Cari Blog Ini

Senin, 26 September 2016

Politik Jungkir Balik

POLITIK AKAL SEHAT


Politik akal sehat tampaknya sedang memasuki ruang gawat darurat di negeri ini. Ibukota sebagai ibu teladan telah menjelma menjadi ibu kesesatan.

Pada   mulanya,   nalar   lurus   mempertanyakan   keputusan   PDI-Perjuangan   memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Rekam jejak Ahok dinilai tidak sejalan dengan garis ideologis Marhaenisme-pembela wong cilik.

Tak   lama   kemudian,   nalar   terpelanting   lebih   jauh   mendapati   keputusan   poros “Cikeas” dan “Kertanegara” dalam menetapkan pasangan yang diusungnya. Seorang Jenderal purnawirawan dengan  getir   menyatakan,  “Penunjukan   Agus  Yudhoyono merupakan preseden buruk  bagi TNI; menjadi contoh negatif  yang bisa merusak atmosfir pembinaan  di lingkungan TNI.  Seorang prajurit ditempa  untuk menjadi tentara sejati,  bukan menjadi politisi.”

Pesan berantai yang tersebar melalui media sosial juga secara satir mempertanyakan integritas dan marwah politik kubu yang lain. Seseorang yang pernah menghujat tokoh sentral kubu ini sebagai pelanggar HAM dan proksi mafia, kini dengan senang hati menerima pinangannya. Adapun sang tokoh yang  pernah disnista pun seperti mati akal untuk bisa berdiri tegak dengan otonomi ideologinya.

Alhasil, tiga pasangan tampil sebagai hasil pilihan akal sesat. Kepentingan jangka pendek mengorbankan kesehatan nalar publik. Urusan negara dipandang sebagai pertaruhan   harkat   keluarga.   Popularitas   menepikan   integritas.   Modal   uang menjatuhkan modal moral.

Kebebesan   demokratis   sebagai   buah   reformasi   belum   kunjung   menghadirkan kehidupan politik yang lebih sehat dan bermakna. Kebebasan sebagai negative right (bebas dari) mengalami  musim semi. Bangsa ini telah bebas dari berbagai bentuk represi,   sensor,   bahkan   pembatasan.   Namun,   kebebasan   sebagai  Positive   right (bebas untuk) mengalami  musim  paceklik. Kita tidak  memiliki kapasitas dalam menggunakan   kebebasan   itu   untuk   memperbaiki   kehidupan   negeri   dengan memberdayakan daulat rakyat.

Berbagai bentuk pilihan dan kebijakan publik tidak menggunakan asas-asas nalar publik  yang  sehat. Kebijakan  dan pilihan politik  dengan nalar  publik  yang sehat setidaknya   harus   memenuhi   empat   prinsip   utama   suatu   politik   yang   responsif: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan dan kebebasan. Dengan keempat prinsip ini,   politik   yang   responsif   harus   mempertimbangkan   rasionalitas   publik   tanpa kesemena-menaan   mengambil   kebijakan/keputusan;   adaptabilitas   kebijakan   dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban;   serta   persetujuan   rakyat   terhadap   pemerintah.   Ketika   arena   politik   lebih mewadahi   konflik kepentingan   ketimbang   konflik   visi-ideologi,   watak   politik menjadi narsistik, mengecilkan harapan banyak orang.

Tuntutan politik responsif menghendaki agar demokrasi yang dikembangkan tidak berhenti sebagai demokrasi minimalis yang bersifat elitis, namun menjelma menjadi demokrasi deliberatif (permusyawaratan) yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan.

Demokrasi   elitis   sebagaimana   dikonseptualisasikan   oleh   Joseph   Schumpeter mendefiniskan demokrasi sebatas metode prosedural, melupakan substansi   yang berkaitan   dengan   tujuan   kesejahteraan   atau   perbaikan   nasib   rakyat. Demokrasi hanyalah   seperangkat   prosedur   dengan   mana   keputusan   diambil   dan   kebijakan dihasilkan.

Kedua,   konsep   politik   dianalogikan   dengan   konsep   ekonomi   pasar. Kompetisi   politik   berhubungan   erat   dengan   kompetisi   ekonomi.   Oleh   sebab   itu, demokrasi   elitis   ini   benar-benar   menempatkan   demokrasi   sebagai   suatu   arena kompetisi   bagi   elit-elit  terbatas   dan   teratas.   Demokrasi   adalah   persaingan antarelite.   Politisi   adalah   pengusaha,   wakil   rakyat   adalah   saudagar,   voter   adalah konsumen.   Ketiga,   demokrasi   elitis   ini   membedakan   dirinya   dari   sistem totalitarianisme sejauh bahwa pemimpin dari demokrasi elitis diajukan sementara sistem kediktatoran berdasarkan pada pemaksaan. Keempat, rakyat umum memiliki peranan   minimal   dalam   demokrasi   ala   Schumpeter   ini.   Rakyat   hanya   datang   kepemilu   untuk   memilih   wakilnya   namun   mereka   tidak   dapat   “menentukan”   dan berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan.

Demokrasi deliberatif mengatasi kekurangan demokrasi  elitis  dengan memandang kebebasan   individu   dan   kesetaraan   politik   merupakan   hal   penting   sejauh  dapat mendorong   kemampuan   manusia   untuk   membentuk   tatanan   kolektif   yang berkeadilan melalui deliberasi rasional (Hurley, 1989.

Dalam   demokrasi   deliberatif,   suatu   keputusan   politik   dikatakan   benar   jika memenuhi   setidaknya   empat   prasyarat.   Pertama,   harus   didasarkan   pada   asas rasionalitas   dan   keadilan   bukan   hanya   berdasarkan   subjektivitas   kepentingan. Kedua,   didedikasikan   bagi   kepentingan   banyak   orang,   bukan   demi   kepentingan perseorangan   atau   golongan.   Ketiga,   berorientasi   jauh   ke   depan,   bukan   demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi   negatif).   Keempat,   bersifat   imparsial,   dengan   melibatkan   dan mempertimbangkan   pendapat   semua   pihak   (minoritas   terkecil   sekalipun)   secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elit penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.

Orientasi etis “hikmat-kebijaksanaan” mensyaratkan adanya wawasan pengetahuan yang mendalam yang mengatasi ruang dan waktu tentang wacana yang dipersoalkan. Melalui hikmat itulah mereka yang mewakili rakyat bisa merasakan, menyelami dan mengetahui apa  yang  dipikirkan rakyat  untuk kemudian  diambil keputusan yang bijaksana yang membawa republik ini pada keadaan yang lebih baik. Orientasi etis “hikmat-kebijaksanaan”   juga   mensyaratkan   kearifan   untuk   dapat   menerima
perbedaan secara positif  dengan memuliakan apa yang disebut sebagai ”kebajikan keberadaban” (the virtue of civility); yakni rasa pertautan dan kemitraan di antara ragam   perbedaan   dan   kesediaan   untuk   berbagi   substansi   bersama,   melampaui kepentingan kelompok, untuk kemudian melunakkan dan menyerahkannya secara toleran kepada tertib sipil.

(Kompas, Selasa, 27 September 2016 oleh Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar