Cari Blog Ini

Selasa, 03 April 2018

Hoax, Medsos dan Konflik Sosial



2018 tidak hanya tahun politik, tapi bisa jadi tahun konflik. Segala persoalan dan pembicaraan anak bangsa di tahun ini selalu dikaitkan dengan politik pragmatis, Pileg dan Pilpres. Masyarakat tanah air terpolarisasi ke dalam dua kubu, kubu pro Jokowi sebagai petahana dan kubu anti Jokowi sebagai penantang. Kedua kubu ini terus melakukan konsolidasi dan mobilisasi massa untuk memenangkan pertarungan. Muncullah kelompok relawan pro Jokowi dan kelompok masyarakat yang ingin mengganti Jokowi di 2019. Medan pertempuran kedua kubu ini ada di berbagai lini, salah satunya adalah media sosial (medsos).

Bagi masyarakat yang aktif di media sosial tentu merasakan panasnya suhu pertarungan kedua kubu tersebut. Tidak hanya panas, namun kasar dan brutal. Segala macam cara dilakukan dan dihalalkan demi mencapai tujuan. Mulai dari kata-kata kasar, umpatan, penyebaran hoax dan ujaran kebencian, meme penghinaan, hingga sabotase dan peretasan akun-akun lawan. Rasanya kita kehilangan sikap mental ksatria dan budaya ketimuran. Bahkan kaum intelek dan rohaniawan tidak jarang terlibat dalam perdebatan konyol memalukan di media sosial.

Pegiat media sosial ini sering disebut sebagai Netizen. Netizen dan media sosial menjadi fenomena baru dalam percaturan politik, yang sebelumnya tidak ada dan tidak dikenal. Netizen menjadi kelompok trategis dalam peta politik tanah air. Tidak jarang kebijakan dan keputusan politik terjadi karena pengaruh serta desakan dari Netizen. Pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam dunia politik, sangat kuat dan signifikan.

Hal ini disadari betul oleh para politisi yang berkompetisi. Mereka secara serius menggarap, mengkonsolidasi dan memobilisasi para netizen untuk meraih kemenangan. Jadilah para netizen ini mengelompok ke dalam dua kubu juga, yaitu kubu pro Jokowi dan kubu anti Jokowi. Kadang kubu pro Jokowi memposisikan diri sebagai kubu pemerintah, karena secara saat ini jokowi adalah penguasa secara definitive, dan kubu anti Jokowi serig disebut kubu Prabowo karena lawan paling potensial di Pilpres 2019.

Pertarungan Netizen di dunia maya jauh lebih frontal dan brutal dibandingkan di dunia nyata. Aksi para Netizen ini berdampak besar pada kondisi sosial dan kamtibmas di dunia nyata. Tidak jarang konflik sosial terjadi diawali dari konflik di medsos. Situasi ini disadari dan disikapi secara serius oleh Kepolisian Republik Indonesia dengan membentuk Satuan Tugas Nusantara yang secara khusus memantau dinamika medsos terkait Pilkada dan Pilpres. Tidak sedikit netizen pelaku kasus kejahatan ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) di media sosial yang berhadil diungkap, ditangani dan ditindak oleh kepolisian. Sebagian dari mereka berakhir di balik jeruji penjara.

Pelanggaran dan kebrutalan ITE tidak hanya ditunjukkan oleh kelompok yang anti Jokowi, namun tidak jarang dilakukan oleh netizen pro pemerintah yang notabene pendukung Jokowi. Media online, Fan Page dan akun-akun medsos pro pemerintah sering tercyduk mem-posting konten hoax dan ujaran kebencian, juga tulisan-tulisan provokatif. Disinilah netralitas dan profesiaonalitas aparat penegak hukum diuji. Tidak jarang mereka dihadapkan pada situasi dilematis, ketika pelanggaran itu dilakukan oleh media yang pro pemerintah. Anggota dan pejabat pada lembaga penegak hukum diangkat dan digaji oleh pemerintah, tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi aparat dalam menegakkan keadilan.

Netizen pro Jokowi kadang melakukan langkah off side dengan mengambil peran sebagai juru bicara yang membela secara membabi buta setiap kebijakan pemerintahan Jokowi. Mereka lebih ganas dan sadis dari pemerintah itu sendiri, dengan mem-bully dan mencaci maki setiap netizen yang mengkritik kebijakan pemerintah. Beberapa kebijkan pemerintahan Jokowi memang layak dikritisi, seperti pencabutan subsidi, kenaikan harga BBM dan TDL, impor beras dan bahan makanan pokok, jumlah hutang yang mengkhawatirkan, pengangkatan pejabat negara yang terkesan tidak profesional juga kelonggaran visa bagi TKA asal Tiongkok.

