Cari Blog Ini

Sabtu, 03 Februari 2018

Gubernur Wong Cilik

Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta ke-19. Ia dipilih oleh lebih dari setengah rakyat Jakarta yang memberikan hak pilihnya. Anies dipilih oleh sedikit dari kalangan orang kaya dan sangat kaya. Cukup banyak dari kalangan yang sudah mapan. Namun pemilih terbesarnya berasal dari mulai rakyat yang sudah hidup lumayan, pas-pasan, hingga rakyat miskin. Tetapi begitu usai dilantik, Anies pun menjadi Gubernur seluruh rakyat Jakarta, baik yang memilihnya, maupun yang tidak.

Oleh karena itu, Anies bukan hanya milik mereka yang bermobil, yang berbelanja di mal-mal, atau yang nongkrong dari satu cafe ke cafe yang lain. Tetapi juga milik mereka yang hanya mampu belanja di pasar-pasar rakyat yang becek, hanya memiliki kendaraan roda dua, sehingga tak pernah menikmati jalan tol. Bahkan termasuk mereka yang tinggal di gang-gang sempit, hidup berdesakan di pinggir rel kereta dan bantaran kali. Yaitu, mereka yang tak pernah merasakan sejuknya belanja di mal, tidur di hotel berbintang, apalagi menaiki pesawat terbang.

Sebagai pemimpin Jakarta, Anies memiliki kewajiban untuk menghadirkan hidup dan kehidupan yang bermartabat bagi seluruh rakyatnya. Beban terbesarnya adalah kemiskinan. Sepanjang 2016, tercatat sekitar 400 ribu penduduk Jakarta hidup di bawah garis kemiskinan dengan tingkat pendapatan sekitar 500 ribu rupiah per bulan.

Terkait dengan kemiskinan itu, penulis lantas membayangkan Anies yang gemetar – keringat dingin, pada malam pertama ia menjabat sebagai Gubernur. Betapa tidak. Sebagai seorang muslim, ia pasti tidak asing dengan kisah Khalifah Umar Ibnul Khattab. Pernah suatu malam, dengan cara menyamar, Sang Khalifah memanggul sendiri sekarung gandum untuk memberi makan rakyatnya yang ia temukan sedang kelaparan. Betapa besar tanggung jawab seorang pemimpin. Itulah yang membuat Anies gemetar – keringat dingin.

Sebagai Gubernur, Anies memang tidak perlu memanggul karung beras untuk memberi makan warganya yang kelaparan. Tetapi ia dituntut membuat kebijakan yang lebih adil. Yaitu, kebijakan yang memberi kesempatan bagi seluruh warganya untuk memiliki usaha dan pekerjaan, terutama bagi warganya yang lemah (wong cilik) yang selama ini terpinggirkan.

Anies pun memulainya dari Tanah Abang. Di sana, ada ratusan warganya telah kehilangan kesempatan berusaha akibat kebijakan penertiban yang dilakukan oleh Gubernur sebelumnya dengan penggunaan kekuatan Satpol PP dan aparat keamanan.

Pasar Tanah Abang memang berhasil ditertibkan dalam beberapa waktu yang relatif lama. Tetapi Anies paham bahwa itu tak akan berlangsung lama. Para pedagang yang tergusur itu sewaktu-waktu muncul kembali, terutama pada saat penjagaan petugas sedikit longgar. Terbukti ketika Pemerintahan DKI Jakarta berada dalam masa transisi, mereka kembali lagi berjualan di trotoar, membuat Pasar Tanah Abang kembali semrawut dan macet.

Menyikapi hal itu, sebenarnya, Anies dengan segenap kekuasaan di tangannya, dapat saja melakukan penertiban terhadap PKL dengan menggunakan kekuatan Satpol PP, seperti yang dilakukan pendahulunya. Namun dalam pandangannya, itu bukan solusi bijaksana. Anies tak tega. Ketertiban memang sangat penting dan perlu bagi Pasar Tanah Abang. Tetapi bagaimana ratusan PKL itu menghidupi keluarganya, jika mereka kehilangan sumber penghasilan?

Bersama Sandi, Anies pun memeras otak mencari solusi. Mereka berdua mencoba menutup Jalan Jati Baru untuk digunakan bagi PKL. Namun belum apa-apa, lawan-lawan politiknya sudah menudingnya melakukan langkah pencitraan terkait agenda politik 2019.

Terhadap tudingan itu, Anies tampak tak peduli dan tetap saja bergeming dengan kebijakannya. Tetapi masalahnya menjadi lain ketika timbul keberatan dari kalangan sopir angkot yang merasa dirugikan oleh kebijakan itu. Mau tak mau, sebagai pemimpin semua kalangan, maka melalui Sandi, Sang Wakil Gubernur, Anies pun membuka dialog dengan pihak sopir angkot guna mencari solusi. Apalagi, para sopir angkot itu adalah wong cilik yang mesti dibelanya.

Komitmen Anies terhadap wong cilik, kembali ditunjukkan melalui kebijakannya yang memberi ruang hidup bagi tukang becak. Anies tidak bisa menutup mata bahwa di Jakarta masih terdapat ribuan becak yang beroperasi di gang-gang sempit. Menjadi moda transportasi pilihan bagi ibu-ibu yang berbelanja di pasar-pasar rakyat. Tentu saja, becak-becak itu ilegal karena ada Perda yang melarangnya beroperasi di seluruh wilayah Jakarta.

Keruan saja, Anies kembali menuai cibiran dari lawan-lawannya dengan menuding Anies membuat kebijakan asal-asalan yang tujuannya tak lebih dari sekadar melunasi hutang kampanye. Bahkan ia dituduh, selain hendak mengembalikan kesemrawutan bagi Jakarta, juga, legalisasi becak hanya akan mengekalkan kemiskinan pada diri tukang becak dan membiarkan mereka tetap menjadi tukang becak selamanya. Benarkah? Padahal Anies berkali-kali menyatakan bahwa legalisasi becak itu merupakan kebijakan yang bersifat terbatas dengan batasan yang tegas dan jelas.

Menjadi tukang becak bukanlah pilihan, dan tak seorang pun menginginkannya. Anies juga tentu menyadari hal itu, sehingga tak menginginkan ada warganya selamanya menjadi tukang becak. Tetapi realitasnya, masih ada rakyatnya hidup mengais rezeki dari mengayuh becak, karena kemampuan, peluang dan kesempatan yang dimiliki hanya itu. Oleh karena itu, Anies hanya ingin memberi ruang yang sedikit lapang bagi mereka di dalam mencari rezeki, sembari memikirkan cara lain yang lebih layak.

Pekerjaan mengayuh becak, memang tak manusiawi. Tetapi lebih tak manusiawi lagi ketika kita membiarkan mereka, makan saja tak cukup dan apa adanya, karena ruang geraknya ditiadakan.

Oleh : Yarifai Mappeatty (Pemerhati masalah kemiskinan, peneliti Majelis Kajian Jakarta/MKJ)

Sumber : https://kicaunews.com/2018/02/02/gubernur-wong-cilik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar