Cari Blog Ini

Rabu, 16 Agustus 2017

PENGADILAN, AROGANSI SOSIAL DAN HILANGNYA JATI DIRI BANGSA

Suatu ketika malaikat penjaga Gunung Uhud berkata kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, "Ya Rasul mulia kekasih Sang Maha Rahman, bagaimana jika orang2 yang menghina dan melempari engkau dengan batu, aq timpakan kepada mereka Gunung Uhud ini ?"

Dengan lembut Rasulullah SAW menjawab, "Tidak usah, mereka adalah orang-orang yang tidak tahu. Mudah2an esok, kuda atau suatu saat mereka akan mendapat hidayah setelah tahu".

Kejadian tersebut setelah Nabi SAW dan para sahabat ditolak hijrah ke Thaif, diteriaki orang gila dan dilempari dengan batu hingga manusia mulia ini berlumuran darah.

Saya berpikir, jika tawaran malaikat penjaga Gunung Uhud tersebut disampaikan ke kita, ketika ada orang yg menghina, memfitnah atau melukai kita, kira2 apa jawaban kita ya?

Menerima dengan senang hati, atau menolak dengan halus sebagaimana teladan Nabi kita, Muhammad SAW ?

72 tahun sudah Indonesia merdeka. Waktu yang cukup untuk menjadikan bangsa ini matang dan dewasa. Namun dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini terjadi fenomena yang membuat saya prihatin dan mengelus dada.

Permusuhan, saling menghina dan memfitnah, mudahnya orang membawa permasalahan ke jalur hukum, dan cepatnya orang tersulut emosi hingga kemarahan ditumpahkan dalam bentuk anarkisme, sampai tega dengan sadis membakar seseorang hidup2 tanpa tahu kesalahannya.

Jargon "Hukum Harus Menjadi Panglima" di negeri ini kedengarannya bagus, dan pengadilan hendaknya menjadi jalan terakhir untuk menyelesaikan persoalan. Namun yang terjadi, hukum dan pengadilan menjadi alat bagi orang kuat yang memiliki kekuasaan untuk memenuhi ambisinya.

Begitu mudahnya orang membawa masalah ke ranah hukum. Sedikit2 lapor, sedikit2 pengadilan. Jika untuk kasus korupsi, narkoba dan pidana berat yang termasuk extra ordinary crime, saya setuju harus dihukum dengan berat. Namun untuk masalah sepele semacam pencemaran nama baik, ketersinggungan, fitnah dan bullying, menurut saya lebih bijaksana jika diselesaikan secara kekeluargaan.

Musyawarah dan kekeluargaan adalah karakter adiluhung bangsa yang nyaris musnah. Begitu mudahnya orang marah dan tersinggung ketika keburukannya diungkap atau difitnah. Padahal jika mau mawas diri, bisa jadi keburukan yang tidak terungkap jauh lebih besar.

Bahkan, orang yang selama ini menyanjung dan mencintai kita, bisa jadi akan membenci dan meninggalkan kita, ketika mengetahui kebusukan kita yang sebenarnya. Bersyukurlah, ketika Allah SWT menutup aib kita dalam kegelapan malam dan kesunyian.

Membalas dan menempuh jalur hukum adalah hak setiap warga negara, tapi bersikap sabar dan memaafkan jauh lebih baik. Bukankah Nabi SAW menasihati, jika kita dijelek-jelekkan dan difitnah itu akan mengurangi dosa2 kita, dan akan mendapat aliran pahala dari orang yg memfitnah kita ?

Kekuasaan dan kekuatan memang membuat manusia menjadi sombong, congkak dan arogan. Mungkin merasa pintar, punya harta untuk membayar pengacara, dekat dengan penguasa dan aparat sehingga begitu percaya diri akan memenangkan persoalan. Inilah arogansi sosial, sebuah fenomena keangkuhan karena harta, pangkat, jabatan dan status sosial.

Di 72 tahun usia Ibu Pertiwi, susah sekali kita menemukan sikap-sikap legowo, tepo seliro, mawas diri, gotong royong, nggrudug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake dan perilaku-perilaku mulia yang diwariskan para pendiri bangsa.

Yang kita temukan justru sikap congkak, sombong, arogan, iri dengki, egoisme dan segala sifat bala Kurawa lainnya. Hilang sudah jati diri bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Negara Indonesia mungkin masih ada, namun Bangsa Indonesia dengan segala tradisi dan budaya adiluhung nya diambang punah.

Saudara2ku sebangsa dan setanah air, di hari Kemerdekaan 17 Agustus ini, marilah kita kembali sadar dan introspeksi diri, bahwa kita telah jauh menyimpang dari rel yang dibangun para pendiri bangsa.

Mari kembali ke jalan yang benar, jadilah pribadi, masyarakat dan bangsa yang beradab, dimana kemuliaan tidak diukur dari materi dan kekuasaan namun dari akhlak dan kebijaksanaan...

Refleksi 72 Tahun Indonesia Merdeka

Yogyakarta, 16 Agustus 2017
Arief Luqman El Hakiem (Arief Yuswandono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar