   Yang   terwarisi   dari   kolonial   hanya   keburuknya,   berupa kecenderungan diskriminatif dalam skala yang lebih parah. Meritokrasi   dihancurkan   oleh   penurunan   standar   ekselensi   dan   kolusi.  

Di   sini, destruksi   tidak   disebabkan   keberlebihan   rasionalitas   pencerahan   dalam pembangunan, seperti dikeluhkan di Barat. Alih-alih, karena kurangnya asupan dan pertimbangan   rasionalitas   yang   membuat   mediokritas   melanda   semua   lini kehidupan.

Banjir, kemacetan,  polusi lingkungan, kriminalitas dan keburukan pelayanan publik Jakarta  merupakan arus   balik manajemen  perkotaan yang  memuja   kedangkalan.Tanpa keberadaban dan penalaran,  Jakarta segera berubah dari Queen of the East dalam imaji Belanda menjadi kota "heterogenik" dalam gambaran Lewis Mumford, yang penuh ambiguitas, kekerasan, disintegrasi, anarki, dan tragedi.

Perkembangan ini sangat merisaukan mengingat kedudukan Jakarta sebagai ibukota negara.   Sebagai   pusat   pemerintahan,   pusat   perekonomian   dan   pusat   rujukan, Jakarta   bisa   diibaratkan   sebagai   pusat   syaraf   kehidupan   nasional.   Stroke   yang menyerang Jakarta akan membawa kelumpuhan ke seluruh jaringan kehidupan.

Siapa   pun   yang   berani   menjadi   calon   Gubernur   Jakarta   harus memiliki   prasyarat   mental   yang   sepadan   dengan   masalah   yang   harus   diatasi. Pemimpin dengan jejak rekam yang buruk, tak siap berkeringat dan hanya mencari untung   untuk   diri   sendiri,   bagaimana   mungkin   bisa   mengatasi   masalah   dan melayani warganya.

Pilkada Jakarta bukanlah pertarungan mempertaruhkan gengsi primordialisme (etnis dan agama), tetapi pertarungan mempertaruhkan kewarasan dan kebaikan hidup bersama.

(Yudi Latif, Makrifat Pagi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar