Cari Blog Ini

Sabtu, 17 Juni 2017

Mantan Dubes RI untuk Polandia ; Tindakan Polisi Amatir dan Permalukan Indonesia

Amateurism : Chatting Sesama Warga Negara Tak Masuk Yurisdiksi Interpol

Oleh: Hazairin Pohan
( Wartawan Diplomat , mantan Dubes RI untuk Polandia )

MENCINTAI negeri ini wajib bagi siapa saja yang mengaku warganegara maupun para tamu yang bekerja , tinggal untuk sementara maupun yang berniat akan menetap . Kalau tamu dan penumpang ingin bertahan tentulah mereka berupaya menemukan hal -hal yang membuat mereka dan keluarga betah tinggal di negeri ini .

Jika pada tingkat rakyat dan warganegara itu — di manapun Anda berada di negeri - negeri di belahan bumi ini — kepatuhan terhadap tata kehidupan dan hukum dan kebiasaan itu menjadi keniscayaan , maka tentulah kewajiban ini lebih kental harus melekat bagi penyelenggara negara .

Karena itu saya merasa masygul , sedih , dan pilu mengikuti komunikasi Polri dengan Interpol, badan kerjasama kepolisian internasional yang berpusat di Lyon , Perancis , yang cenderung asal - asalan dan tak tampak profesionalisme sedang dipraktikkan dalam kasus ini .

Bagi saya , berurusan dengan Interpol bukan hal baru , baik dalam status sebagai ketua delegasi RI dalam perundingan - perundingan kerjasama bilateral untuk penanganan terorisme dan berbagai kejahatan terorganisir , maupun ketika menangani agenda item tentang kegiatan Interpol dalam kaitan dengan PBB di New York , serta memiliki kenalan dari kalangan Polri yang bekerja di unit yang menangani kerjasama dengan Interpol.

Apa saja keganjilan yang saya temui ( dalam kasus HRS)?

( 1) Pertama , penjelasan Polri bahwa permintaan “ Red Notice ” untuk memberikan status ‘ arrest- warrant ’ kepada seorang WNI dan kerjasama internasional untuk mendeportasikan kembali Ybs ke tanah air itu tampak tidak profesional , bahkan emosional.

Bisakah negeri ini diurus dengan cara - cara seperti ini ? Tidakkah kelas komunikasi internasional ini bermutu sangat rendah dan merendahkan institusi negara di mata internasional ? Apakah pengembalian request kita untuk “ Red Notice ” oleh Interpol karena memang Polri kita tidak memahami cara kerja lembaga kepolisian internasional yang tentu sangat ketat dalam pembuatan kriteria tentang tindakan apa yang bisa dikualifikasikan ke dalam kategori kasus - kasus yang ditangani oleh Interpol?

Apakah Polri tidak paham , bahwa masalah politis sangat sensitif , dan Interpol menjauhi tindakan tercela ini ( kasus politis - red ) . Seperti dinyatakan dalam Piagamnya :
“ to keep Interpol as politically neutral as possible , its Charter forbids it , at least in theory , from undertaking interventions or activities of a political , military , religious, or racial nature or involving itself in disputes over such matters. Its work focuses primarily on public safety and battling terrorism , crimes against humanity , environmental crime , genocide, war crimes, organized crime , piracy , illicit traffic in works of art , illicit drug production, drug trafficking, weapons smuggling , human trafficking, money laundering , child pornography , white - collar crime , computer crime , intellectual property crime , and corruption . ”

[ menjaga netralitas Interpol sebaik mungkin, seperti larangan di Piagam, setidaknya dalam teori , dari tindakan intervensi atau kegiatan - kegiatan politik , militer , agama , berunsur rasial atau melibatkan diri sendiri di dalam sengketa perihal ini . Tugas ( Interpol) difokuskan utamanya pada keamanan masyarakat dan ( dengan yurisdiksi) memerangi terorisme , kejahatan kemanusiaan , kejahatan lingkungan , genosida , kejahatan perang , kejahatan terorganisir , bajak laut , perdagangan tidak sah karya seni , produksi gelap narkotik , perdagangan gelap narkoba , penyelundupan senjata , penyelundupan manusia , pencucian uang , pornografi anak , kejahatan perbankan, kejahatan komputer, kejahatan dalam hak intelektual , dan korupsi ] .

Jelas , chatting sesama warganegara tidak termasuk dalam yurisdiksi Interpol. Masa Polri tidak mengerti hal ini ? Ini perilaku menurunkan mutu .

( 2) Kedua , saga seperti ini bisa disalah - artikan oleh lembaga internasional maupun masyarakat internasional mengenai seperti apa kondisi di negara kita ? Ini menghancurkan citra baik negeri ini .

Seperti apa perilaku penegak hukum di negeri ini ? Apakah Indonesia sudah menjadi Korea Utara , atau bahkan seperti negara - negara otoriter di masa lampau yang menempatkan warganegaranya sebagai obyek pengawasan yang tidak memiliki hak- hak asasi manusia ?

Mengapa suatu perbuatan dan prosedur penanganannya — terlepas benar tidaknya terjadi — harus berstandar internasional dengan tolok - ukur internasional dan dengan cara - cara seperti yang diwajibkan oleh Interpol kepada kita selaku anggota kerjasama kepolisian internasional ? Ini tidak lain karena selama ini negeri kita memiliki reputasi baik yang menghormati hak asasi manusia , dan tiba - tiba berubah menjadi negeri Gulag yang dikutuk oleh Dr . Zhivago di zaman kebengisan tsar Rusia sebelum kemenangan rejim komunis Bolshevik Rusia di tahun 1917 hanya karena insiden tak bermutu ini ?

( 3) Ketiga , bagaimana hancurnya di mata internasional tentang mutu pemerintah sebagai pemegang amanah rakyat yang mengaku telah bereformasi dijamin telah meninggalkan keburukan di masa lampau akan berani tampil dalam pergaulan bangsa - bangsa secara bermartabat ? Tidakkah insiden “ Red Notice ” untuk chatting menggambarkan betapa lemahnya warganegara yang seakan - akan tidak boleh berbeda pandangan dan sikap dengan pemegang kuasa ? Chatting tak boleh ? Eropa yang liberal dan menjunjung tinggi kehormatan perseorangan tentu tertawa terpingkal - pingkal atau malah ngeri karena mendadak Indonesi menjadi negeri yang sangat otoriter dan konservatif .

Jangan- jangan Indonesia telah dikuasai rejim fundamentalis dengan nilai konservatisme yang tinggi . Atau , apakah memang Indonesia kembali ke era otoriter ? Di mana kini letaknya kewajiban negara untuk perlindungan dan penghargaan terhadap warganegara seperti tertera di dalam UUD 1045 ?

( 4) Keempat , hancurnya penegakan hukum dengan kecenderungan partisan yang membela kesewenang -wenangan dan menempatkan warganegara sebagai obyek — bukan subyek — bisa menimbulkan pesimisme di kalangan rakyat bahwa negeri ini sedang diurus secara asal - asalan, amatiran .

Bahayanya adalah ketika “ self - help mentality ” akan kembali menjadi the rule of the day? Bahkan , dengan mengadukan warganegara kepada polisi internasional untuk suatu tindakan remeh - temeh justru mempermalukan kawula negeri ini di mata internasional ? Bagaimana dengan jargon : “ memberikan perlindungan terbaik negara kepada warganegara yang berada di luar negeri ” . Siapa kini yang percaya slogan itu ?

( 5) Kelima, mengapa profesionalisme dalam penyelenggaraan negara sekarang sudah jauh menurun sampai mencapai titik - nadir seperti kasus “ Red Notice ” yang tidak membanggakan kita sebagai kawula negeri ?

Apakah kasus ini menjadi contoh bahwa a sheer of amateurism di kalangan penyelenggara negara sudah sedemikian parah?

Tentu, banyak pertanyaan - pertanyaan yang bisa dilontarkan apabila kita tidak belajar dari tindakan kekonyolan yang malah mempermalukan negeri ini dan para kawulanya karena tidak diselenggarakan sesuai dengan budaya Pancasila maupun kaedah pergaulan bangsa - bangsa secara terhormat .

Jangan biarkan negeri ini diurus secara amatiran dan mempermalukan kawula negeri yang masih terseok -seok mencari makan dengan bekerja rendahan di luar negeri yang memang lemah ketika berhadapan dengan hukum , bahkan hukum dari negeri sendiri .

Jakarta , 15 Juni 2017
Sumber : Portal Islam . id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar