Cari Blog Ini

Senin, 07 November 2016

MEM-BUDI GUNAWAN-KAN AHOK

JAKARTA- (7/11/2016) Polemik seputar kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok terus bergulir. Diskusi dan analisa untuk menyoroti kasus ini terus bermunculan. Para pengamat, pakar hukum, kaum intelek dan ulama terus menyampaikan pandangan dan opininya.

Secara umum, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang meyakini bahwa Ahok bersalah dan pantas dihukum, kemudian kelompok yang berpendapat bahwa Ahok tidak bersalah dan harus bebas dari tuntutan hukum.

Secara yuridis formal memang hanya sidang pengadilan yang berhak memutuskan Ahok bersalah atau tidak. Namun dalam konteks hukum kita mengenal ada *hukum yuridis* yang formal dan tertulis, ada juga *hukum sosiologis* yang tidak formal namun ada dan nyata. Oleh karena itu kemudian muncul istilah sanksi hukum dan sanksi sosial.

Bisa jadi seseorang dinyatakan tidak bersalah secara hukum formal, namun dia sudah terlanjur dicap salah secara hukum sosial. Maka tidak dapat dipungkiri orang tersebut akan mendapat sanksi sosial di masyarakat.

Dalam sistem politik dan kemasyarakatan di Indonesia kita tidak bisa menafikan Hukum Sosiologis yang melahirkan sanksi sosial. Salah satu bentuk sanksi sosial adalah isolasi, persepsi dan konsekuensi politik.

Dalam dunia politik, _public trust_ (kepercayaan masyarakat) itu nomor satu. Tokoh-tokoh politik di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa dan Jepang, memberikan perhatian yang lebih pada hukum sosiologis. Betapa banyak pejabat publik dan pejabat politik di negara-negara tersebut yang memilih mengundurkan diri atau membatalkan pencalonannya ketika tersandung kasus hukum.

Secara formal, bisa jadi tokoh tersebut dinyatakan tidak bersalah, tetapi secara sosial, masyarakat sudah terlanjur memvonis bersalah. Hal ini akan berdampak pada kalkulasi politik dan stabilitas pemerintahan selama nanti yang bersangkutan menjabat.

Di Indonesia, masih lekat dalam ingatan kita kasus yang menimpa Komjen Budi Gunawan. Dia pernah diajukan sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo. Seluruh proses pencalonan sudah dia lewati termasuk lolos secara aklamasi dalam _fit and proper test_ di Komisi III DPR RI. Namun pada saat yang bersamaan, KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan atau yang dikenal dengan BG, sebagai tersangka.

Kasus terus bergulir, di masyarakat terjadi polemik yang menyita perhatian publik. Secara umum, masyarakat Indonesia terpecah menjadi dua kelompok. Ada yang mendukung BG untuk tetap dilantik sebagai Kapolri, ada yang menuntut agar dibatalkan. Terjadi demo dan unjuk rasa dimana-mana yang dilakukan dua kelompok tadi.

Presiden bahkan sampai membentuk Tim Pertimbangan yang beranggotakan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh kepolisian. Di dalamnya ada Buya Syafii Maarif dan Komjen Pol (Purn) Oegroseno.

Berdasarkan masukan dari tim pertimbangan dan melihat situasi di masyarakat, akhirnya Presiden Joko Widodo membatalkan pengangkatan BG sebagai Kapolri. Meski dalam sidang pra peradilan, penetapan status BG sebagai tersangka dinyatakan tidak sah. Drama berakhir dengan damai dan _happy ending_. Jenderal Badrodin Haiti dingakat sebagai Kapolri sedangkan Komjen Budi Gunawan sebagai wakapolri.

Kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok sangat mirip dengan kasus rekening gendut yang menimpa BG. Masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar, meski kelompok yang pro Ahok belum pernah menunjukkan aksi massa sebagaimana dilakukan kelompok yang anti Ahok.

Dijanjikan oleh Presiden dan Kapolri, bahwa kasus hukum Ahok terus berjalan secara cepat dan transparan. Hari ini, Senin (7/11) Bareskrim Polri menjadwalkan pemanggilan Cagub yang diusung PDIP, Golkar, Nasdem dan Hanura untuk diperiksa.

Ada dua kemungkinan, Bareskrim akan menetapkan Ahok sebagai tersangka dan kasus berlanjut ke persidangan, atau kasus ini tidak cukup kuat untuk menetapkan Ahok sebagai tersangka, artinya Ahok bebas dari tuntutan.

Apapun keputusan hukum formal nya nanti, hukum sosial sudah terlanjur memvonis Ahok bersalah. Situasi ini pasti akan berdampak pada pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bahkan mungkin akan terus berlanjut gesekan dan tuntutan dari kelompok yang anti Ahok.

Presiden dan partai pengusung punya dua pilihan, akan tetap pada keputusannya atau mengambil langkah bijak sebagaimana dilakukan pada Budi Gunawan. Ini adalah hak Presiden dan koalisi partai pengusung.

Namun belajar dari kasus masa lalu, mungkin mem-Budi Gunawan-kan Basuki Tjahaya Purnama adalah langkah bijak untuk menyelamatkan bangsa ini. Jangan sampai DKI Jakarta menjadi provinsi gagal hanya karena ada pihak-pihak yang ingin memaksakan kehendak.

Bangsa ini cukup matang dan dewasa untuk selalu menemukan jalan keluar dari setiap persoalan. Semoga para pemimpin dan pengambil kebijakan memutuskan dengan hati nurani yang jernih.

Salam Damai Indonesia Koe
*Arief Luqman el Hakiem*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar