Cari Blog Ini

Senin, 03 Oktober 2016

JAKARTA BUTUH PEMIMPIN YANG BERADAB (Refleksi Hari Santri Nasional _HSN_ 22 Oktober)

JAKARTA BUTUH PEMIMPIN YANG BERADAB
(Refleksi Hari Santri Nasional _HSN_ 22 Oktober)
JAKARTA- (4/10/2016) Dalam tradisi besar umat manusia, kita temukan istilah kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif: keberadaban (civility), kemuliaan (nobility), dan keteraturan (order). Penjaga kehidupan kota itu sendiri bernama “polisi” (police), yang masih satu rumpun dengan kata "poli" (polite), yang berarti tertib sosial- santun berkeadaban.
Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. "Menjadi manusia beradab," ujar Fernand Braudel, "berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih tertib-taat hukum (civil) dan ramah (sociable)." Max Weber mendefinisikan kota sebagai “suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional.”
Mendekati konstruksi ideal tentang kota, Jakarta pada mulanya dibangun dengan bayangan seperti itu. Modal awalnya adalah tempat yang lapang dan molek. “Segala hal di Batavia," puji WA van Rees (1881), "lapang, terbuka, dan elegan." Tiga abad sebelumnya, Tomé Pires melukiskan tempat ini sebagai, "sebuah pelabuhan yang indah, salah satu yang terbaik di Jawa".
Jakarta dahulu pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942), Jakarta Tokubetsu Shi (1942-1945) dan Djakarta (1945-1972). Di dunia internasional Jakarta juga mempunyai julukan seperti J-Town, atau lebih populer lagi The Big Durian karena dianggap kota yang sebanding New York City (Big Apple) di Indonesia.
Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan peristiwa pembebasan pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.
Menurut data pemerintah DKI saat ini, komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %). Jumlah umat Buddha terlihat lebih banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, di mana umat Islam berjumlah 84,4%, diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%), serta Tidak beragama (0,3%).
Sejarah mencatat, Jakarta dan hampir semua wilayah Nusantara dibebaskan oleh para ulama dan santri dari cengkeraman penjajah. Bila sejarah pergerakan kemerdekaan ditulis secara jujur, mestinya akan terbaca sangat jelas peran besar para santri yang tergabung dalam Hizbullah dan para kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lebih khusus peran KH Hasyim Asy’ari saat mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan penjajahan Belanda yang ketika itu, dengan membonceng sekutu, hendak kembali bercokol.
Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, resolusi atau fatwa itu telah mendorong puluhan ribu Muslim, utamanya di Surabaya, untuk bertempur melawan Belanda dengan gagah berani. Peristiwa heroik di Hotel Oranye, Surabaya, itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Namun, dalam buku sejarah, peristiwa penting itu tidak ditulis. Sungguh aneh, peristiwa 10 November selalu disebut-sebut, tetapi Resolusi Jihad yang membuat peristiwa 10 November bisa terjadi malah disembunyikan.
Buku Resolusi Jihad Paling Syar’iy, yang ditulis oleh Gugun el Guyanie (Pustaka Pesantren, 2010) adalah salah satu buku yang di salah satu sub judulnya ditulis, “Biarkan Kebenaran yang Hampir Setengah Abad Dikaburkan Catatan Sejarah itu Terbongkar”. Di dalamnya tergambar semangat untuk mengungkap kebenaran sejarah, khususnya di seputar Resolusi Jihad, yang menurut sejarahwan Belanda Martin van Bruinessen, peristiwa penting ini memang tidak mendapat perhatian yang layak dari para sejarahwan.
Jadi, yang berjuang membebaskan Jakarta dari cengkeraman penjajah dan mempertahankannya adalah para ulama, kyai dan santri. Dengan semangat jihad, diiringi doa dan pekik takbir "Allahu Akbar", Jakarta menjadi kota yang merdeka dan berdaulat dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga sudah selayaknya dalam gelaran pilkada DKI Jakarta tahun 2017, para ulama, kyai dan santri serta seluruh umat muslim bersatu bahu membahu untuk merebut kepemimpinan Jakarta dari tangan penjajah dan penindas. Jakarta harus dipimpin oleh orang yang mengerti agama, yang amanah, yang santun dan beradab, yang memiliki etika dan berbudaya.
Mari Bung, Rebut Kembali Jakarta, ibu kota negara tercinta.
Allahu Akbar...!!!
Allahu Akbar...!!!
Allahu Akbar...!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar