Cari Blog Ini

Senin, 16 April 2018

"Reformasi Yang Ternoda" ( Refleksi 20 Tahun Tragedi 1998 )



20 tahun yang lalu, 1998 saya masih duduk di semester 4 Fakultas Ekonomi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta yang lebih dikenal dengan nama Solo. Kota Solo adalah salah satu wilayah yang bergolak dan paling rusuh pada pertengahan 1998, selain Jakarta dan Medan. Pertokoan sepanjang jalan Slamet Riyadi menjadi sasaran amuk massa, pembakaran dan penjarahan. Matahari, Singosaren, Bank BHS, Super Ekonomi Purwosari, Atrium Solobaru dan beberapa obyek vital ludes luluh lantak dilalap si jago merah.

Saya adalah saksi dan pelaku sejarah pergerakan mahasiswa di tahun 1998. Sejak semester satu (1996) saya aktif dalam berbagai diskusi politik dan ideologi serta bergabung dalam banyak organisasi mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus. Perkenalan saya dengan dunia pergerakan dimulai di Mess Al Kindi yang terletak di Kampung Gendingan, RW XVI Jebres, Solo, sebelah timur tembok kampus UNS. Di situ berkumpul senior-senoir aktifis dari berbagai fakultas yang menggembleng saya dengan diskursus peradaban dan pemikiran-pemikiran ideologis.
Di fakultas saya juga aktif dalam kegiatan dan organisasi intra kampus. Semester pertama saya bergabung dengan BPPI (Badan Pengkajian dan Pengamalan Islam) bersama Mas Aji Ismoyo dan teman-teman di bawah bimbingan Mas Bambang Halilintar Kusnadi. Saya juga aktif dalam kegiatan HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) Manajamen, hingga kemudian mengantarkan saya menjadi pengurus BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), dulu namanya SEMA (Senat Mahasiswa).
Tahun 1998 saya menjadi Ketua SC (Steering Commite) kegiatan Ospek Fakultas Ekonomi, bersama Tri Doso Dwi H, sebagai ketua OC (Operating Commite) di daerah Deles, Klaten. Saya ingat betul, malam pertama ada sidang pengadilan indisipliner yang dimotori senior saya, Adhitya Wisnu Soemoatmodjo. Di tingkat universitas, saya menjadi perwakilan fakultas yang ikut melahirkan BEM Universitas, sebelumnya tidak ada SEMA atau BEM tingkat universitas. Saya juga sempat menjadi Ketua LDM (Lembaga Dakwah Kampus) dan Ketua FS LDK (Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus) Solo Raya dan Jawa Tengah.
Saya juga aktif dalam kegiatan ekstra kampus, pernah menjadi Ketua KMH (Keluarga Mahasiswa Hidayatullah), menjabat sebagai direktur LDPIS (Lembaga Dakwah dan Pengkajian Islam Strategis) At Tibyan Surakarta, hingga menjadi Ketua FORBES (Forum Bengawan Solo), yang mewadahi semua GMM (Gerakan Mahasiswa Muslim) di Solo Raya, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Idonesia), PII (Pelajar Islam Indonesia) dan IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah).
Di tahun 1998, ada dua kampus besar di Solo yang menjadi tempat aksi demonstrasi mahasiswa, yaitu UNS di Kentingan (Solo Timur) dan UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) di Pabelan (Solo Barat). Kami para mahasiswa berbeda ideologi dan organisasi, tapi satu misi, yaitu menuntut perubahan sistem ketatanegaraan. Waktu itu, ada SMPR (Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat) yang dimotori oleh Ulin Ni'am Yusron dari Fakultas Pertanian UNS, ada BEM yang dimotori teman-teman tarbiyah Jamaah Nurul Huda UNS, sekarang berafiliasi ke KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Saya dengan teman-teman FS LDK memiliki barisan dan simpatisan sendiri.
Pergolakan 1998 diawali terjadinya krisis moneter 1997, dimana nilai dollar menembus angka Rp 15.000,- waktu itu. Harga-harga kebutuhan pokok mengalami lonjakan, kenaikan harga BBM, TDL dan harga-harga lainnya. Kurs dollar terus mengalami fluktuatif. Di awal 1998, Presiden Soeharto menandatangani MoU (Master of Understanding) dengan IMF (Internasional Monetary Found), dimana Michael Camdessu sebagai perwakilan IMF di Asia Pasifik. Ternyata gelontoran dana dan resep dari IMF tidak mampu memperbaiki keadaaan. Masyarakat menjerit karena tingginya biaya hidup, mahasiswa bergerak protes dan berdemonstrasi.
Sebagai mahasiswa, saya merasakan kenaikan harga fotocopy, buku, dan makan di warung Metal, depan kost saya, Wisma Al Kahfi di Kampung Gendingan. Para mahasiswa bergerak menuntut penurunan harga dan menuduh rezim orde baru sudah bobrok, sehingga menuntut Soeharto turun dari kursi Presiden Republik Indonesia. Gelombang demonstrasi secara intensif dimulai Maret hingga pertengahan Mei 1998. Hari Rabu jadwal demonstrasi di depan kampus UMS, Jumat di bullevard UNS.
Seruan untuk berdemonstrasi dibuat dalam bentuk pamflet yang difotocopy dengan kertas CD, disebar dan ditempel di warung-warung, masjid, fakultas, dan tembok kampus. Waktu itu belum ada grup WhatsApp dan media sosial. Setiap bakda Jum'atan, para mahasiswa dan masyarakat sudah berkumpul di bullevard UNS. Dengan membentangkan spanduk, poster dan yel-yel ; Revolusi Sampai Mati, Turunkan Harga - Turunkan Soeharto, Hapus Dwi Fungsi ABRI, Satu Komando - Satu Tujuan, Rakyat Bersatu Tak Dapat Dikalahkan.
Saya waktu itu sudah rutin mengisi kutbah Jum'at di masjid-masjid sekitar kampus, salah satunya di Masjid Hidayatullah Kampung Gendingan. Saya selalu menyerukan gerakan perubahan dan perbaikan sistem ketatanegaraan secara total, revolusioner (inqilabiyah), tidak hanya tambal sulam secara parsial (islahiyah). Karena saya meyakini penyakit negeri ini bukan hanya masalah rezim dan pemerintahan, namun sudah akut menyeluruh pada sistem pemerintahan dan ketatanegaraan.
Jumat 17 Maret 1998, pertama kali terjadi bentrokan antara mahasiswa dengan aparat di bullevard UNS. Awal hingga pertengahan Mei 1998 demonstrasi mahasiswa makin meluas dan intens, mengarah pada anarkis dan brutal. Pasukan Dalmas (Pengendali Massa) dan PHH (Pasukan Anti Huru Hara) Polri juga makin reperesif. Lemparan batu dan botol air mineral dibalas dengan gas air mata, water cannon hingga tembakan perluru karet. Tidak ada demo tanpa rusuh dan kisruh. Paving block trotoar kampus adalah senjata kami untuk lempar jumroh (istilah kami waktu itu). Beberapa rekan dilarikan ke rumah sakit karena gas air mata dan peluru karet. Bahkan sempat beredar isu, ada korban meninggal dunia.
Kami mulai meningkatkan tensi perlawanan. Aksi teatrikal, pembakaran ban bekas hingga aksi longmarch dari bullevard UNS menuju balaikota dan Bundaran Gladak, di jalan Slamet Riyadi Solo. Tanggal 8 Mei seorang aktifis mahasiswa asal Yogyakarta, Mozes Gatutkaca meinggal dunia karena kekerasan aparat. Tanggal 12 Mei, 6 orang mahasiswa Trisakti tewas dalam aksi demonstrasi di Jakarta. Para mahasiswa dan masyarakat sudah mulai menduduki Gedung DPR / MPR di Senayan, Jakarta.
Di luar jadwal biasaya, kami mengadakan aksi pada hari Kamis 14 Mei di depan UMS Pabelan, sebagai solidaritas atas kematian Mozes dan 6 mahasiswa Trisakti. Demonstrasi berlanjung panas sejak awal, mulai ada aksi lempar batu, dibalas tembakan gas air mata oleh aparat. Mahasiswa mundur ke arah utara dan ke dalam kampus UMS. Perwakilan mahasiswa yang hendak bernegosiasi tertingal dan menjadi korban keganasan aparat. Aksi saling lempar batu dan kepulan gas air mata membubung.
Entah kelompok massa dari mana, sepanjang jalan Slamet Riyadi terjadi aksi pembakaran. Showroom mobil Timor, Bimantara, KFC, BCA, Danamon, Super Ekonomi Purwosari, hingga Bank-bank di jalan Urip Soemoharjo menjadi sasaran amuk massa dan pembakaran. Aksi pembakaran dan penjarahan meluas sampai Nusukan, Gading, Tipes, Jebres, Solobaru. Praktis seantero Solo terjadi kerusuhan dan pembakaran. Mobil dan sepeda motor bergilampangan di jalan raya, habis dilalap si jago merah.
Jumat, 15 Mei sebuah gudang ban di depan Kampus UNS juga dibakar massa, api dan asap hitam membubung ke langit. Dua malam itu Solo begitu mencekam, seperti kota mati. Hampir semua keluarga mahasiswa menelepon menanyakan keadaan kami di Solo. Tanggal 21 Mei Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri, dan digantikan oleh Prof. Ing. BJ. Habibie, yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. Era baru dimulai, beberapa orang menyebut sebagai era reformasi.
Kini, 20 tahun berlalu. para aktifis dan sahabat yang sama-berjuang, berdemonstrasi waktu itu, sudah memilih dan meniti takdirnya masing-masing. Fahri Hamzah sebagai pentolan KAMMI menjadi politisi PKS. Adian Napitulu dan Budiman Sudjatmiko memilih bergabung dengan PDIP. Ulin Ni'am Yusron sempat terlihat bergabung dalam tim relawan Joko Widodo.
Saya dengan beberapa rekan memilih menjadi pengajar, pendidik yang aktif mengajar, mengisi training dan seminar, sesekali menulis dengan tetap berada di luar pemerintahan. Saya memilih jalan menjadi pengawas yang tidak pernah lengah, pada saat beberapa teman sudah asyik dengan jabatan dan glamournya dunia hingga melupakan tuntutan perjuangan 20 tahun yang lalu.
Biarlah, semua orang memilih jalan hidup dan menjalani takdirnya masing-masing...
Saya tetap meyakini, perjuangan belum usai. Apa yang kita tuntut 20 tahun yang lalu masih jauh dari harapan. 5 Presiden memimpin silih berganti, namun keadilan dan kesejahteraan rakyat masih menjadi mimpi.





Wahai para pejabat dan wakil rakyat, yang dulu pernah bersama-sama berteriak di jalanan... 





Kalian masih berhutang pada kami, tetesan keringat, air mata dan darah yang tertumpah adalah mahar yang harus dibayar untuk posisi Anda saat ini...





Jangan pernah lupakan itu, kawan...!

Sekali Berarti, Habis itu Mati ... !!!
Salam Revolusi Sampai Mati

Yogyakarta, 16 April 2018

Arief Luqman El Hakiem






















Tidak ada komentar:

Posting Komentar