Cari Blog Ini

Selasa, 19 Juni 2018

PENJAJAH BELANDA ; RAJA INFRASTRUKTUR DAN JAGO PENCITRAAN

Semenjak tahun 1800 berdiri pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan posisi VOC yang dibubarkan karena harus menaggung kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Mulai saat itu berangsur-angsur kekuasaan Belanda bekembang secara masif dalam sendi-sendi kehidupan di masyarakat Nusantara.

Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan politik tradisional Kompeni dengan tujuan untuk mendapatkan hasil dari pajak dan keuntungan perdagangan demi kekayaan Kerajaan Belanda. Dalam menjalankan pemerintahannya, Hindia Belanda menerapkan berbagai kebijakan, seperti cultuurstelsel, politik pintu terbuka dan sebagainya.

Untuk menunjang pelaksanaan berbagai kebijakannya, pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem-sistem baru dan membangun berbagai infrastruktur. Hal ini dilandasi anggapan bahwa pelaksanaan berbagai aktivitas akan berjalan lancar ketika terdapat berbagai sistem yang modern dan tersedianya infrastruktur untuk memperlancar aktivitas pemerintahan.

Pada perkembangannya, pemerintah Hindia Belanda membangun beberapa infrastruktur, seperti jalan raya dan jembatan-jembatan. Pembangunan jalan raya yang memanjang di sepanjang pantai utara Jawa pada masa Herman Willem Deandels (1808-1811) merupakan salah satu contoh upaya pembangunan infrastruktur yang dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda.

Bahkan Jalan Kelok 9 yang sangat terkenal, dibangun semasa pemerintahan Hindia-Belanda antara tahun 1908–1914. Jalan ini meliuk melintasi Bukit Barisan yang memanjang dari utara ke selatan Pulau Sumatera. Jika direntang lurus panjang Kelok Sembilan hanya 300 meter dengan lebar 5 meter dan tinggi sekitar 80 meter.

Selain itu pada masa-masa selanjutnya dibangun pula sarana transportasi berupa jalan kereta api. Suhartono dalam bukunya Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920 menjelaskan bahwa gagasan pembuatan jalan kereta api timbul pada tahun 1842, tetapi baru pada tahun 1863 jalur yang menghubungkan Semarang-Tanggung sepanjang 25 km dipasang oleh NISM.

Pada tahun 1873 jalur Semarang-Yogyakarta dibuka untuk umum, dan pada dasawarsa kedua abad XX jalan-jalan trem sudah dibuka. Pada tahun 1873, pemerintah Hindia Belanda mulai membangun jalan kereta api antara Surabaya dan Kota Malang yang merupakan pusat terpenting dari perkebunan-perkebunan besar di daerah Jawa Timur.

Di luar Jawa pemerintah kolonial juga membangun jaringan jalan kereta api seperti di Aceh dan Sumatera Barat. Hal ini menyebabkan terbukanya akses menuju ke pedalaman. Sehingga mobilitas masyarakat menjadi semakin tinggi dan proses perubahan sosial menjadi semakin cepat karena pesatnya laju perubahan.

Selain sarana transportasi, pada masa kolonial dibangun pula waduk-waduk dan sarana irigasi yang menjadi salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas aktivitas perekonomian Hindia Belanda. Pembangunan berbagai infrastruktur tersebut semakin pesat pada zaman liberal. Hal ini karena infrastruktur sangat penting untuk menunjang laju perekonomian untuk kepentingan perkebunan-perkebunan besar.

Jalan Raya

Jalan Raya Pos adalah jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km yang terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur-Jenderal Herman W. Daendels. Pada tiap-tiap 4,5 kilometer didirikan pos sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat.

Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa. Untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris,
Daendels membutuhkan armada militer yang kuat dan tangguh. Daendels membentuk pasukan yang berasal dari masyarakat pribumi. Daendels kemudian mendirikan pendidikan militer di Batavia, dan tempat pembuatan atau pabrik senjata di Semarang.

Ketika baru saja menginjakkan kakinya di Pulau Jawa, Daendels berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Britania. Angan-angan Daendels untuk membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan, direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer. Yang gagal, termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan.

Gubernur Jenderal Daendels memang menakutkan, kejam dan tak kenal ampun. Dengan tangan besinya jalan itu diselesaikan hanya dalam waktu setahun saja ( 1808 ). Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya. Karena itulah nama Daendels dan Jalan Raya Pos dikenal dan mendunia hingga kini.

Rel Kereta Api

Fakta sejarah mencatat kehebatan angkutan berbasis rel jaman Hindia-Belanda yang mencapai puncak masa emasnya di tahun 1920-1930an. Siapa sangka saat pencangkulan jalur rel pertama NIS pada 17 Juni 1864 oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Baron Sloet van De Beele di desa Kemidjen Samarang, sistem transportasi kereta api bakal menjadi booming pesat 50 tahun kemudian.

Pada awal sebelum pembangunan rel pertamanya itu, jalur rel dianggap kurang penting urgensinya oleh kalangan pemerintah Hindia-Belanda dan menjadi perdebatan panjang. Saat itu tujuan dibangunnya jalur rel adalah mengangkut hasil bumi dan keperluan militer Belanda yang membutuhkan angkutan yang efisien. Tak hanya masalah itu saja, pada awal-awal dibuka kereta api komersial NIS ternyata belum mampu menutupi keuangan NIS sehingga banyak kalangan menilai proyek kereta api hanya membuang uang saja.

Seiring berjalannya dekade berikutnya, ternyata angkutan kereta api berkembang pesat, yaitu setelah pemerintah sendiri ikut terjun dalam mengelola perkeretaapian dan menyusun rancangan Undang-Undang baru yang mendorong kalangan swasta membangun jalur kereta api atau trem. Akhirnya berdiri banyak perusahaan partikelir baru yang membuka jalur-jalur baru sesuai konsesi yang diajukan ke pemerintah Hindia-Belanda. Masing-masing perusahaan tersebut mengelola angkutan rel di wilayahnya.

Dengan adanya masterplan yang dikeluarkan pemerintah bagian transportasi Hindia-Belanda, membuat jalur kereta api terutama di Jawa menjadi sangat terencana dan terintegrasi antar kota di Jawa dengan tiap-tiap perusahaan kereta api.

Pembangunan jalur baru sangat pesat karena transportasi rel dianggap menguntungkan bagi sektor ekonomi. Puncaknya pada dekade tahun 1920 angkutan rel menjadi tulang punggung mengangkut penumpang dan barang pos dan perdagangan hasil bumi. Ditambah lagi era tersebut adalah masa keemasan penghasil gula di Jawa menuntut angkutan yang efisien dan efektif sebagai sarana pengangkutannya.

Banyak orang-orang Eropa yang berwisata ke Jawa jaman itu terkagum melihat integrasi dan jangkauan jaringan kereta api yang memudahkan mereka menjelajahi keindahan Jawa. Tak jarang SS (Staatsspoorwegen) yang merupakan perusahaan kereta api pemerintah mempromosikan pariwisata Jawa disandingkan kehandalan keretanya dalam pengangkutan penumpang maupun barang (surat, pos, dan lain sebagainya).

Waduk / Bendungan

1. Bendungan Katulampa adalah bangunan yang terdapat di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat. Bangunan ini di bangun pada tahun 1911 dengan tujuan sebagai peringatan dini atas air yang sedang mengalir ke Jakarta serta sarana irigasi lahan seluas 5.000 hektar yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendungan.

Pada saat musim hujan, bendungan ini bisa dilewati air dengan rekor debit 630 ribu liter air per detik atau ketinggian 250 centimeter yang pernah terjadi pada tahun 1996, 2002, 2007, dan 2010. Bendungan Katulampa mulai dioperasikan pada tahun 1911, akan tetapi, pembangunannya sudah dimulai sejak 1889, sejak banjir besar melanda Jakarta pada 1872.

2. Waduk Pacal dibangun Belanda tahun 1933, bernama Bendungan Pacal karena berada di desa Pacal. Bendungan Pacal ini terletak 35 Km dari arah selatan kota Bojonegoro. Waduk Pascal yang memiliki luas sekitar 3,878 kilometer persegi dan kedalaman 25 meter ini, merupakan bangunan sarana pengairan peninggalan zaman belanda dengan manfaat multifungsi.

3. Bendungan Pice yang terletak di Gantung, Belitung Timur, ini adalah sebuah bendungan peninggalan Belanda. Konon, namanya diambil dari nama seorang arsitek Belanda bernama Sir Vance yang merancang bendungan ini. Diujung bendungan terdapat tulisan "1934/35/36", mungkin untuk menandakan bahwa bendungan tersebut dibangun pada tahun 1934-1936.

Bendungan Pice berdiri di hulu Sungai Lenggang. Dengan panjang sekitar 50m, dibangun 16 pintu air dengan masing-masing pintu air memiliki lebar sekitar 2.5m. Konon, Belanda membangun bendungan ini agar mereka dapat dengan leluasa mengatur tinggi rendahnya permukaan air di sungai ini, sehingga mempermudah sistem kerja kapal keruk mereka untuk mengeksplorasi timah.

4. Bendungan Salamdarma dibuat oleh Belanda pada tahun 1923, jauh sebelum Indonesia Merdeka. Ternyata ada juga peninggalan penjajah yang bermanfaat untuk Indonesia di masa kini yaitu untuk kepentingan pengairan area pesawahan dan perkebunan. Bendungan ini ada di perbatasan Kabupaten Subang seluas 11.684 hektar dan yang berada di Kabupaten Indramayu lebih luas yaitu 24.504 hektar.

Di Salamdarma dua aliran air dari sungai Cipunegara dan sungai Karawang bertemu dan dialirkan ke sungai Sewo dan sungai Salamdharma yang mengalir ke Wanguk, sampai Lonyod. Salamdarma diurus oleh Perum Jasa Tirta II Divisi III yang kantornya ada di Kecamatan Patrol.

5. Bendungan Jagir digunakan sejak tahun 1920-an. Bangunan ini terletak di Kecamatan Jagir, tepatnya diantara Jl. Jagir dan Wonokromo. Walaupun dibangun pada masa penjajahan Belanda namun keberadaan dam atau pintu air Jagir ini masih terpelihara dan berfungsi dengan baik. Dalam sejarahnya Sungai Jagir ini pernah menjadi tempat bersauhnya pasukan Tar-tar yang merupakan bala tentara Raja Kubilai Khan dari Mongolia yang akan menyerang Kediri yang saat itu di perintah oleh Prabu Jayakatwang.

Pabrik Gula

Perkembangan penggilingan atau pengepresan tebu di Jawa, secara agak besar di mulai pertama kali pada pertengahan abad 17 di dataran rendah Batavia, di kelola okeh orang-orang China. Kemudian di awal abad 19 muncul industri gula modern di Pamanukan, Ciasem, Jawa Barat, yang dikelola oleh para pedagang besar dari Inggris. Yang karena kesalahan lokasi hanya bertahan satu dasawarsa (kekurangan tenaga kerja). Kehancuran industri gula Inggris (Pamanukan-Ciasem) di gantikan industri Belanda dalam kurun culturstelsel.

VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1673 ke Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul. 130 buah penggilingan pada tahun 1710, dengan produksi rata-rata setiap penggilingan sekitar 300 pikul. Tahun 1974 terdapat 65 penggilingan, sedang pada 1750 naik menjadi 80, dan akhir abad ke-18 merosot tinggal 55 penggilingan yang memasok sekitar 100.000 pikul gula.

Benteng

Belanda juga banyak meninggalkan bangunan-bangunan yang bernilai seni tinggi. Salah satunya berupa benteng-benteng pertahanan. Ada belasan benteng peninggalan Belanda yang sekarang banyak dijadikan tempat wisata sejarah.

Dalam catatan sejarah ada 459 benteng, 303 di Sumatra dan 159 di Jawa tapi yang secara fisik ditemukan hanya 177. Hampir 300 yang hilang, Sementara sembilan benteng di Kalimantan, 134 benteng di Sulawesi dan 12 benteng di Bali-NTT-NTB sudah teridentifikasi.

Benteng yang hingga kini masih utuh di antaranya Benteng Willem I di Ambarawa, Benteng Willem II di Ungaran, Benteng Vredeburg di Yogyakarta, Benteng Pendem di Cilacap, dan Benteng Van der Wijk di Gombong.

Politik Etis (Politik Balas Budi)

Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera . Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa .

Munculnya kaum Etis yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief ) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para bumiputera yang terbelakang.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa bumiputera di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tersebut ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

1. Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian.
2. Imigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi.
3. Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.

Dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para pegawai Belanda. Berikut ini penyimpangan penyimpangan tersebut.

Irigasi

Pengairan hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

Edukasi

Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan ditujukan untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi dan pada umumnya.

Migrasi

Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatera Utara , khususnya di Deli , Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri. Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale Sanctie , yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi , kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.

Penyimpangan politik etis terjadi karena adanya kepentingan Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar