Cari Blog Ini

Sabtu, 09 Juni 2018

AKSI BELA PANCASILA ala Jokowi (ABP Jilid I-III)


Bulan Juni adalah bulan istimewa bagi bangsa Indonesia. Dua tokoh besar yang sangat sentral dalam sejarah negeri ini lahir pada bulan ini. Pertama adalah Ir Soekarno, Sang Proklamator, Presiden Republik Indonesia pertama lahir pada bulan Juni, tanggal 6 tahun 1901. Kedua adalah Jenderal Besar HM Soeharto, Bapak Pembangunan, Presiden RI kedua juga lahir pada bulan Juni, tanggal 8 tahun 1921. Dan bulan Juni juga disebut bulan Pancasila, karena 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Bagi warga ibukota, bulan Juni lebih istimewa lagi, karena pada 22 Juni 1527 Fatahillah, panglima perang Kesultanan Demak Bintoro berhasil mengusir tentara Portugis dari Sunda Kelapa untuk kemudian membangun kota baru bernama Jayakarta, yang sekarang kita lebih dikenal sebagai Kota Jakarta. Mungkin ini juga yang menginspirasi Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, untuk memimpin 300 pasukan Satpol PP melakukan penyegelan dan penutupan ratusan bangunan tak berijin di pulau-pulau reklamasi Teluk Jakarta pada Kamis 7 Juni kemarin.
Khusus terkait Pancasila, setiap bulan Juni dalam tiga tahun terakhir ini Presiden Joko Widodo selalu membuat kebijakan baru dan selalu menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat, khususnya di kalangan akademisi dan politisi.
Secara pribadi, saya menyebut terobosan Jokowi ini sebagai Aksi Bela Pancasila (ABP), Jilid I sampai III, yaitu ABP tahun 2016, 2017 dan 2018.
Bukan tanpa dasar saya memilih istilah Aksi Bela Pancasila (ABP), karena dalam jejak digital berbagai alasan lahirnya kebijakan presiden terkait Pancasila adalah adanya ancaman terhadap ideologi negara ini. Dalam berbagai kesempatan Jokowi selalu mengatakan bahwa Pancasila terancam, ada sekelompok orang atau ormas eyang berniat mengganti dasar negara. Pernyataan presiden dikuatkan oleh Menkopolhukam, Wiranto, juga oleh Ketua MPR, Zulkifli Hasan beberap tahun sebelumnya.
Tiga jilid ABP ala Jokowi berdasar tahun adalah sebagai berikut ;
ABP Jilid I : Tahun 2016, Penetapan Hari Jadi Pancasila
Terobosan pertama Pesiden Jokowi adalah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila (HLP), yaitu setiap tanggal 1 Juni. Hari tesebut kemudian ditetapkan sebagai hari libur, namun instansi pemerintah diwajibkan menyelenggarakan upacara bendera.
Tak pelak keputusan penetapan 1 Juni sebagai HLP tersebut memunculkan pro kontra di tengah masyarakat. Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Dr. Refly Harun adalah dua pakar hukum tatanegara yang memiliki pendapat berbeda soal HLP. Mereka lebih sepakat tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila (HLP).
Refly Harun menganggap penetapan 1 Juni 1945 sebagai HLP sangat kental nuansa politisnya dari pada fakta sejarah. Keputusan ini dianggap mengesampingkan peran tokoh lain yang sama-sama berpidato mengusulkan rumusan konsep dasar negara pada Sidang Pleno BPUPKI, 29 Mei - 1 Juni 1945 di Jakarta, yaitu MR Soepomo dan MR Mohammad Yamin.
Sementara Prof. Yusril menyatakan bahwa 18 Agustus 1945 lebih tepat dijadikan sebagai HLP, karena saat itulah PPKI memutuskan secara final rumusan Pancasila dan menetapkan sebagai dasar negara yang baru saja diproklaimirkan.
ABP Jilid II : Tahun 2017 Pekan Pancasila "Saya Indonesia, Saya Pancasila"
Setahun setelah 1 Juni ditetapkan sebagai HLP, pemerintahan Jokowi memperingatinya dengan kegiatan Pekan Pancasila dan beredar foto presiden dengan jargon "Saya Indonesia Saya Pancasila" (SISP). Foto dan jargon ini diikuti oleh jajaran menteri, pejabat setingkat menteri, para ketua lembaga negara, para kepala daerah dan beberapa kelompok masyarakat.
Berbagai kegiatan juga diselenggarakan dalam Pekan Pancasila tahun 2017. Presiden juga membentuk lembaga penjaga ideologi Pancasila yaitu UKP-PIP (Unit Kerja Presiden - Pembinaan Ideologi Pancasila) dengan Perpres No. 54 Tahun 2017.
Sebulan berikutnya, Juli 2017 Jokowi mengelurkan Perpu No. 2 tentang Ormas (Organisasi Masyarakat) yang kemudian disetujui oleh DPR sebagai Undang-Undang pada bulan Juli tahun yang sama. Korban Perpu Ormas yang petama adalah HTI yang dibubarkan karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Jargon SISP dan Perpu Ormas juga menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat. Secara bahasa SISP dianggap tidak tepat, mestinya "Saya Indonesian (Orang Indonesia), Saya Pancasilais". Jargon ini juga menimbulkan persepsi bahwa yang tidak memasang foto dengan kalimat tersebut dianggap tidak Indonesia dan tidak Pancasilais.
Bagi kalangan akademisi, Perpu Ormas dan UKP-PIP diduga akan digunakan oleh pemerintah Jokowi sebagai alat untuk membungkam dan melumpuhkan lawan-lawan politiknya. Perpu Ormas dan tafsir tunggal Pancasila oleh UKP-PIP berpotensi menimbulkan gesekan di tengah masyarakat.
ABP Jilid III : 2018 BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila)
Juni tahun ini, 2018, Jokowi juga menggelar Aksi Bela Pancasila Jilid yang ke-3, yaitu dengan membentuk BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) berdasar Perpres No. 7/2018 yang merupakan metamorfosa dari UKP-PIP, kemudian dilengkapi dengan Perpres No. 42/2018 tentang hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi para pegawainya.
Keberadaan BPIP dan besaran hak keuangan pegawainya yang fantastis juga menimbulkan polemik hebat di tengah masyarakat. Sejarah membuktikan, bahwa ketika Pancasila di-capture- oleh penguasa dan ditafsirkan secara tunggal dengan dibentuk lembaga penjaga maka akan dijadikan sebagai alat penggebuk dan pembunuh lawan-lawan politik.
Era Orde Lama (Demokrasi Terpimpin) dimana Soekarno mengangkat diri sebagai Presiden sumur hidup, Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertiggi ABRI dan bergelar Paduka Yang Mulia, atas nama Pancasila pemerintahan saat itu membubarkan Masyumi dane PSI (Partai Sosialis Indonesia) serta membkukan Partai Murba.
Atas nama Pancasila dan revolusi, Soekarno juga menangkap dan memenjarakan tokoh-tokoh bangsa seperti Sutan Sjahrir, Mohammad Roem, Mochtar Lubis, Anak Agung Gde Agung, Prawoto Mangkusasmito dan Buya Hamka. Roem dan Sjahrir adalah tokoh yang ikut terlibat mendirikan negara ini bersama Soekarno, namun keduanya berakhir di penjara kawan karibnya.
Bahkan seniman, sastrawan serta musisi juga banyak yang ditangkap atas nama Pancasila pada masa Orde Lama, seperti Pramoedya Ananta Tur dan grup band Koes Bersaudara.
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto juga membentuk lembaga penjaga Pancasila, yaitu BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Lembaga ini bertahan cukup lama sejak 1979, dan berhasil menanamkan ideologi Pncasila sebagai tuntunan moral masyarakat yang terangkum dalam Butir-Butir Pancasila.
Namun tetap saja ada sisi kelam, ketika pemerintah Orde baru menangkap dan mengibiri hak politik beberapa orang karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Pemerintahan SBY relatif aman dan stabil dari hiruk pikuk Pancasila. Karena sepuluh tahun masa pemerintahannya fokus pada pembangunan dan pengentasan kemiskinan. SBY dan jajaran pendukungnya tidak mengklaim paling Pancasila dan tidak membentuk lembaga untuk menafsirkannya.
BPIP bentukan Jokowi justu menimbulkan gejolak dan polemik hebat di tengah masyarakat. Tidak hanya soal hak keuangan yang fantastis, namun juga secara administrasi negara, keberadaan BPIP dianggap bermasalah. BPIP terkesan hanya sebagai wadah untuk menghimpun para pendukungnya, sebagai wujud terimakasih dan alat untuk melapangkan jalan mempertahankan kekuasaan.
Prof Salim Said, Dr Refly Harun dan Prof Suteki adalah kalangan akademisi yang tidak setuju adanya BPIP. Bahkan beberapa organisasi profesi berniat mengajukan gugatan atas dibentuknya BPIP. Salah satunya dalah MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia). MAKI menganggap pembentukkan BPIP cacat hukum dan melanggar konstitusi.
Demikian tiga jilid ABP (Aksi Bela Pancasila) pada era Jokowi yang justru menimbulkan gesekan dan berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan mempertahankan kekuasaan.
Salam Indonesia Raya,
Salam Bhineka Tunggal Ika,
Salam Pancasila,

Arief Luqman El Hakiem 
Pegiat Media dan Pengamat Kebijakan Publik












1 komentar: