Cari Blog Ini

Kamis, 15 September 2016

JANGAN JADI PEMIMPIN JIKA TIDAK SIAP DIHINA & DIFITNAH

JANGAN JADI PEMIMPIN JIKA TIDAK SIAP DIHINA & DIFITNAH

Jakarta- (15/9/2016) Suatu ketika Rasulullah SAW menjadi imam sholat. Para sahabat yang menjadi makmum di belakangnya mendengar bunyi gemercik menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh Rasulullah bergeser antara satu sama lain.

Sayidina Umar ibn Khattab RA, yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai sholat, ”Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, apakah Anda sakit?” Namun Rasulullah menjawab, ”Tidak. Alhamdulillah, aku sehat dan segar.” Mendengar jawaban ini Umar bin khatab melanjutkan pertanyaannya, ”Lalu mengapa setiap kali engkau menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” Melihat kecemasan di wajah para sahabatnya,Rasulullah pun mengangkat jubahnya.

Para sahabat amat terkejut. Terlihatlah perut Manusia yang dimuliakan Allah ini, Dan Ternyata perut Rasulullah yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil untuk menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali tubuh Rasulullah bergerak.

Umar memberanikan diri berkata, ”Ya Rasulullah! Adakah bila engkau menyatakan lapar dan tidak punya makanan, lalu kami hanya akan tinggal diam?” Rasulullah menjawab dengan lembut, ”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu ini. TETAPI APAKAH YANG AKAN AKU JAWAB DIHADAPAN ALLAH NANTI, APABILA AKU SEBAGAI PEMIMPIN, MENJADI BEBAN BAGI UMMATNYA..??” Para sahabat yang mendengar hanya tertegun menderaikan air mata. Rasulullah melanjutkan, ”Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah

“Ya Allah, limpahkanlah shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad, sang cahaya-Mu yang selalu bersinar dan pemberian-Mu yang tak kunjung putus, dan kumpulkanlah aku dengan Rasulullah di setiap zaman, serta shalawat untuk keluarganya dan sahabatnya, wahai Sang Cahaya. (Kisah Para Sahabat).

Leiden is Lijden _Memimpin adl Menderita_ sebuah kredo dr tokoh besar pendiri bangsa, KH Agus Salim seperti air jernih yang mengalir dari hulu sungai ketulusan zamannya, terinspirasi dr keteladanan Baginda Rasul Muhammad SAW dlm memimpin para sahabat dan kaum muslimin pada masa kejayaan.

Segera terbayang juga penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”

Zaman sudah terjungkir. Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini, ”Memimpin adalah menikmati”. Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos).

Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan. (Yudi Latif, Makrifat Pagi).

Malu rasanya melihat perilaku pemimpin2 qt saat ini. Bukan kinerja dan pelayanan yg mjd prioritas, tp kemewahan dan pencitraan yg senantiasa mereka pertontonkan. Perilaku busuk dan kotor dg bongkar pasang koalisi mjd hal biasa utk melanggengkan kekuasaan. Tuntutan fasilitas mulai dr kendaraan, perumahan, tunjangan komunikasi dan uang saku mjd hal yg selalu mereka ributkan.

Sementara isak tangis masyarakat yg kelaparan, tergusur dan kehilangan pekerjaan hanya dianggap sbg dengungan nyamuk yg menjengkelkan. Menghamburkan uang rakyat atas nama kunjungan kerja dan studi banding tdk lebih hanya sekedar jalan2 tanpa hasil yg berarti.

Jk pemimpin qt saat ini jauh dr jalan penderitaan, maka jgn harap ada keberhasilan. Krn kemajuan dan kesuksesan hanya bisa didapatkan dg kerja keras dan keprihatinan. Menderita jg berarti menghadapi berbagai tekanan batin, berupa hinaan, caci maki, fitnah bahkan ancaman keselamatan.

Jgn jadi pemimpin kalo tdk siap difitnah dan dicaci maki. Tidur di rumah saja dalam pelukan istri jika tdk mau dihina dan direndahkan. Menjadi seorang pemimpin, baik itu presiden, gubernur, Bupati bahkan kepala desa sekalipun, harus tegar dan tabah menghadapi semua itu. Tidak perlu lebay dan sibuk membela diri, buktikan saja dg kerja nyata dan pengabdian. Biarlah Tuhan yg mengurus semuanya.

Salam Damai Indonesia Koe (Arif Yuswandono /Bharindo News).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar