Cari Blog Ini

Sabtu, 30 Juni 2018

Pilkada 2018 dan Anomali PDI-P

Benarkah Jokowi Dibajak "Tangan-Tangan Gelap Kekuasaan ?"

Memang benar, proses pemungutan suara Pilkada Serentak 2018 telah usai, hanya tinggal menunggu pengumuman resmi dari KPU untuk hasil perolehan suara masing-masing daerah. Namun berbagai persoalan, misteri dan kejanggalan yang terjadi selama proses tahapan pilkada terus menghantui publik tanah air, khususnya para politisi parpol.

Salah satu topik yang menarik adalah adalah Fenomena PDI-P. Berdasarkan real count versi KPU secara nasional, PDI-P adalah partai yang paling tragis dan memprihatinkan nasibnya. Dari 17 provinsi yang menggelar Pilgub pada hari Rabu Pon, 27 Juni kemarin, hanya 4 titik dimana jagoan PDI-P memeroleh suara terbanyak, yaitu Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan dan Maluku.

PDI-P tersungkur di 13 provinsi strategis lainnya, mulai dari Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan Papua.

Dari 6 provinsi di Pulau Jawa yang menyumbang lebih dari 65% suara secara nasional, PDI-P hanya menempatkan satu kadernya sebagai kepala daerah, yaitu Ganjar Pranowo di Jateng. Sementara di Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jatim dan DI Yogyakarta, PDI-P hanya penggembira. Di Jabar bahkan pasangan yang diusung PDI-P menempati posisi buncit dari 4 kandidat yang bertarung.

Jika nantinya Ganjar Pranowo terbukti terlibat dalam kasus mega korupsi E-KTP, dan ditahan KPK, maka praktis PDI-P tidak memiliki satu gubernur pun di Pulau Jawa. Sebuah tragedi...

Hasil Pilkada Serentak 2018 adalah ironis bagi PDI-P, sebuah Anomali Politik.

Menurut hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilu Legislatif 2014 KPU, menempatkan PDI-P yang dipimpin Megawati berada pada posisi pertama dengan meraih 23.681.471 suara atau 18,95 persen. PDI-P menjadi Parpol pemenang Pemilu 2014, sehingga menjadi Parpol utama yang mencapreskan Jokowi dengan kekuatan 109 kursi di DPR RI.

Kita tentu bertanya-tanya, ada apa dengan PDI-P dan Presiden Joko Widodo. Sebagai partai terbesar dan pemenang pemilu 2014, memiliki kader yang menduduki jabatan presiden, bahkan berkali-kali disebut sebagai "Petugas Partai" yang terikat dengan kontrak politik sebelum dicalonkan sebagai capres, tapi tenggelam dan menjadi pecundang pada Pilkada 2018.

Bandingkan dengan partai pendukung Jokowi yang lain, seperti Nasdem, Golkar dan PPP, mereka menjadi partai juara yang banyak mendudukkan jagoannya memenangkan Pilkada. Jagoan PPP bahkan menjadi pemenang dalam Pilgub 3 provinsi di Jawa, yaitu Uu Ruzhanul Ulum di Jabar, Taj Yasin di Jateng dan Khofifah Indar Parawansa di Jatim.

Meski bukan kader PDI-P, namun peraih suara terbanyak di kedua provinsi tersebut, Ridwan Kamil dan Khofifah secara tegas menyatakan dukungannya pada Jokowi pada Pilpres 2019. Artinya Jokowi bukan hanya milik PDI-P, namun juga dapat dukungan partai-partai lain. Warning buat PDI-P, karena bisa saja tanpa PDI-P, Jokowi akan tetap maju sebagai Capres Agustus nanti.

Jawa Barat adalah yang paling tragis bagi PDI-P. Dalam sejarahnya tidak pernah jagoan PDI-P memenangkan Pilgub dan Pilpres di di provinsi ini. Dan pada Pilgub 2018, pasangan yang diusung PDI-P, Tubagus Hasanuddin - Anton Charliyan (Hasanah), hanya meraih sekitar 12% suara.

Tidak ada "Jokowi Efect" di Jabar, bahkan dugaan penunjukan Komjen. Pol. Mochammad Iriawan oleh Mendagri, Tjahjo Kumolo (mantan Sekjen PDI-P), sebagai Penjabat Gubernur untuk mengawal kemenangan Hasanah, tidak terbukti sama sekali. Jokowi menampik tudingan bahwa penunjukan Iwan Bule atas usulannya, itu murni inisiatif dari bawah, yaitu Mendagri. Tapi disisi lain, Jokowi membuat kontrak politik dengan Nasdem dan Ridwan Kamil untuk Pilpres 2019.

Di Jatim juga tidak ada "Jokowi Efect", bahkan orasi Megawati yang membawa nama besar Bung Karno, Sang Proklamator, tidak mampu mengangkat kemenakannya, Puti Guntur Soekarnoputra, menjadi Cawagub mendampingi Saefullah Yusuf. Nampaknya di Jatim, Jokowi sudah mantap dan nyaman dengan Khofifah yang secara tegas akan mendukungnya jika terpilih sebagai gubernur.

Di 11 provinsi lainnya pengaruh Jokowi sebagai presiden dan petugas partai nampaknya juga tidak terlalu besar. Jago-jago PDI-P tidak banyak bicara dan tidak didukung secara sungguh-sungguh oleh Jokowi. Secara normatif, mungkin bisa beralasan bahwa pemerintah harus netral, namun secara politis Jokowi adalah kader PDI-P yang memiliki tanggung jawab moral membesarkan partai.

Bandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada saat menjabat sebagai presiden. Pada Pemilu 2004, Partai Demokrat menduduki peringkat ke 5 (lima) dengan perolehan suara 7,45 persen. Namun pada Pemilu 2009, SBY mampu 'menyulap' Partai Demokrat meraih nilai tinggi 25,39 persen suara, meningkat tiga kali lipat. Hal di atas berbanding terbalik dengan PDI-P yang di saat Jokowi menjadi Presiden, justru PDI-P tersungkur di berbagai daerah strategis dalam Pilkada serentak 2017-2018.

SBY sungguh-sungguh membesarkan partai yang didirikannya, sebaliknya Jokowi tidak nampak serius membantu partai yang mengusungnya. Ada apa sesungguhnya dengan hubungan Jokowi-PDIP ?

Benarkah Jokowi loyal kepada PDI-P atau ada kekuatan lain yang membuat Jokowi berpaling ?

Karena, bukan rahasia lagi bila pada awalnya Megawati sangat enggan menjadikan Capres yang diusung oleh PDI-P, mengingat Jokowi adalah nama baru yang muncul setelah memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2012. Bahkan setelah dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, PDI-P dan para kadernya juga tidak menjadi prioritas Jokowi.

Jokowi yang diusung oleh PDI-P yang menjadi Parpol pemenang Pemilu 2014 justru menempatkan kader-kader PDI-P bukan pada Kementerian/Lembaga strategis, misalnya; Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Jaksa Agung, dan Bappenas.

Namun, Jokowi memasukkan nama-nama di luar PDI-P untuk menempati kementerian-kementerian strategis tersebut; Sofyan Djalil (Kemenko Perekonomian), Rini Soemarno (Menteri BUMN), Bambang Brodjonegoro (Menteri Keuangan), Sudirman Said (Menteri ESDM), Rachmat Gobel (Menteri Perdagangan), HM Prasetyo (Jaksa Agung), dan Andrinof Chaniago (Kepala Bappenas). PDI-P hanya mendapat jatah Puan Maharani mendapat jatah Menko PMK (Menko PMK), Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM), Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri), dan Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga (Menteri Kooperasi UKM).

Hingga beberapa kali melakukan reshuffle Kabinet, kader-kader PDI-P tetap tidak ada yang ditempatkan pada Kementerian/Lembaga strategis.

Apakah Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P tidak merasakan adanya keanehan-keanehan ini?

Apakah kader-kader PDI-P yang selama ini berjuang 'berdarah-darah' tidak mencium aroma 'tangan-tangan gelap' yang bermain secara senyap melumpuhkan PDIP?

Saya menduga 'tangan-tangan gelap' yang bermain secara senyap ini adalah mereka yang memiliki kekuasaan, mereka bertujuan untuk melemahkan PDI-P agar tidak memiliki kekuatan untuk 'sandera' Jokowi dalam menentukan Cawapres 2019. Apalagi Megawati berulang kali menyebut Jokowi adalah Petugas Partai, berarti Jokowi harus patuh dan tunduk dengan aturan Partai.

Bagi 'tangan-tangan gelap' yang bermain secara senyap tersebut, bila PDI-P sukses Pilkada serentak tahun 2017-2018, bisa saja 'mengganggu' Cawapres yang mereka telah persiapkan.

Jokowi yang diharapkan mampu mendongkrak suara Cagub/Cawagub PDI-P pada Pilkada serentak 2017-2018, malah justru tidak mampu mendongkrak.

Maka, muncul pertanyaan krusial, sebenarnya Jokowi ini kadernya siapa?

Kader murni PDI-P atau kader pihak lain yang menumpang di PDI-P?

Jika PDI-P tidak peka dan takut merubah haluan politik, maka tidak menutup kemungkinan operasi senyap oleh tangan tangan gelap kekuasaan akan melumpuhkan PDIP pada Pileg 2019. PDIP bisa saja ambruk menjadi Partai menengah.

Selamatkan PDI-P atau selamatkan Jokowi ?

Bagi saya, lebih baik selamatkan NKRI !

Salam Indonesia Raya !

Makasih Bunda Arinta P Lenggono atas beberapa tulisan Wenry AP yang melengkapi TS ini.

Yogyakarta, 30 Juni 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

1 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus