Cari Blog Ini

Jumat, 25 Mei 2018

PENDIDIKAN adalah PERANG MELAWAN KEDUNGUAN

Awal Mei kemarin, tepatnya hari Kamis tanggal 3, saya menghadiri acara wisuda dan tasyakuran siswa-siswi SMK Puspajati Buluspesantren. Kebetulan saya adalah Ketua Badan Pengelola SMK tersebut yang berada di bawah naungan LPP Untung Suropati.

Disamping mengelola sebuah SMK saya juga masih aktif memberikan kuliah di beberapa kampus, mengisi seminar SDM dan memberikan training manajemen di beberapa perusahaan. Menurut saya, pendidikan dan pelatihan adalah kunci keberhasilan dalam pembentukan karakter suatu bangsa.

Berbicara tentang pendidikan dan kecerdasan, saya teringat dan terinspirasi seorang tokoh pendiri bangsa bernama Haji Agus Salim. Beliau lahir dengan nama Mashudul Haq yang berarti "pembela kebenaran" di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden nomor 657 tahun 1961.

Disamping seorang diplomat ulung, pemikir dan penulis, Haji Agus Salim juga seorang jurnalis yang sejak tahun 1915 bekerja di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak.

Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia . Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).

Dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim terbitan Sinar Harapan, Jef Last, penulis berkebangsaan Belanda menceritakan satu fragmen kecerdasan dan kematangan seorang tokoh bangsa, Haji Agus Salim. Jef Last berkenalan dengan Haji Agus Salim ketika Agus Salim menemui tokoh SDAP PJ Troelstra di Belanda pada 1930.

Jef Last mengutip cerita Sutan Sjahrir kepadanya. "Kami sekelompok besar pemuda, bersama-sama mendatangi rapat di mana Pak Salim akan berpidato dengan maksud mengacaukan pertemuan itu. Pada waktu itu Pak Salim telah berjanggut kambing yang terkenal itu dan setiap kalimat yang diucapkan Pak Haji disahut oleh kami dengan mengembik yang dilakukan bersama-sama. Setelah ketiga kalinya kami menyahut dengan "me, me, me" (mbek), maka Pak Salim mengangkat tangannya seraya berkata.

"Tunggu sebentar. Bagi saya sungguh suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun telah mendatangi ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali bahwa mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga mereka menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan agar untuk sementara tinggalkan ruangan ini untuk sekadar makan rumput di lapangan. Sesudah pidato saya ini yang ditujukan kepada manusia selesai, mereka akan dipersilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Karena di dalam agama Islam, bagi kambing pun ada amanatnya dan saya menguasai banyak bahasa."

"Kami tidak tinggalkan ruangan," kata Sjahrir. "Tetapi kami terima dengan muka merah gelak tawa dari hadirin lainnya," imbuhnya. Masih menurut Sjahrir, sesudah peristiwa itu para pemuda masih melawannya. "Tetapi tidak pernah lagi kami mencemoohkannya," ujar Sjahrir dikutip Jef Last.

Hari ini kita merindukan sosok bapak bangsa yang cerdas dan memiliki selera humor berkelas seperti Haji Agus Salim, Sjahrir, Mr. Soepomo, Abikusno, Kasman Singodimedjo, Bung Hatta dan tentu saja Bung Karno.

Perdebatan dan pergulatan politik saat ini telah bergeser dari tema ideologis dan substansial kepada pola pikir pragmatis yang dangkal. Para politisi negeri ini sibuk membahas bagaimana mempertahankan dan merebut kekuasaan. Mereka terjebak pada lobi dan negosiator untuk membentuk koalisi.

Sementara kalangan kelas menengah dan akar rumput saling berbalas caci maki dan saling mem-bully. Meski metafor yang berkembang sama-sama menggunakan nama binatang, seperti kodok, cebong, kampret, babi dan onta, namun beda kelas dan kualitas dengan jamannya Haji Agus Salim.

Dalam sebuah rapat Sarekat Islam (SI), Haji Agus Salim saling ejek dengan Musso, tokoh SI yang belakangan menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia. Saat itu, SI memang terbelah antara SI Putih dan SI Merah yang berhaluan pada faham-faham komunisme. Haji Agus Salim menjadi motor SI Putih, sementara Musso di SI Merah.

Pada awalnya Muso memulai ejekan itu ketika berada di podium. "Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?"
"Kambing!" jawab hadirin.

"Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa ?"
"Kucing!"

Haji Agus Salim sadar sedang menjadi sasaran ejekan Musso. Haji Agus Salim memang memelihara jenggot dan kumis. Begitu gilirannya berpidato tiba, dia tak mau kalah.

"Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?"

Hadirin berteriak riuh, "Anjing!"

Agus Salim tersenyum, puas, lalu melanjutkan pidatonya. Cerita ini dikutip dari Mengikuti jejak H Agus Salim dalam Tiga Zaman karangan Untung S, terbitan Rosda Jayaputra.

Dalam empat tahun terakhir ini memang kita disuguhkan kedunguan dan kebencian dalam berpolitik. Para pemimpin negeri ini mempertontonkan statemen-statemen bodoh dan mengecewakan. Pernyataan presiden dalam suatu persoalan, dan komentar para menteri juga anggota DPR seringkali blunder dan jadi bahan ejekan.

Sama saja dengan para oposisi. Mereka juga terjebak pada pembicaraan kosong, terkesan hanya mencari kesalahan. Para pengamat dan akademisi pun tidak mampu memberi warna pada perbincangan publik agar lebih berisi dan substantif.

Akhirnya perdebatan politik hanya dilihat sebagai tontonan saling serang dan bertahan, saling rebut dan sikut, dikemas dalam panggung entertainment, jadilah acara POLITAINMENT yang membosankan dan memuakkan. Hanya menguntungkan industri media, para pengusaha percetakan dan lembaga-lembaga survei.

Maka menurut saya, solusi atas kondisi ini adalah mengembalikan marwah politik dengan memperbaiki sistem pendidikan. Pendidikan yang membentuk karakter dan mengoptimalkan kecerdasan, bukan pendidikan yang hanya mencetak siswa menjadi pintar dan menguasai teknologi. Tapi pendidikan yang menghasilkan generasi berbudaya dan beretika, berkualitas dan berintegritas.

Ini adalah tugas dan tanggung jawab negara. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 bukanlah tujuan negara, namun tugas negara, tanggung jawab pemerintah. Tujuan negara adalah mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi rakyatnya.

Untuk itu, kita semua harus memulai berpolitik secara cerdas dan berkelas. Menghentikan perdebatan dengan cara kotor dan rendahan. Menjauhkan sifat dendam penuh kebencian. Mendorong pemerintah membenahi sistem pendidikan. Pendidikan yang mencerdaskan dan mendewasakan. Pendidikan yang menghilangkan kedunguan dan keterbelakangan.

Jadi, pendidikan adalah perang melawan kedunguan. Perang melawan keterbelakangan. Perang melawan kemalasan. Perang melawan kemiskinan. Perang melawan permusuhan. Perang melawan kebencian. Perang melawan kebohongan. Perang melawan pengkhianatan. Perang melawan kepalsuan. Perang melawan kemunafikan. Perang melawan ketidakadilan. Perang melawan kesewenang-wenangan. Perang melawan keserakahan. Perang melawan ketamakan. Perang melawan hegemoni. Perang melawan tirani.

Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen

dalam keheningan waktu sahur hari ke 10 Ramadhan 1439, bertepatan 26 Mei 2018 dalam sepinya latar mburi rumahku

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pengamat Kebijakan Publik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar