Cari Blog Ini

Kamis, 07 Juni 2018

KORUPSI & DESAKRALISASI PARPOL


Saya merasa perlu mengomentari dan menulis secara khusus untuk memberikan pencerahan kepada sedulur ngopi saya Pakde Hargo Yohanes, dan teman medsos Om Wisnu Haryoko, mungkin juga penting buat rekan Netizens lainnya, tentang Partai Politik dalam kaitannya dengan korupsi. Kalau tidak salah keduanya adalah ASN (Aparatur Sipil Negara) Kabupaten Kebumen.
Memang benar, banyaknya kader parpol yang terjerat kasus korupsi sedikit banyak mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap keberadaan parpol. Wajar jika ada sebagian masyarakat yang kemudian skeptis, tidak percaya dan menganggap parpol itu tidak penting.
Bahkan, Pakde Hargo Yohanes dalam beberapa komentar dan pernyataan menyebutkan bahwa Parpol hanya sebatas kendaraan politik untuk meraih kekuasaan atau kursi dewan. Statemen ini menurut saya berbahaya dan perlu diluruskan, agar tidak menggelinding menuju desakralisasi parpol yang bermuara pada apatisme publik terhadap parpol.
Menurut saya, keberadaan parpol dalam sistem demokrasi sangat vital dan fundamental. Kerja dan perjuangan anggota parpol adalah mulia dan suci. Karena menjadi bagian dari elemen bangsa dalam membentuk pemerintahan yang adil dan amanah sebagai syarat terwujudnya masyarakat yang sejahtera dan beradab.
Secara detail, apa itu pengertian, tugas pokok dan fungsi serta segala pernak pernik parpol, bisa dibaca rinciannya di UU No. 2 Tahun 2008 kemudian diubah dengan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Menurut Miriam Budiardjo, Partai Politik adalah sebuah kelompok yang terorganisir yang anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
Pada Pasal 10 UU No.2 Tahun 2008, tujuan partai politik ada 3, yaitu : (1) Untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. (2) Untuk memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara. (3) Untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan negara.
Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, Parpol adalah instrumen utama pada gelaran Pemilu (Pilpres, Pilkada dan Pileg). Tanpa parpol tidak akan ada Pemilu. Tanpa Pemilu tidak ada pemimpin (Presiden, Gubernur, Bupati /Walikota, dan anggota dewan) yang legitimate. Tanpa pemimpin yang legitimate, apa jadinya negara ini.
Apakah akan dikembalikan kepada jaman kerajaan dimana tahta penguasa diwariskan secara turun temurun sebatas pada keluarga istana ? Dimana sabda raja adalah undang-undang yang bersifat mutlak dan mengikat ?
Bahwa hari ini kita melihat kegagalan parpol menjaga kehomatannya, ini yang menjadi PR bersama, yang harus dibenahi dan diperbaiki bersama. Banyaknya kader parpol yang terlibat dalam permufakatan jahat perampokan uang negara, adalah tugas kita semua untuk meluruskannya.
Ketika hanya satu dua kader yang tersangkut pidana korupsi, itu layak disebut kasus. Namun jika kader yang terjerat korupsi mencapai belasan bahkan puluhan, maka ini adalah fenomena. Gejala akut yang harus ditangani segera.
Ada yang salah dalam sistem pembinaan internal partai, mulai dari perekrutan, pengkaderan, perencanaan karir, bahkan mungkin pengelolaan keuangan partai.
Dua kasus terkini yang menimpa PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) adalah contoh nyata kegagalan partai melakukan pembinaan. Tasdi, Bupati Purpalingga yang terkena OTT KPK, bukan kader sembarangan, dia adalah Ketua DPC (Dewan Pimpinan Cabang) 3 periode. Kemudian M Samanhudi Anwar, Walikota Blitar, juga Ketua DPC. Keduanya adalah pimpinan tertinggi partai di tingkat cabang (Kabupaten/Kota).
Seharusnya sebuah parpol memiliki sistem pembinaan dan screening yang ketat sehingga orag-orang yang menduduki jabatan puncak di tiap level adalah pribadi-pribadi yang berkarakter dan terjamin integritasnya. Hal ini bisa terwujud jika setiap parpol memiliki sistem pembinaan berjenjang dan terukur. Harus ada pendidikan politik, wawasan kebangsaan, moral ethics dan pembangunan karakter secara terstruktur yang dilakukan oleh Parpol.
Sekelas ormas atau organisasi mahasiswa memiliki pembinaan yang berjenjang, masa parpol tidak ada. Di HMI kita mengenal ada LK (Latihan Kader), di KAMMI ada DM (Daurah Marhalah), di IMM ada DA (Darul Arqam), dan sebagainya. Lulusan tiap jenjang pembinaan adalah para kader yang dijamin kualitas dan integritasnya.
Juga ada reward and pushment yang diberikan kepada para kader atas kinerja serta kontribusinya pada partai. Tidak fair rasanya jika ada kader partai yang berjasa bertahun-tahun membesarkan partai, tiba-tiba dipecat dengan tidak hormat ketika tersandung sebuah kasus. Mestinya partai juga ikut bertanggung jawab dan memberikan pendampingan, sehingga si kader tidak merasa sendirian dan ditinggalkan.
Jangan muncul kesan bahwa parpol hanya mau enaknya saja. Menerima dengan suka cita sumbangan keuangan, menyanjung dan membangga-banggakan ketika berprestasi, namun mencampakkan begitu saja ketika jatuh dan terjerat kasus korupsi.
Secara administrasi negara, mestinya ada sistem sanksi yang tegas kepada parpol yang kadernya tersandung kasus, terutama tindak pidana korupsi. Misalnya dalam bentuk pemotongan bantuan, pembatasan kegiatan dan kampanye, denda hingga pembubaran sebuah parpol jika dirasa sudah keterlaluan.
Organisasi semacam FIFA atau PSSI juga menerapkan sistem sanksi tanggung renteng bagi klub atau kelompok supporter yang melanggar disiplin. Sebuah klub bisa terkena sanksi denda, pertandingan tanpa penonton, pindah lokasi pertandingan, hingga dibekukan ketika ada oknum supporternya yang bertindak anarkis. Sebuah klub harus menanggung akibat ulah suppoternya.
Demikian juga parpol, juga harus menanggung akibat ulah kader atau kelompok simpatisannya. Disamping sanksi sosial, tidak dipilih pada saat Pemilu, juga harus ada sanksi secara undang-undang. Karena bisa jadi, alasan seorang kader melakukan korupsi karena besarnya upeti yang harus disetorkan ke partai secara periodik, maupun pada saat mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah maupun calon anggota dewan.
Tahun 2018 dan 2019 adalah momentum perbaikan partai dan saatnya masyarakat memberikan sanksi kepada partai-partai yang kadernya tidak berintegritas dan tidak amanah.
Saatnya Anda semua memilih dan menentukan arah perjalanan negeri ini, pada ajang Pilkada Serentak 2018 dan Ajang Pemilu 2019...

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik







Tidak ada komentar:

Posting Komentar