Keberadaan dan keganasan netizen pro pemerintah ini adalah fenomena baru dalam budaya politik pemerintahan di tanah air. Jika selama ini yang sibuk menjawab juga menjelaskan kebijakan pemerintah adalah para menteri dan pejabat negara, maka saat ini peran itu dilakukan oleh para netizen. Mereka tidak hanya sok tahu, sok pintar menjelaskan secara detail kebijakan tersebut, namun juga membela serta membenarkan kebijakan tersebut. Tidak jarang mereka akan mem-bully dan mencaci maki secara pribadi kepada pengkritik tersebut secara beramai-ramai.

Ini luar biasa istimewa, mereka belum tentu tahu latar belakang akademik lahirnya kebijakan tersebut dan tanpa bayaran, tapi mati-matian membelanya. Tidak jarang mereka juga memposting berita-berita keberhasilan pembangunan pemerintah, meski beberapa kali menampilkan foto hoax yang diklaim sebagai infrasruktur era Jokowi, padahal itu foto-foto di luar negeri. Mereka juga secara konsisten dan rutin memposting kelemahan dan kesalahan lawan-lawan politik Jokowi.

Situasi ini melahirkan potensi perpecahan dan konflik sosial di kalangan anak bangsa. Fenomena saling bully dan caci akan memperlemah persatuan kesatuan bangsa. Energi putra putri terbaik bangsa terkuras untuk berdebat dan bermusuhuan. Seakan-akan persoalan bangsa ini hanya seputar Jokowi dan Prabowo. Kita lupa bahwa jutaan rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan, sebagian besar sumber daya alam dikuasi asing, lahan-lahan hutan dan perkebunan dikuasi segelintir Taipan, dan kita sudah jauh ketinggalan dibanding negara-negara tetangga. Kita disibukkan oleh pepesan kosong dengan membela serta memuja junjungan masing-masing. Negeri ini diambang perpecahan dan permusuhan secara nyata.

Ada dua solusi yang coba saya tawarkan untuk menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan dan kehancuran, dari sisi masyarakat dan dari sisi pemerintah.

1. Gerakan Literasi dan Diet Online

Seluruh elemen bangsa yang sadar dan tercerahkan harus secara serius malakukan gerakan literasi. Lembaga-lembaga pendidikan, pesantren, ormas, tokoh masyarakat dan media massa harus secara sungguh-sungguh mengajak masyarakat menggunakan internet secara bijak dan sehat. Para pendidik dan penceramah tidak henti-hentinya mengingatkan masyarakat untuk mengenal hoax, menghindari penyebaran hoax dan tidak menyebar ujaran kebencian.

Kita semua juga harus mulai melakukan diet online, mengurangi posting dan interaksi via medsos. Perbanyak silaturahim secara langsung, bertemu, berbicara secara tatap muka. Mempererat persahabatan dan persaudaraan dengan aktifitas nyata. Melakukan aktifitas riil yang berdampak secara fisik. Mulailah berbicara dengan keluarga, bersendau gurau. Berhenti curhat dan sedikit-sedikit up date status. Minimalisir terjadinya kesalahpahaman dan kejahatan di media sosial.

2. Penegakkan Hukum Secara Adil

Aspek hukum sangat beperan penting dalam mengantisipasi terjadinya konflik sosial dan perpecahan bangsa. Gerakan literasi tidak akan efektif jika tidak diimbangi dengan kesigapan pemerintah dalam memerangi hoax. Disamping pemerintah melakukan penindakan dengan UU ITE, juga perlu kiranya menekan kepada perusahaan pengelola medsos untuk ikut bertanggung jawab menanggulangi hoax. Aparat penegak hukum harus berlaku adil dan netral, profesional dan menjauhi kesan keberpihakan.

Bahkan jika diperlukan, pemerintah membuat aturan agar satu orang cukup memiliki satu akun medsos dengan identitas asli (nama dan foto asli). Konflik sosial kadang muncul karena adanya akun-akun palsu, akun-akun abal-abal yang sengaja dibuat untuk melakukan kejahatan dan memancing huru-hara. Cara ini dipastikan akan mengurangi dampak negatif media sosial.

Semoga dua solusi ini bisa menjadi pertimbangan bagi pemangku kebijakan untuk menyelamatkan negeri ini perpecahan dan kehancuran.

Salam GERAX - Gerakan Anti Hoax
Yogyakarta, 4 April 2018
Arief Luqman El Hakiem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar