Cari Blog Ini

Minggu, 15 April 2018

Politik Akal Sehat vs Politik Akal Sesat



Fenomena Rocky Gerung dengan segala kontroversinya membuka kesadaran kita akan hilangnya politik akal sehat di negeri ini. Bergeser pada politik akal sesat yang pragmatis dan yang melahirkan politisi oportunis. Politisi oportunis dengan sendirinya membentuk masyarakat yang skeptis dan apatis. Polemik atas apa yang disampaikan oleh Prof. Rocky Gerung di acara ILC (Indonesia Lawyers Club) tvOne, Selasa (10/4/2018) menjadi bukti kemunduran bangsa ini dalam bidang ilmu pengetahuan dan diskursus politik ideologis.

Sebagai bangsa, ternyata selama ini kita sudah terlalu jauh bergeser dari diskusi substantif dan ideologis menjadi perdebatan aksesoris yang jauh dari inti persoalan. Saya sependapat dengan pernyataan Haris Azhar, Direktur LOKATARU, (sebuah kantor hukum dan hak asasi manusia), bahwa bangsa Indonesia, terutama para elitnya lebih banyak berdebat hal-hal yang tidak substansial, melupakan persoalan-persoalan prinsip dan mendasar yang dialami bangsa Indonesia.

Elit politik negeri ini terjebak pada upaya sebatas mempertahankan dan menggantikan kekuasaan, sementara nasib rakyat terabaikan. Kelompok oposisi dan yang punya posisi sama saja perilakunya. Oposisi mengeksploitasi isu-isu kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan bukan secara tulus karena peduli pada penderitaan rakyat tapi lebih untuk menghantam pemerintah. Sementara rezim yang berkuasa juga lupa akan janji dan sumpahnya. Apa yang ditampilkan jauh dari harapan, bukan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat, tapi lebih banyak kegiatan pencitraan.

Perilaku politisi yang oportunis menghasilkan pola pikir masyarakat yang skeptis. Masyarakat tidak lagi memandang dan mempertimbangkan platform politik yang tercermin dari visi misi para calon pemimpin (calon legislatif), namun terhipnotis oleh gaya pencitraan, popularitas dan angpao yang mereka bagikan pada saat pencalonan. Kondisi ini melahirkan biaya politik yang tinggi, ujungnya adalah praktek korupsi dan upaya pengembalian modal politik. Banyaknya kepala daerah dan politisi yang menjadi tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan turunnya kepercayaan (trust) masyarakat pada lembaga politik dan pemerintahan adalah akhir dari hancurnya politik nalar negeri ini.

Bergesernya perilaku bangsa ini dari praktek politik akal sehat ke politik akal sesat ditunjukkan oleh mereka yang berada di dalam pemerintahan maupun yang di luar pemerintahan. Kedua kelompok ini sama saja, baik yang sebagai opoisi maupun yang sedang punya posisi. Namun, pemerintah sebagai pihak yang memegang kewenangan dan kekuasaan nampak melakukan pembiaran dan tidak ada upaya untuk membangun praktek politik yang lebih baik dan sehat. Bahkan di semua level kekuasaan dan kelompok yang berafiliasi pada pemerintah justru memberi contoh buruk dalam berpolitik.

1. Perilaku Presiden Rasa Capres

Model komunikasi presiden dan tim konsultan politiknya menampilkan gaya komunikasi yang buruk dan dangkal. Kegiatan yang diberitakan dan di-viral-kan justru bukan pada hal-hal yang substantif sebagai pejabat tinggi negara, namun hal-hal sepele yang jauh dari tanggung jawabnya sebagai kepala pemerintahan. Lihat saja foto-foto blusukan Presiden Joko Widodo yang tidak penting, turun ke sawah, bergaya di kapal tempur, touring naik motor ala Chopper Land, berlatih tinju, panahan hingga menonton film di bioskop.

Kegiatan-kegiatan tersebut yang selalu digunakan sebagai alat pencitraan dan meninabobokan masyarakat. Namun upaya pemenuhan janji-janji selama kampanye yang terangkum dalam Nawa Cita justru tidak di-ekspose. Yang ditangkap publik justru sebaliknya. Pengingkaran terhadap janji dan tanggung jawab kepemimpinan, seperti impor beras, garam, gula dan bahan pokok lainnya. Kebijakan yang mempermudah masuknya tenaga kerja asing, pada saat yang sama pengangguran di dalam negeri masih tinggi. Pencabutan subsudi, kenaikan harga BBM, TDL, agresifitas pajak hingga ketidakberesan klaim BPJS justru dilakukan secara diam-diam.

Presiden melupakan amanat penderitaan rakyat, penuntasan kasus HAM (Hak Asasi Manusia), dan penanganan isu-isu ligkungan yang menjadi semangat lahirnya era reformasi. Presiden lebih asyik mengurusi elektabilitas dan popularitas dengan keiatan-kegiatan yang tidak substantif. Kegiatan yang pantas dilakukan seorang calon presiden bukan presiden yag sedang menjabat.

2. Penegakkan Hukum Terkesan Tebang Pilih

Tidak terbuktinya kelompok Saracen sebagai penyebar hoax, isu SARA dan ujaran kebencian dalam persidangan di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Jumat (6/4) adalah salah satu bukti betapa penegakkan hukum di Indonesia dipertanyakan profesionalitas dan netralitasnya. Kesan bahwa aparat penegak hukum begitu sigap menindak kelompok yang berseberangan atau tidak sejalan dengan pemerintah, namun lambat menangani kasus yang melibatkan kelompok yang pro pemerintah, tidak dapat dipungkiri.

Publik menunggu penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang sudah setahun berlalu tanpa titik terang. Perkembangan pembacokan terhadap ahli IT ITB, Hermansyah juga tidak jelas, tidak ada kabar beritanya. Kasus ujaran kebencian oleh politisi Nasdem, Viktor Laiskodat juga tidak ada kemajuan. Kemudian penanganan kasus kelompok yang menamakan diri Family MCA juga tidak ada beritanya, padahal sudah terlanjur bekembang opini bahwa MCA identik dengan muslim.

Berbeda ketika aparat penegak hukum menangani kasus yang menimpa pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah. Sigap dan cepat. Kita lihat saja penanganan kasus ustadz Alfian Tanjung, Jonru dan beberapa orang yang dituduh makar. Beberapa orang seperti Ustadz Mohammad Al Khattath, Sri Bintang Pamungkas, Kivlan Zein yang sudah diamankan, namun akhirnya tidak terbukti melakukan tindakan makar.

Begitu pula penanganan korupsi oleh KPK, terkesan hanya menyasar pihak-pihak yang "direstui" oleh pemerintah. Kasus Century, BLBI, Condensat, Pelindo, RS Sumber Waras, Reklamasi hingga sekarang mangkrak dan mengendap. KPK sibuk dan asyik dengan kasus-kesus kecil dan OTT yang secara pemberitaan lebih spektakuler.

Pada akhirnya muncul kesan kuat bahwa aparat penegak hukum tidak lagi menjadi lembaga yang memberi keadilan kepada masyarakat, namun menjadi bagian dan alat kekuasaan untuk membungkam lawan-lawan politiknya.

3. Menteri-menteri "Dungu" dan Inkoordinatif

Beberapa perilaku dan statemen menteri pada Kabinet Kerja Jokowi juga menunjukkan terpaparnya politik akal sesat. Ucapan dan jawaban beberapa menteri ketika menyikapi suatu kondisi dan protes masyarakat memperlihatkan "kedunguan" dan kedangkalan berpikir.

Kita lihat saja ketika ramai adanya cacing parasit di dalam kaleng ikan sarden. Menteri Kesehatan bukannya melakukan investigasi dan tindakan, tapi justru berkomentar bahwa,"Cacing dalam ikan sarden bagus karena bergizi dan mengandung protein". Tentu saja publik yang usil akan bertanya, "Sudahkah Ibu Menteri makan cacing hari ini?" Atau beranikah Ibu Menteri memakan ikan sarden yang ada cacingnya di hadapan masyarakat luas?

Pernah juga Menteri Pertanian menyarankan masyarakat makan keong sawah ketika mengomentari mahalnya harga daging. Menko PMK, Puan Maharani, malah pernah meminta masyarakat miskin untuk diet dan mengurangi makan ketika mengomentari mahalnya harga beras. Bahkan ada Menteri rasa perdana menteri, dimana ia mengurusi segala hal, dari darat, laut, udara hingga perumahan. Bahkan ia melakukan lobi-lobi politik dan bertindak seperti juru bicara istana yang mengomentari semua persoalan.

Perilaku dan statemen beberapa menteri nampak kurang kordinasi, dimana presiden Jokowi seolah-olah tidak mampu menjadi leader yang mampu me-manage para pembantunya untuk menghasilkan aransemen pelayanan yang indah bagi rakyat.

4. Politisi dan Kelompok Pendukung Pemerintah yang Brutal dan Ugal-ugalan

Praktek politik sesat ini juga ditunjukkan oleh politisi dan kelompok masyarakat pendukung pemerintah, atau tepatnya pendukung Jokowi. Ucapan Politisi Partai Nasdem, Viktor Laiskodat yang menuduh beberapa partai sebagai kelompok ekstrimis dan intoleran, hingga seruan untuk membunuh sebelum dibunuh, adalah ucapan barbar dan brutal. Meski diucapkan dalam forum internal, namun seruan ini jelas memprovokasi dan menimbulkan ketegangan antar partai politik.

Relawan dan kelompok pro Jokowi yang beroperasi di medsos bahkan lebih brutal lagi. Tidak jarang mereka melempar fitnah dan menyebar berita hoax untuk menghantam lawan-lawan politik Jokowi. Para buzzer akan segera mem-bully dan mencaci maki suara-suara kritis atau siapapun akun medsos yang tidak mendukung Jokowi. Jarang sekali mereka berdebat secara sehat ke persoalan yang sedang dibahas, seringnya mereka akan berkomentar yang jauh menyimpang, tidak nyambung dan dengan bahasa yang kasar.

Kaum intelek sekelas profesor pun pada akhirnya terperosok dalam perdebatan dangkal yang justru menjatuhkan kehormatan kedudukan mereka. Para buzzer ini tidak peduli, apakah yang bicara profesor atau ulama, akan tetap dihajar ketika tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.

Fenomena paling "ajaib" adalah bergabungnya kelompok civil society pada kubu Jokowi dengan mencari suaka di istana. Jelas-jelas banyak sekali kebijakan pemerintahan Jokowi yang tidak pro rakyat, tidak mengagendakan penuntasan HAM dan isu lingkungan hidup dalam program kerjanya. Namun beberapa aktifis justru nampak enjoy duduk bersama dalam satu barisan dengan tokoh yang selama ini dianggap pelanggar HAM, seperti Wiranto, AM. Hendro Priyono dan Luhut Binsar Pandjaitan.

Nah, perilaku politik akal sesat inilah yang selama 4 tahun terakhir ini berkembang di negeri ini. Sekali lagi, sama saja apakah mereka yang sebagai oposisi atau mereka yang punya posisi. Berhenti pada perdebatan yang tidak substantif, yang menyangkut hajat hidup masyarakat, dengan mengabaikan masalah-masalah prinsip yang ada di depan mata, yaitu amanat penderitaan rakyat.

Yogyakarta, 15 April 2018
Arief Luqman El Hakiem


Tidak ada komentar:

Posting Komentar