Cari Blog Ini

Senin, 14 Mei 2018

BUSH, HOAX DAN TERORISME

Indonesia kembali berduka. Setelah aksi brutal para napi teroris di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, selang tiga hari ada aksi biadab pengeboman di tiga titik tempat ibadah di Surabaya. Tidak satu agama pun yang membenarkan aksi teror dan sadisme. Semua sepakat bahwa terorisme adalah musuh bersama yang harus diperangi.

Istilah teroris dan terorisme populer sejak Tragedi WTC (World Trade Center), 9 September 2001 di New York, Amerika Serikat. Menurut laporan tim investigasi 911, sekitar 3.000 jiwa tewas dalam tragedi ini. Jauh sebelum itu banyak sekali terjadi aksi bom bunuh diri di Timur Tengah dan negara lain, namun tidak disebut sebagai teroris, dan tidak ada diskursus tentang terorisme.

Bahkan di Indonesia, kelompok DI/TII yang menyebar teror di beberapa wilayah Indonesia pasca kemerdekaan 1945 tidak disebut sebagai teroris. Di masa Orde Baru, Kelompok Mujahidin Lampung, Komando Jihad dan pelaku kerusuhan Priok juga tidak disebut sebagai teroris. Namun sejak Tragedi WTC 911, semua aksi teror yang melibatkan umat Islam dikaitkan dengan terorisme.

Sembilan hari pasca Tragedi WTC 911, George Walker Bush, presiden Amerika Serikat kala itu, menyatakan perang terhadap terorisme. Ia menyebut pelakunya adalah militan Islam Al Qaeda dan Presiden Irak, Saddam Hussein. Osama bin Laden juga terlibat dalam serangan ini.

“Kita pertama-tama akan memerangi Al Qaeda, tetapi itu bukan akhir. Perang ini tidak akan berakhir sampai semua kelompok teroris di seluruh dunia ditemukan, dihentikan dan dikalahkan,” serunya yang mengundang tepuk tangan riuh.

Pernyataan Bush yang paling terkenal adalah, "Every nation, in every region, now has a decision to make. Either you are with us, or you are with the terrorists." ("Setiap negara, di setiap wilayah, sekarang memiliki keputusan untuk dibuat. Entah Anda bersama kami, atau Anda bersama para teroris").

Dengan strategi “carrot and stick policy”nya, AS tidak segan-segan memberi imbalan pada pemimpin negara-negara yang tunduk padanya. Sebaliknya, akan menghajar negara yang tidak taat padanya.

Amerika Serikat merespon Tragedi WTC dengan meluncurkan Perang Melawan Teror yaitu menyerang Afghanistan untuk menggulingkan Taliban yang melindungi anggota-anggota al-Qaeda. Banyak negara yang memperkuat undang-undang anti-terorisme mereka dan memperluas kekuatan penegak hukumnya.

Densus 88 Anti Teror

Sejak itulah istilah teroris dan terorisme begitu populer di dunia. Di Indonesia bahkan dibentuk Satuan Tugas Anti Teror, Detasemen Khusus 88 . Satgas ini dilatarbelakangi aksi teror bom bunuh diri di Paddy's Pub dan Sari Club ( SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali tahun 2002 silam, setahun pasca Tragedi WTC. Tercatat 202 korban jiwa  dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut. Dari 202 korban tewas, 88 diantaranya warga Australia.

Densus 88 ini sejak mula dirintis oleh Kombespol Gories Mere (Perwira polisi asal Flores) yang kemudian diresmikan oleh Kapolda Metro Jaya Irjen. Pol. Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004 . Detasemen 88 yang awalnya beranggotakan 75 orang ini dipimpin oleh AKBP Tito Karnavian yang pernah mendapat pelatihan di beberapa negara . Tahun 2011 jumlah personil Densus 88 adalah 337 orang.

Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni 2003, untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun, selama 7 x 24 jam (sesuai pasal 26 & 28). Undang-undang tersebut populer di dunia sebagai "Anti-Terrorism Act".

Angka 88 berasal dari kata ATA (Anti-Terrorism Act), yang jika dilafalkan dalam bahasa Inggris berbunyi Ei Ti Ekt. Pelafalan ini kedengaran seperti Eighty Eight (88). Jadi arti angka 88 bukan seperti yang selama ini beredar bahwa 88 adalah representasi dari jumlah korban bom bali terbanyak (88 orang dari Australia), juga bukan pula representasi dari borgol.

Pasukan khusus ini dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat melalui bagian Jasa Keamanan Diplomatik ( Diplomatic Security Service ) Departemen Luar Negeri AS dan dilatih langsung oleh instruktur dari CIA , FBI , dan U.S. Secret Service. Kebanyakan staf pengajarnya adalah bekas anggota pasukan khusus AS. Informasi yang bersumber dari FEER pada tahun 2003 ini dibantah oleh Kepala Bidang Penerangan Umum (Kabidpenum) Divisi Humas Polri, Kombes Zainuri Lubis, dan Kapolri Jenderal Pol Da’i Bachtiar.

Sekalipun demikian, terdapat bantuan signifikan dari pemerintah Amerika Serikat dan Australia dalam pembentukan dan operasional Detasemen Khusus 88. Pasca-pembentukan, Densus 88 dilakukan pula kerja sama dengan beberapa negara lain seperti Inggris dan Jerman. Hal ini dilakukan sejalan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasal 43.

Terorisme sebagai Isu Politik

Perang Melawan Terorisme menjadi legitimasi publik Amerika Serikat bahkan dunia yang diberikan kepada George W Bush untuk melakukan apapun. Anggaran yang besar, kewenangan yang luas hingga politik luar negeri yang ekspansive.

Afghanistan adalah korban pertama Bush dalam program Perang Melawan Terorisme. Padahal kita tahun bahwa kelompok Thaliban sebagai penguasa Afghanistan adalah didikan CIA ketika perang melawan pasukan Beruang Merah, Uni Soviet. Keluarga Osama bin Laden sebagai dedengkot Al Qaeda juga merupakan mitra bisnis Amerika Serikat, yang banyak memiliki bisnis properti di negeri Paman Sam.

Tahun 2003 giliran Irak yang menjadi korban propaganda Bush. Saddam Hussein yang menjadi presiden Irak kala itu dituduh mendukung Al Qaeda dan memiliki senjata pemusnahan massal. Hanya perlu tiga pekan bagi para awak tank Amerika Serikat (AS), untuk menerobos padang pasir Irak menuju jantung kota Baghdad dan menggulingkan rezim Saddam Hussein pada tanggal 9 April 2003.

Ratusan ribu rakyat Irak menjadi korban kala itu, jutaan menjadi pengungsi dan mereka yang bertahan hidup dalam kondisi sengsara, tanpa pekerjaan dan kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok. Beberapa tahun berlalu, nyanyian suka cita saat menyambut pasukan AS kini tidak lagi terdengar, bahkan yang muncul adalah komentar kebencian. "Awalnya kami gembira, tapi sekarang kami benci orang Amerika," kata Moieb Sfeih (33) pembuat roti di Sadr City, suatu sudut di kota Baghdad.

Dan ternyata tuduhan bahwa Saddam Hussein mengembangkan senjata pemusnahan massal hanya hoax, bualan Amerika Serikat agar dapat legitimasi menggulingkan pemerintah Saddam Hussein. Karena hingga sekarang Irak tidak terbukti memiliki instalasi untuk mengembangkan senjata pemusnahan massal.

Tahun 2011 giliran Libya menjadi korban keganasan politik Amerika Serikat. Menggandeng kelompok oposisi di negara tersebut,  Amerika Serikat bersama  NATO berhasil membuat kemelut sejak Februari 2011. Libya dilanda gelombang demonstrasi dan kerusuhan sejak saat itu. Puncaknya, Kamis 20 Oktober 2011 menjadi hari terakhir bagi pemimpin Libya, Muammar Khadafi menghirup udara segar. Pemimpin Libya yang telah berkuasa selama 42 tahun, 1969-2011, menemui ajalnya. Ia tewas di tangan pasukan oposisi yang disebut tentara Transisi Nasional Libya (NTC) yang didukung oleh NATO pimpinan Amerika Serikat.

Secara politik, terorisme menjadi semacam isu paling ampuh untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas Bush. Menurut beberapa pengamat, sebetulnya George W Bush dianggap sebagai presiden Amerika Serikat paling bodoh, tidak cerdas dan kurang berkualitas. Tata bahasa dan kebijakannya tidak berkelas. Namun ia mampu mengkapitalisasi Tragedi WTC 911 untuk dikonversi menjadi dukungan suara. Pada pemilihan presiden periode kedua (2004) Bush menang mudah melawan Jhon Kerry, padahal pada pilpres pertama (2000) melawan Al Gore, kemenangan Bush penuh dengan kemelut. Pada Pilpres tahun 2000, Bush menjadi presiden keempat dalam sejarah AS yang dipilih tanpa memenangkan suara rakyat setelah 1824, 1876, dan 1888.

Terorisme dalam Perang Peradaban

Secara ideologi, Perang Melawan Terorisme adalah keniscayaan yang sudah diprediksi oleh Samuel F Huntington dalam thesis nya "Clas of Civilization". Bahwa pasca keruntuhan Uni Soviet dengan ide komunisme-nya, maka musuh Barat (Kapitalisme) adalah Islam dan Kong Fu Tze-an. Maka isu terorisme selalu dikaitkan dengan kelompok Islam politik dan Islam ideologi. Ketika publik menyebut teroris maka yang terbayang dalam benaknya adalah sosok kearab-araban dengan jenggot dan sorban.

Amerika Serikat berhasil membangun stigma bahwa Islam identik dengan ideologi teroris. Kata jihad dan khilafah menjadi kata paling buruk dalam pembicaraan publik. Padahal sejatinya jihad adalah puncak kemuliaan dan keagungan dalam ajaran Islam. Sementara khilafah dan imamah adalah istilah fiqh yang ada dalam kitab-kitab hukum Islam, bahkan dalam pesantren-pesantren NU pun selalu dibahas.

Dalam konteks Indonesia, isu terorisme dan setiap kejadian teror juga dikapitalisasi oleh penguasa untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas. Kedua hal tersebut dikonversi menjadi dukungan suara dalam pemilu. Pada saat yang sama, isu terorisme juga dipakai sebagai alat untuk menghantam lawan politik penguasa. Karena begitulah prinsip politik, yaitu kemampuan mengkapitalisasi persoalan menjadi dukungan.

Apa yang terjadi di Amerika Serikat dan dilakukan oleh George W Bush bisa menjadi data dan bahan analisis para pengamat untuk memotret perpolitikan Indonesia menjelang Pilpres 2019. Kita lihat saja bersama..

Yogyakarta, 15 Mei 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Inisiator Gerakan Anti Hoax (GERAX)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar