Cari Blog Ini

Jumat, 30 September 2016

Matematika Politik Pilkada DKI

JAKARTA - (1/10/2016) Pilkada rasa Pilpres, begitu ungkapan SBY untuk menggambarkan betapa pentingnya Pilkada Jakarta. Tidak berlebihan memang, jika dikatakan bahwa gelaran pemilihan gubernur DKI Jakarta sama hebohnya dengan gelaran pemilihan presiden Republik Indoensia. Posisi gubernur DKI Jakarta memang sangat strategis dan bergengsi. Jakarta adalah ibu kota negara, dan penentuan siapa yang berhak menduduki kursi nomor satu di ibu kota juga tidak mudah, kandidat cagub harus meraih minimal 50% plus satu perolehan suara.

Gelaran pilkada DKI tidak hanya menyedot perhatian masyarakat Jakarta saja, tetapi masyarakat di luar Jakarta ikut heboh berdebat soal pilkada DKI, bahkan tidak jarang antar pendukung bakal calon saling adu mulut untuk membela jagoannya. Dunia sosmed juga tidak kalah serunya, saling sanjung, saling mengunggulkan calonnya hingga black campigne untuk menjatuhkan jagoan lawan menjadi tontonan sehari-hari. 

Berita seputar pilgub DKI dipastikan menjadi tranding topic untuk beberapa bulan kedepan. Pilgub DKI memang menghadirkan banyak kejutan. Menjungkirbalikkan logika dan akal sehat. Sebelumnya akal sehat kita mempertanyakan komitmen PDIP sebagai partainya wong cilik ketika secara resmi mengusung Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur DKI. Nalar kita kembali terpelanting ketika secara mengejutkan, poros Cikeas mengusung putra sulung SBY, Mayor (Inf). Agus Harimurti Yudhoyono yang notabene perwira TNI aktif sebagai cagub DKI. Dan yang terakhir, nurani kita kembali terusik ketika tokoh yang pernah menghujat dan menjadi pendukung lawan pada gelaran pilpres, diusung oleh koalisi besutan Prabowo Subianto, yaitu Anies Baswedan.

Pro kontra pasti terjadi. Bahkan seorang Ruhut "Poltak" Sitompul, loyalis fanatik SBY sampai secara terang-terangan mempertanyakan keputusan sang mantan presiden dua periode. "SBY telah tega mengorbankan karir militer putra sulungnya demi memuaskan syahwat kekuasaan para pembisik dan penjilatnya", begitu kira-kira komentar Ruhut.

Beberapa kalangan muslim dan komunitas masyarakat Betawi pun merasa geram dengan keputusan SBY yang mengajukan calon sendiri dengan meninggalkan koalisi anti-Ahok. Bahkan bacagub yang gagal diusung, Prof. Yusril Ihza Mahendra sampai mengeluarkan statemen bahwa ini adalah stretagi SBY dan koalisinya untuk memenangkan Ahok. Mereka sengaja mengusung cagub yang lemah untuk memuluskan langkah Ahok kembali memimpin Jakarta, lanjut Yusril.

Dalam situasi seperti ini, saya berusaha melihat dengan kaca mata positif dan optimis. Saya tidak anti Ahok, saya juga tidak suka menjadikan isu SARA sebagai materi kampanye. Namun nurani saya mengatakan, lebih suka jika DKI Jakarta, ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dipimpin oleh orang yang seagama dengan saya, yaitu Islam. Memang muslim saja belum cukup, sang gubernur nantinya harus santun dalam berucap dan menguasai tata pemerintahan serta yang paling penting adalah amanah.

Secara bertahap, insting politik saya berusaha membaca motif dan strategi koalisi non-petahana yang mengusung dua pasangan cagub-cawagub DKI. Mengapa Poros Cikeas (Demokrat-PAN-PKB-PPP) dan Poros Hambalang (Gerindra-PKS) tidak bersatu dengan mengusung satu pasangan cagub-cawagub DKI ?

Nalar politik saya menjelaskan bahwa ini adalah strategi cerdas dan cerdik dari koalisi non-petahana. Provinsi DKI Jakarta berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Jika provinsi lain menggunakan UU No. 8 tahun 2015 sebagai dasar pemilihan gubernur, bupati dan walikota, maka DKI Jakarta menjadika UU No. 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai dasar penyelenggaraan pilkada. Pada pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 menyebutkan, bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (limapuluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Hal ini berbeda dengan provinsi lain, dimana berdasar ketentuan UU 8/2015 pasal 109 ayat (1) menyebutkan, bahwa pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih.

Ini artinya, sangat mungkin pilkada DKI Jakarta berlangsung dalam 2 (dua) putaran. Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) UU 29/2007, sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperolah suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.

Disinilah Matematika Politik para petinggi koalisi non-petahana _Koalisi Kekeuargaan_ nampak kecerdikannya. Logikanya, jika pilkada DKI hanya diikuti oleh dua pasangan calon, maka bisa dipastikan pilkada berlangsung dalam satu putaran dengan probabilitas kemenangan 50-50 untuk setiap pasangan calon. Ini akan berbeda jika pilkada diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon, maka sangat mungkin pilkada akan berlangsung dalam 2 (dua) putaran, karena probabilitas kemenangan 30% untuk setiap pasangan calon pada putaran pertama.

Lebih jelasnya begini, jika hanya Ahok dan satu cagub yang berkompetisi di pilkada DKI, maka peluang Ahok untuk menang sangat besar. Namun jika Ahok melawan 2 (dua) pasangan calon, maka potensi suara Ahok terpecah sangat besar, sehingga pada putaran pertama perolehan suara Ahok tidak mencapai 50% lebih. Nah, pada putaran kedua nanti pertarungan yang sesungguhnya digelar, dimana pasangan calon yang gugur akan mengabungkan suaranya untuk melawan Ahok. Secara kalkulasi matematika, gabungan perolehan suara pasangan calon koalisi non-petahana akan bisa mengungguli Ahok.

Alasan rasional inilah yang membuat saya percaya dan yakin bahwa pada tahun 2017 nanti Jakarta akan memiliki gubernur baru yang bukan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Dengan catatan, semua rencana dan skenario pera petinggi partai koalisi non-petahana atau Koalisi Kekeluargaan berjalan mulus.

Salam #DamaiIndoesiaKoe (Arif Yuswandono).

Tujuh provinsi yang akan menggelar Pilkada 2017 adalah Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sementara 94 kabupaten/kota yang ikut Pilkada 2017 tersebar di 28 provinsi.
Kendati pilkada digelar serentak, aturan yang digunakan tidaklah seragam. Aturan umum ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf
Tujuh provinsi yang akan menggelar Pilkada 2017 adalah Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sementara 94 kabupaten/kota yang ikut Pilkada 2017 tersebar di 28 provinsi.
Kendati pilkada digelar serentak, aturan yang digunakan tidaklah seragam. Aturan umum ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf
Tujuh provinsi yang akan menggelar Pilkada 2017 adalah Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sementara 94 kabupaten/kota yang ikut Pilkada 2017 tersebar di 28 provinsi.
Kendati pilkada digelar serentak, aturan yang digunakan tidaklah seragam. Aturan umum ialah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf

Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf
Pasal 109 ayat (1) UU 8/2015 menyebutkan pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur terpilih.
Ketentuan Pasal 109 itu hanya berlaku untuk enam provinsi. Provinsi DKI Jakarta menggunakan ketentuan Pasal 11 UU 29/2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Itu artinya, Pasal 109 itu tidak berlaku bagi Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jika dia ditetapkan menjadi calon gubernur.
Pasal 11 ayat (1) UU 29/2007 itu menyebutkan, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih.
Dalam hal tidak ada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang memperoleh suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai ketentuan ayat (2), diadakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur putaran kedua yang diikuti oleh pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua pada putaran pertama.
- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/52907/pilkada-serentak-dengan-aturan-berbeda-hanya-jakarta-50-plus-satu/2016-06-24#sthash.zMtBBnEX.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar